IslamLib – Salah seorang sastrawan dan intelektual Mesir, Ahmad Abdul Mu’thi Hijazi, pekan lalu berkunjung ke Indonesia untuk membacakan sajak-sajak berbahasa Arab-nya dalam perhelatan Indonesian International Poetry Festival di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), sempat mewawancarai lulusan Sorbonne yang sempat menjadi dosen sastra Arab di Universitas Paris dan Sorbonne (1974-1990) itu. Berikut petikannya…
Beberapa waktu lalu, di negeri Anda, Mesir, ada kasus pembredelan beberapa karya sastra dan keluarnya fatwa pengharaman seni patung. Apa komentar Anda?
Pembredelan dan permusuhan terhadap karya sastra yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, dilakukan untuk mengambil hati dan mengendalikan kelompok-kelompok Islam radikal di Mesir. Sebab, sekarang kelompok-kelompok radikal itu sudah punya kekuatan untuk menekan rezim penguasa. Memang, rezim Anwar Sadat lah yang mula-mula menciptakan kelompok-kelompok radikal tersebut, demi melawan kelompok sosialis dan pendukung Gamal Abdul Nasser.
Ketika Sadat berkuasa, ia mengeluarkan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin dari penjara dan membuat perjanjian politik dan mempersenjatai senjata. Departemen Dalam Negeri Mesir adalah pihak yang paling betanggungjawab atas terbentuknya kelompok-kelompok Islam radikal.
Namun setelah itu, Depdagri cuci tangan dan pura-pura tidak tahu. Anggota kelompok radikal itu makin leluasa bergerak memusnahkan musuh-musuh politik Sadat. Kita tahu, akhirnya rezim Sadat pun tidak kuasa mengendalikan mereka. Dan, Sadat sendiri menjadi korban keganasan kelompok-kelompok radikal tersebut.
Mengapa kelompok-kelompok radikal di Mesir masih eksis hingga saat ini?
Karena rezim penguasa saat ini gagal memerintah. Inilah yang biasa disebut sebagai gejala negara yang gagal (ad-daulah al-fâsyilah). Mereka juga tidak lebih baik dari Ikhwanul Muslimin. Mereka gagal memakmurkan rakyat Mesir, sehingga fenomena radikalisme dapat disaksikan di negara-negara lain yang rezimnya juga gagal.
Di negara seperti itu, rakyat akan terpesona oleh retorika dan jargon-jargon kelompok-kelompok radikal yang menjanjikan perubahan. Rumusnya, kelompok radikal akan tumbuh-kembang dalam kondisi multikrisis. Dan fenomena inilah yang saya saksikan di Mesir saat ini.
Sebagai penikmat seni, bagaimana Anda hidup di dalam iklim yang sangat memusihi seni dan penuh teror?
Yang paling penting, Anda harus pantang menyerah dan konsisten. Kalangan intelektual dan sastrawan Mesir saat ini hidup di antara dua tekanan yang sama-sama buas: rezim yang otoriter dan kelompok Islam radikal. Kita sulit memprediksi mereka; kadang kala mereka berkoalisi, dan kadang-kadang berkonfrontasi.
Tapi kami sudah mengikrarkan diri menjadi musuh bersama mereka. Kami tetap kritis baik terhadap rezim penguasa maupun kelompok agama radikal. Hidup dalam iklim seperti itu sudah dialami oleh intelektual dan para sastrawan Mesir, sejak Ali Abdul Raziq, Thaha Husein, Luis Awadl, dll. Kaum intelektual, sepanjang hidupnya akan menjadi oposan.
Sebab kalangan intelektual selalu memimpikan hal-hal yang ideal. Karena itu, oposisi kaum intelektual berbeda dengan oposisi kalangan politisi. Kalangan politisi yang semula beroposisi, akan berhenti jika niat dan tujuan politiknya sudah tercapai. Namun bagi intelektual, sepanjang hidup ia akan menjadi oposisi.
Anda juga sering melontarkan kritik terhadap fatwa-fatwa keagamaan di Mesir. Mengapa?
Karena saya melihat banyak sekali fatwa agama yang berasal dari pesanan, bukan berdasarkan prinsip mencari kebenaran. Hemat saya, suatu upaya pencapaian kebenaran tidak pernah akan datang tiba-tiba, tapi selalu melalui proses pengujian dan diskusi.
Sementara, fatwa agama yang sebenarnya hanya pendapat orang biasa yang kebetulan menekuni bidang agama, kini sudah dipahami sebagai kebenaran agama yang final dan tidak bisa dibantah serta diuji kembali. Karena itu, hemat saya, jika fatwa keluar dari mekanisme seperti itu, ia tak lebih dari fatwa pesanan, bukan fatwa-fatwa kredibel yang sering dikenal dalam prosedur pengeluaran fatwa dalam Islam.
Contohnya, baru-baru ini Mufti Mesir mengeluarkan fatwa pengharaman pembuatan seni rupa berbentuk patung. Saya heran, apa yang bisa diharapkan dari fatwa semacam ini. Dulu para ulama memang pernah mengeluarkan fatwa seperti itu, tapi bukan terhadap pembuatan patung sebagai ekspresi seni, melainkan patung sebagai sarana penyembahan.
Syekh Muhammad Abduh sejak dulu sudah mampu menangkap perubahan fungsi pembuatan patung dalam ekspresi berkesenian itu. Beliaulah orang yang menentang fatwa pengharaman patung. Alasannya, membuat patung haram hanya dalam konteks penyembahan, dan boleh-boleh saja untuk selain itu.
Namun ironisnya, Mufti Mesir saat ini kembali mengharamkan pembuatan patung. Artinya, ia mundur ke era sebelum Muhamad Abduh. Dia mungkin tidak mengerti, tujuan pembuatan patung saat ini hanyalah estetis belaka, bukan untuk disembah dan disakralkan.
Dia juga tak pernah tahu, Mahmud Mukhtar, perupa Mesir paling terkenal tidak pernah menyembah patung yang dibuatnya. Dan dia juga lupa, patung-patung warisan peradaban Mesir merupakan sumber pendapatan rakyat dan negara. Semua warisan peradaban Mesir kuno itu menjadi sumber devisa negara terbesar dengan tumbuhnya kunjungan wisata sejarah. Sektor ini tidak bisa dilepaskan dari unsur patung yang kebanyakan masih replika dari zaman Firaun Kuno.
Jadi fatwa semacam ini layak dikritisi karena jelas-jelas menutup peluang pendapatan bagi rakyat Mesir. Fatwa ini juga menjadi sumber keributan. Setelah fatwa itu dikeluarkan, segerombolan pemuda Mesir yang masuk Musium Mesir menghancurkan beberapa patung.
Untung saja yang jadi sasaran mereka bukan patung-patung antik yang bernilai seni dan bersejarah. Namun aksi mereka tersebut jelas-jelas sudah membahayakan warisan peradaban masa lampau Mesir. Fatwa seperti ini telah memberhangus fatwa-fatwa lain yang lebih moderat dan mencerahkan.
Kalau menyimak fatwa-fatwa semacam itu, apakah agama dan sudut pandang agama masih relevan dalam menyikapi persoalan dunia modern?
Kita masih tetap butuh agama. Artinya, tanpa agama, kita tak bisa menjadga keseimbangan hidup dan menjawab pelbagai persoalan kekinian. Ilmu pengetahuan memang sudah mampu menjawab beberapa teka-teki dunia modern, namun lebih banyak terbatas pada persoalan-persoalan empiris dan fenomena alam. Seni menjawab soal-soal estetika dan perasaan.
Sementara filsafat menjawab persoalan-persoalan teoritis dan membantu untuk selalu mengkritisi epistimologi ilmu pengetahuan, ide-ide, apa yang disebut keyakinan, kebenaran, dan logika. Namun masih ada sisa soal yang tak bisa dijawab ilmu-ilmu tadi, yaitu persoalan yang berhubungan dengan “alam lain” yang bersifat metafisik, seperti awal dan akhir alam semesta, soal kematian, dan misteri kehidupan setelah kematian.
Beberapa prinsip moral, seperti hakikat kebaikan, kebenaran, keadilan, dan lain-lain, juga penting dilihat dari sudut pandang agama. Dan yang lebih penting, agama menyangkut soal naluri keberagamaan (al-dlamîr al-dînî).
Atas dasar itu, manusia jelas tetap butuh agama. Itu mengandaikan agama akan mendatangkan manfaat dan kita tak mungkin hidup tanpa agama. Seseorang yang bersikeras ingin hidup tanpa agama, juga akan mengalami gangguan kejiwaan. Orang yang meyakini kematian adalah akhir dari kehidupan, tak ada kehidupan sesudah mati, alam tercipta dengan sendirinya tanpa kekuasaan Sang Pencipta, akan merasa hidup sendirian di dunia ini.
Akibatnya, hidupnya akan nihil, tanpa harapan, sia-sia, dan putus asa. Itu akan membuat dia hidup tanpa tanggungjawab, agenda dan tujuan hidup. Jika seseorang yakin kalau hidup di dunia ini tidak akan diminta pertanggunganjawab di akhirat nanti, ia tidak akan punya integritas dalam hidup di dunia ini.
Ia akan hidup untuk dirinya sendiri, karena yakin tidak akan ada sanksi setelah mati. Nah, agama memasuki ruang-ruang majhul yang menjadi misteri yang tidak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan manusia itu. Itu di satu sisi.
Di sisi lain, kalangan agamawan yang meyakini sebaliknya, atau mereka agamalah yang membutuhkan kita, bukan kita yang membutuhkan agama, juga bermasalah. Ada perbedaan besar antara kedua prinsip itu. Kalau agama dianggap membutuhkan kita, maka agama akan selalu menuntut, sementara ia sendiri tidak berubah sepanjang masa.
Kita tidak bisa berpikir ulang tentang agama, karena kita mengikuti arus dogma saja. Kita juga tidak bisa menggali manfaat dari agama, karena kitalah yang dimanfaatkan oleh agama. Nah, mereka-mereka ini akan memandang segala persoalan dari sudut pandang dogma agam: mutlak dan sakral. Mereka ini, seperti dalam kasus fatwa soal patung tadi, tidak mampu membedakan antara pengetahuan manusia sebagai proses berpikir kreatif dengan agama sebagai rahasia ilahi.
Kita harus juga menolak sikap kedua ini. Kita mestinya meyakini sebaliknya; justru kita yang secara sadar membutuhkan agama. Atas dasar itu, kita harus selalu berpikir ulang tentang relevansi agama. Hal-hal yang bermanfaat dari agama mesti kita ambil, dan pandangan yang tidak bermanfaat perlu kita tinggalkan. Karena setiap generasi butuh agama, maka, setiap generasi juga berhak untuk berpikir ulang tentang agamanya.
Yang perlu dipikirkan ulang dari agama itu terutama persoalan-persoalan yang berhubungan dengan relasi sosial umat manusia (al-mu’âmalât) bukan aspek keyakinan (al-i’tiqâdât) atau ritual ibadah (al-’ibâdât). Sisi sosial agama itu berhubungan dengan persoalan keduniaaan, seperti sistem politik dan ekonomi yang lebih baik, dan persoalan hubungan antar warga negara. Apa yang terbukti bermanfaat kita ambil, yang tidak bermanfaat kita campakkan.
Anda menyatakan manusia tetap butuh agama, tapi lupakah Anda bahwa kini tak sedikit agama menjelma bencana; menginspirasi kekerasan, tidakan semena-mena, dan terorisme…
Agama menjadi bencana tatkala para agamawan memahami agamalah yang membutuhkan kita, bukan sebaliknya. Dengan begitu, terseret, lebur, dan tidak punya pandangan dan sikap yang kritis ketika berhadapan dengan dogma-dogma agama. Kita mengikuti saja dogma agama, padahal setelah melakukan kajian kritis, belum tentu dogma-dogma tersebut merupakan tuntunan agama yang benar.
Tak jarang dogma-dogma tersebut sengaja dikembangkan orang-orang atau kelompok yang mengatasnamakan agama untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka. Orang-orang seperti ini akan senantiasa mengembangkan pandangan bahwa agama mewajibkan kita untuk memusuhi pemeluk agama lain, menyerang orang kafir, membunuh mereka, dan lain-lain.
Itulah yang juga kita saksikan dalam sejarah kelam agama-agama. Kita sudah sering juga mengalami konflik berkepangangan atas nama agama. Konon, Perang Salib dianggap sebagai perang demi agama. Dengan begitu kita punya persepsi bahwa agama-agama memang tak bisa hidup rukun dan selalu akan bertikai.
Yang orang juga sering lupa, perang tidak terjadi hanya antara dua agama berbeda, tapi juga dalam satu agama yang berbeda aliran. Konflik Katolik-Protenstan sudah banyak memakan korban. Benturan Sunni-Syiah juga tak sedikit memakan korban.
Karena itu, agar peristiwa-peristiwa tragis semacam itu tidak terjadi lagi di dunia modern, negara harus tetap netral dari ikatan semua agama. Sebuah negara harus dibangun atas dasar kesamaan nasib, tujuan, dan cita-cita yang hendak dicapai. Negara dibangun berdasarkan tanah yang dijejak, bukan agama yang dijunjung.
Ikatan agama boleh saja diperhitungkan, tapi bukan satu-satunya ikatan yang akan menggantikan ikatan kebangsaan. Di dunia modern, kita tidak bisa menggunakan ikatan agama sebagai standar dalam bernegara, karena agama dalam suatu bangsa juga bermacam-macam. Tidak adil kalau kita hanya memilih satu ikatan primordial itu saja.
Apa standar kita dalam memeluk dan meyakini suatu agama?
Kebutuhan. Kita beragama sesuai dengan kebutuhan kita. Hal-hal yang bermanfaat kita ambil, yang merugikan perlu kita tinggalkan. Misalnya kita perlu mengambil maksud dan semangat dasar dari teks-teks suci agama, bukan bunyi harfiahnya. Kita harus menggali esensi dari agama yang kita yakini sesuai dengan kebutuhan hidup kita.
Agama memang datang untuk kemaslahatan dan kebutuhan manusia, bukan sebaliknya. Agama misalnya sudah mengajarkan prinsip dasar keadilan. Namun versi keadilan yang diperkenalkan dalam pemikiran keagamaan, seperti di dalam fikih, berbeda-beda dari masa ke masa. Intinya, kita wajib adil terhadap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Tapi bagaimana adil itu diterapkan?
Sebelum Islam datang, perempuan dihargai tak lebih dari binatang dan barang dagangan. Mereka tidak hanya kehilangan hak sosial, hak hidup pun tidak. Islam lalu datang membawa kabar keadilan bagi perempuan. Mulailah diakui hak-hak sosial perempuan. Poligami, pada masa awal Islam bisa dianggap sebagai salah satu versi keadilan Islam terhadap perempuan, namun saat ini sudah tidak memadai. Karena itu, kita sudah tidak bisa menganggap poligami itu adil saat ini. Poligami tidak pernah mampu menjamin keadilan dalam relasi suami-isteri.
Bagaimana cara Anda dalam membaca teks-teks keagamaan?
Yang pertama perlu diketahui, setiap teks-teks keagamaan pasti punya tujuan-tujuan tertentu (maqâshid). Contohnya, ayat-ayat yang bicara tentang pentingnya prinsip urun-rembuk (syûrâ) dalam bermasyarakat. Namunayat itu tidak menjelaskan perincian mekanisme urun-rembuk yang dimaksud. Dulu, anggota masyarakat yang bisa ikut dalam forum urun-rembuk amatlah terbatas.
Ada istilah ahlul hal wal `aqdi (dewan perwakilan) yang biasanya diambil dari para kepala suku. Dengan begitu, masyarakat awam, budak, dan perempuan, tidak berhak mengikuti urun-rembuk dan mengambil keputusan. Urun-rembuk atau musyawarah jenis inilah yang dikenal sejarah Islam awal.
Namun saat ini, kita dikenalkan dengan jenis-jenis lain dari forum urun-rembuk, berupa permusyawaratan rakyat yang tidak lagi dibatasi pada golongan tertentu. Prinsip ini dirumuskan oleh teori-teori demokrasi modern. Perwakilan dalam forum urun-rembuk juga sudah diperluas dalam cakupan semua warga bangsa (nation) bukan karena ikatan agama, dan suku.
Ikatan berbangsa ini didasarkan pada prinsip kemaslahatan, persamaan nasib, dan persamaan tujuan dan cita-cita berbangsa. Problemnya, jenis majlis permusyawaratan seperti dalam sistem demokrasi saat ini, yang diwakili oleh simpul-simpul pengikat kebangsaan itu, tidak dikenal dalam sejarah Islam.
Namun, kewajiban untuk bermusyawarah, bersatu dalam satu ikatan tertentu, jelas-jelas sudah ditekankan Islam. Karena itu, jika saat ini ada tuntutan agar masyarakat dunia kembali menggunakan ikatan agama sebagai pengikat hubungan sosial politik antar mereka, saya rasa dunia akan kembali tercabik-cabik.
Apa pandangan Anda tentang hubungan akal dan agama?
Tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Namun, akal pada akhirnya menghukumi agama, memilah prinsip-prinsip yang tetap dan tidak tetap dalam agama, dan hal-hal sahih dan tidak sahih dalam agama. Kita tidak bisa mengenali kebenaran-kebenaran yang diwartakan agama kecuali dengan menggunakan akal.
Akal juga akan menjadikan pemahaman kita terhadap agama berkembang dan bertambah canggih. Tanpa akal, agama tidak akan mampu menyapa manusia dalam setiap generasinya. Dengan akal pulalah, agama mampu beradaptasi dengan kehidupan manusia.
Pemahaman generasi abad ke-7 Masehi terhadap teks-teks Islam yang turun waktu itu, mestinya berbeda dengan pemahaman generasi kini. Ada konteks yang berubah dan banyak hal yang belum ada pada abad silam sudah kita jumpai saat ini.
Bagaimana Anda melihat posisi seni, terutama sastra dalam Islam?
Sastra akan menyapa dimensi kemanusiaan yang tidak mampu disapa oleh agama. Namun, dimensi rasa dan khayali manusia, tak jarang pula dilarang oleh agama. Karena itu kita perlu tegaskan, agama bukanlah segalanya dalam hidup ini. Ia ada karena dimensi kemanusian kita membutuhkannya. Tapi itu tak berarti seluruh dimensi kemanusiaan akan senantiasa membutuhkan agama.
Agama bukan segalanya dan tak bisa berbicara tentang seni. Agama juga gagap berbicara soal negara, perdagangan, dan olahraga. Namun begitu, agama selalu memiliki ruang tersendiri di dalam nurani manusia. Sastra juga demikian; ia selalu memiliki ruang tersendiri, bersifat otonom, dan tidak bisa dan selalu emoh dimasuki oleh otoritas agama.
Anda banyak menulis tentang sekulasisme. Di Indonesia ada fatwa yang mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Komentar Anda?
Sekularisme lahir di Eropa sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritarianisme agama yang disimbolkan Gereja. Kala itu, agama menjadi lembaga yang sangat otoriter, memonopoli kekuasaan dan kebenaran yang tanpa batas. Rakyat pun diperbudak atas nama agama oleh raja. Tapi itu tidak khas perilaku Gereja masa lampau.
Seperti yang kita saksikan, para agamawan dalam Islam pun tak jarang berkoalisi dengan kekuasaan dan berusaha memonopoli kebenaran. Mereka mengeluarkan fatwa sesuai keinginan penguasa atau berdasarkan pandangan sempit mereka. Karena itu, sekularisme merupakan proyek perlawanan terhadap aliansi tidak suci antara kedua kekuasaan yang berpotensi otoriter tersebut.
Dalam Islam, sebetulnya tidak dikenal sistem kekuasaan yang terpusat antara kekuasaan agama dan kekuasaan dunia seperti yang pernah dialami Gereja Katolik. Doktrin Islam tidak pernah mengakui sistem kerahiban yang menghubungkan antara otoritas Tuhan dan hamba-Nya. Karena itu, sebenarnya watak kekuasaan Islam, sejak awal sudah berbentuk sangat sekular.
Sistem sosial-politik dalam Islam juga sejak dulu berbentuk sekular. Sebagai muslim, kita akan sekular jika kita tidak menginginkan negara agama atau berhimpunnya kekuasaan agama dan negara (teokrasi). Saya bisa katakan, semangat sekularisme itu sudah terkandung dalam hadis Nabi: antum a’lam bi umûri dunyakum (kalian lebih tahu cara pengelolaan urusan dunia kalian).
Dalam model Prancis dan Turki, sekularisme sering dipahami sebagai semangat antiagama. Komentar Anda?
Anda beragam pengalaman negara-negara modern dalam mengelola hubungan agama dan negarat. Memang ada negara yang sangat antiagama karena punya sejarah pahit konflik antara agamawan dan rakyat. Contoh Turki menunjukkan itu, tatkala kalangan agamawan tetap keras kepala mendukung sultan—yang dianggap sebagai khalifah Islam—saat rakyat, tentara, dan kalangan intelektual, sudah tak menginginkan sultan berkuasa.
Mereka meneriakkan negara sipil, sementara sultan dan agamawan ingin tetap mempertahankan negara agama. Maka lumrah jika terjadi ketegangan terus-menerus antara kalangan agamawan dan pendukung sekularisme di Turki.
Namun itu bukan satu-satunya model. Di negara lain, tidak terjadi ketegangan seperti itu, misalnya di era kemerdekaan Mesir antara 1923 dan 1952, setelah Revolusi 1919. Di era tersebut, Mesir sudah memiliki sistem yang demokratis dan liberal. Tahun 1925, Raja Fuad ingin tetap menjadi khalifah Islam setelah runtuhnya Khalifah Utsmani di Turki.
Namun para politisi dan intelektual Mesir berhasil menggagalkan rencana Raja Fuad. Saat itulah buku Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Prinsip-Prinsip Bernegara, Red) terbit dan menegaskan perlunya pemisahan antara otoritas politik dan agama di Mesir. Pendapat Abdul Raziq ini didukung oleh kalangan intelektual Mesir, seperti Thaha Husein, Abbas Mahmud al-Aqqad, dan juga politisi dari parpol-parpol yang ada waktu itu.
Waktu itu, tak ada konflik fisik; yang ada hanya polemik pemikiran. Ada debat dan dialog yang bebas dan demokratis di masa itu, dan tidak ada yang angkat senjata atau melakukan kudeta. Karena itu, pertentangan antara agama dan politik dalam sekularisme ala Mesir, tidak sesengit di Turki. Dan perlu diketahui, kalangan Islam Politik seperti Ikhwanul Muslimin yang tak bosan-bosannya mengampanyekan negara agama, juga tidak terlalu populer di kalangan rakyat Mesir.
ini kalangan pendukung Islam Politik mulai mengikuti menkanisme demokrasi dalam proses perebutan kekuasaan, seperti yang ditunjukkan Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan Hamas di Palestina. Komentar Anda?
Mereka hanya memanfaatkan kesempatan berdemokrasi saja. Saya yakin, pada akhirnya mereka akan menghancurkan demokrasi itu sendiri. Mereka saat ini berpesta karena sistem politik mulai memperkenankan mereka untuk ikut pemilu.
Pertanyaannya: apakah setelah memegang kekuasaan mereka akan membiarkan gerakan-gerakan Komunis atau yang lainnya ikut pemilu? Mereka masih punya pemahaman yang negatif tentang demokrasi. Bagi mereka, demokrasi adalah sistem buatan manusia, sementara satu-satunya sistem yang harus dipraktikkan adalah sistem Tuhan. Pada dasarnya, mereka menolak segala sistem pengaturan sosial politik yang berkembang di dunia modern.