Home » Agama » Ateisme » Bermoral Tanpa Agama

Bermoral Tanpa Agama

4.22/5 (63)

IslamLib – Fondasi agama adalah dogma atau postulat, yakni sebuah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya. Inti dari postulat agama adalah Tuhan atau Dewa. Tuhan, begitu sakralnya kata-kata ini, kata yang memiliki tendensi atas nilai-nilai absolutisme yang bersifat monopolistik, dan yang pasti tidak bisa diganggu gugat. Beginilah bentuk kredo realitas atas apa yang disebut Tuhan dalam konteks keyakinan.

Namun berbeda lagi jika kita berbicara Tuhan dalam konteks pemikiran filsafat. Dalam tradisi filsafat, pemikiran Tuhan menimbulkan banyak pertentangan juga perdebatan akan eksistensi keberadaannya. Hasilnya pun terpecah: ada yang mengakui sebatas bentuk metafora, sampai tidak lagi ada pengakuan terhadap eksistensinya sama sekali.

Sebagian besar orang indonesia mengatakan bahwa kaum ateis dan agnostik merupakan kaum hina yang tak punya etika moral. Mereka menganggap para ateis memiliki arogansi kesombongan dan kecongkakan hidup untuk memilih tidak beragama dan berterima kasih pada karuniaTuhan. Dalam pandangan mereka, orang-orang ateis adalah momok menakutkan di negeri ini. Hampir seburuk sang iblis itu sendiri. Belum lagi stigma komunisme yang pasti dilekatkan pada kalangan ateis ini.

Para ateis disamakan dengan pemadat, pembunuh, dan pemerkosa. Ia tak punya tempat hidup di negeri yang “beragama” ini. Di lain pihak, negeri yang katanya sangat agamis ini tak kunjung menjadi sebuah negeri yang makmur, aman dan tentram. Justru beberapa negara yang kecenderungan ateismenya berkembang menunjukkan ciri-ciri negara maju yang makmur, aman, tenteram, bahkan manusiawi. Coba lihat negara-negara Skandinavia dan Eropa Barat.

Terkait dengan moralitas, sesungguhnya nilai luhur atau apa yang disebut moralitas itu tidak ada hubungannya dengan keyakinan agama. Karena moralitas lebih terkait dengan hubungan sesama manusia. Moral adalah soal nilai-nilai dan relasi antar manusia. Sepanjang seseorang sudah punya sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan hukum nurani dan hukum sosial, maka jelas dia bisa disebut sudah bermoral. Apapun cara pandang dan keyakinannya.

Sedangkan ateisme dan teisme itu adalah soal keyakinan, soal pandangan seseorang atas realitas kehidupan dunia dan akhir kehidupan.

Moralitas lahir dari akal budi manusia, bukan dari agama. Agama hanya membajaknya sebagai komoditas untuk memperdagangkan keyakinannya. Ateisme dan teisme tidak berbanding lurus dengan moralitas seseorang. Kedua-duanya tetap berpeluang untuk bermoral dan tidak bermoral.

Paus Fransiskus bahkan pernah mengatakan bahwa tidak perlu percaya Tuhan untuk menjadi orang bermoral. Ia menambahkan, Tuhan sebagai sumber moralitas adalah konse yang usang. Menurut Paus, dalam sejarah banyak kebaikan diperbuat manusia yang tidak percaya akan Tuhan dan dewa-dewi. Sebaliknya, banyak pula perbuatan buruk dalam sejarah dilakukan manusia atas nama Tuhan.

Sejarah peradaban umat manusia sudah membuktikan kebenaran ucapan Paus Fransiskus, bahwa menjadikan ateisme sebagai keyakinan yang tidak bermoral, dan sebaliknya teisme adalah keyakinan yang otomatis bermoral, adalah sebuah generalisasi yang konyol dan fallacy yang fatalistis.

Saya sangat mengamini apa yang pernah diucapkan oleh Arthur C. Clarke yang mengatakan bahwa tragedi terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia adalah ketika moralitas dibajak oleh agama.

Sejarah telah mencatat, bahwa agama adalah salah satu sebab utama munculnya berbagai pertumpahan darah di dunia ini. Lihat saja bagaimana tragedi kemanusiaan dan perang-perang besar yang terjadi didunia ini, hampir selalu bermula dari sensitifitas kaum beragama yang ingin memperebutkan legitimasi kebenaran transendental Tuhannya masing-masing. Juga  perebutan dominasi serta hegemoni geopolitik dengan berbagai penghalalan cara untuk menyebarluaskan pengaruh ajarannya.

Moralitas transendental Tuhan monoteisme suatu hari nanti akan lenyap. Sebagaimana politeisme dewa-dewi yunani yang kini tinggal menjadi sejarah. Nantinya, kematian Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan manusia-manusia kreatif untuk berkembang sepenuhnya.

Ketika manusia mengganti kehampaan spiritualitas tanpa ritualitas, hingga saatnya nanti, Tuhan yang dipercaya oleh pandangan umum kaum beragama saat ini akan menjadi sebuah sejarah metafora di masa lalu.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.