IslamLib – Ada banyak sekali aspek yang menarik dari buku Yuval Noah Harari, Sapiens: A Brief History of Humankind (Random House, 2014). Jika Anda seorang Antropolog, bagian-bagian awal buku ini seperti sebuah muhibah ke masa silam yang mengasyikkan. Jika Anda seorang peminat Sains, uraian tentang Revolusi Ilmiah adalah bagian paling menyenangkan untuk disimak.
Jika Anda seorang Ekonom atau seorang peminat studi Ilmu Politik, penjelasan tentang peran uang dan imperium dalam sejarah unifikasi manusia, menjadi bab yang tak boleh dilewatkan. Jika Anda seorang Filsuf dan tertarik dengan isu-isu etika dan teknologi, bagian-bagian akhir dari buku Harari merupakan risalah penting yang patut direnungkan.
Namun, bagi pemerhati agama seperti saya, bagian paling menarik dari buku Harari tentulah penjelasannya tentang sejarah munculnya agama. Uraian Harari tentang isu ini cukup genuine dan penuh kejutan. Sebetulnya, Harari menggunakan data-data yang sama yang biasa dirujuk para sejarawan dan ilmuwan sosial lain. Tapi, cara dia menyajikan data-data itu, mengurainya, dan kemudian men-twist-nya dengan tafsirnya sendiri, memberi kita cakrawala pemahaman baru.
Sejarah agama adalah bagian kecil dari sejarah panjang umat manusia. Tapi, pengaruh agama dalam membentuk peradaban manusia sama sekali tidak kecil. Secara khusus, Harari menyebut peran agama dalam menyatukan manusia sama pentingnya dengan uang dan imperium. Agama, uang, dan imperium, adalah tiga instrumen kunci yang membentuk dan menentukan arah peradaban dunia.
Revolusi Kognitif. Dari mana datangnya agama? Jika Anda menjawabnya dengan “dari Tuhan” atau “dari nabi,” sungguh bukan sebuah jawaban yang memuaskan. Dan, tentu saja, jawaban semacam ini tidak tersedia dalam literatur Ilmu Sejarah.
Jawaban semacam ini bukan hanya tak memuaskan, tapi juga melahirkan ketidakjelasan-ketidakjelasan lain yang menjadi medan perdebatan tak berujung para teolog dan filsuf. Apa itu Tuhan? apakah Tuhan ada? bagaimana keberadaannya? adalah pertanyaan-pertanyaan teologis yang lebih banyak mengaburkan ketimbang menjelaskan. Tak ada gunanya berdebat tentang sesuatu yang bikin kabur.
Harari punya jawaban jitu tentang dari mana datangnya agama dan dari mana asal-usul Tuhan. Menurutnya, jawabannya ada di sebuah fase dalam sejarah manusia yang dia sebut era “revolusi kognitif.” Revolusi kognitif terjadi antara 70 ribu hingga 30 ribu tahun yang lalu.
Ini adalah masa-masa yang sering dirujuk para antropolog dan sejarawan sebagai “tahun-tahun yang menentukan bagi sejarah Bumi.” Menentukan karena pada masa inilah terjadi perubahan besar pada diri salah satu penghuni planet ini: Sapien.
Sebelum masa-masa itu, semua penghuni Bumi memiliki hirarki yang tunduk pada sebuah rantai-makanan (ekosistem) yang ajek selama berjuta-juta tahun. Tidak ada penghuni superior yang bisa melawan ekosistem itu: ikan, reptil, unggas, mamalia, primata, semua tunduk pada hukum besi-nya. Revolusi kognitif mengubah segalanya. Salah satu dari penghuni itu, yang kita kenal dengan sebutan “homo sapien” keluar dari kumpulan yang terbuang.
Istilah “homo sapien” (manusia bijak) sesungguhnya adalah penamaan curang yang sama sekali tidak mewakili perilaku spesies itu. Kata Harari, ini adalah klaim subyektif (self-claim) yang mencerminkan rasa superioritas manusia di atas spesies-spesies lain.
Manusia merasa dirinya sebagai makhluk yang bijak, padahal jika kita simak riwayat Bumi 70 ribu tahun terakhir, yang terjadi adalah rusaknya ekosistem dan punahnya ribuan spesies yang tak pernah ada presedennya dalam sejarah planet ini. Untuk menyebut satu contoh saja: 23 dari 24 spesies unik yang ada di Australia, punah pada masa 10 ribu tahun terakhir, berbarengan dengan ekspansi Sapien di benua itu.
Jika saja Chairil Anwar, penyair agung itu, hidup pada zaman penamaan-penamaan (binomial nomenclature) dan sempat bertemu Carl Linneus (1707-1778), Bapak Taksonomi Modern, mungkin dia akan mengusulkan istilah yang lebih tepat. Nomenklatur yang pas buat menyebut homo sapien adalah “binatang jalang,” bukan “manusia bijak.” Menyimak petualangan manusia selama 70 ribu tahun terakhir, kita tidak bisa mengambil kesimpulan lain untuk menyebut homo sapien selain kata itu.
Tidak ada yang tahu secara pasti mengapa revolusi kognitif itu terjadi pada Sapien (sang binatang jalang). Juga, tak ada yang tahu secara pasti mengapa revolusi itu terjadi pada rentang masa 70-30 ribu tahun yang lalu. Teori yang sangat populer di kalangan ilmuwan mengapa revolusi kognitif muncul pada rentang masa itu adalah karena terjadinya mutasi genetis pada syaraf-syaraf manusia (Sapien), yang memungkinkan mereka berpikir dengan cara yang sama sekali berbeda dengan sebelum-sebelumnya dan berkomunikasi menggunakan sistem bahasa yang sama sekali baru.[1]
Harari menyebutnya “mutasi Pohon Pengetahuan.” Mengapa mutasi ini terjadi pada Sapien dan tidak pada Neanderthal atau spesies-spesies hominid lainnya? Jawabannya sangat evolusionis: “it was a matter of pure chance” alias kebetulan saja.
Jawaban ini mungkin tidak memuaskan Anda. Tapi, perlu dicamkan baik-baik: dalam teori evolusi, kebetulan adalah pembimbing perubahan paling setia. Lagi pula, seperti kata Harari, yang paling penting buat kita bukanlah mencari sebab mengapa mutasi itu terjadi.
Ada jutaan mutasi terjadi sepanjang sejarah makhluk hidup di Bumi. Tak ada yang spesial dengan mutasi. Yang lebih penting untuk kita selidiki adalah konsekuensi-konsekuensi yang terjadi akibat mutasi yang satu ini. Tak pernah ada mutasi sedahsyat mutasi Pohon Pengetahuan.
Salah satu dampak langsung dari mutasi Pohon Pengetahuan adalah munculnya kemampuan berbahasa pada Sapien yang tidak terjadi pada spesies-spesies lain. Bahasa bukanlah unik milik manusia. Setiap hewan (Sapien adalah bagian dari hewan –yang jalang) memiliki bahasa untuk mereka berkomunikasi: lebah, semut, unggas, menggunakan bahasa khusus untuk mereka saling menyampaikan komunikasi.
Bahasa vokal (suara) juga bukan unik milik Sapien. Monyet, kera, gajah, dan lumba-lumba menggunakan beragam suara untuk menyampaikan komunikasi. Yang membedakan bahasa Sapien dari bahasa-bahasa spesies lainnya adalah kelenturannya. Inilah kunci untuk menjawab seluruh teka-teka yang selama ini menjadi persoalan kita: metafisika.
Seekor beo bisa menirukan kata-kata manusia. Tetapi, kita tahu, mimicking adalah hal terbaik yang bisa dicapai beo. Dia tak bisa melakukan lebih dari itu. Dengan fleksibilitasnya, manusia bisa menggunakan dan memanipulasi bahasa untuk melahirkan makna-makna baru. Beberapa kata yang digabungkan sedemikian rupa bisa menghasilkan beragam makna yang diinginkan.
Bahasa manusia yang lentur menghasilkan konsep dan pemahaman yang tak terbatas. Dengan bahasa yang luwes itu, manusia bisa melahirkan konsep-konsep yang nyata dan tidak nyata, menggambarkan yang fiksi dan non-fiksi, merekayasa figur-figur fisik dan metafisik. Dengan kemampuan bahasanya yang tak terbatas, sang Binatang Jalang menciptakan apa saja yang hinggap dalam benaknya: roh, setan, jin, malaikat, dewa, dewi, tuhan, tuhan bapak, tuhan anak, dan seterusnya.
Kekuatan Imajinasi. Konsekuensi berikutnya dari mutasi Pohon Pengetahuan adalah kekuatan imajinasi yang dimiliki manusia. Imajinasi pada mulanya adalah bagian dari memori untuk menyampaikan sebuah pesan. Beberapa spesies hewan memiliki imajinasi yang sederhana tentang pengalaman yang dilaluinya untuk disampaikan kepada temannya yang lain.
Para pakar Zoologi mencatat bahwa seekor monyet bisa menyampaikan sebuah pesan bahaya kepada rekan-rekannya. Jika seekor monyet mendapatkan seekor macan di jalan, dia akan menyampaikan pesan itu kepada teman-temannya agar jangan lewat jalan itu. Tapi, ini hal terbesar yang bisa dilakukan monyet. Sapien bisa melakukan imajinasi yang jauh lebih kompleks dari ini.
Bukan hanya memberikan pesan bahaya jika seseorang melihat macan di jalan, tapi dia akan menjelaskan secara detil di mana lokasinya, ada berapa ekor macan yang dilihat, ukurannya, dan seberapa bahaya ancamannya. Manusia juga bisa menambahkan cerita-cerita lain yang relevan maupun tidak relevan dengan pengalaman yang dilewatinya.
Dengan kekuatan imajinasinya, manusia tak hanya sekedar mampu menyampaikan pesan, tapi juga merekayasa dan mengarang pesan; mengurangi atau melebih-lebihkan pesan itu. Dalam kasus-kasus tertentu, manusia senang menciptakan kisah-kisah yang dia rekayasa dari pengalamannya sendiri, yang dia bumbui dengan drama yang dia ciptakan dari imajinasinya sendiri.
Konsep-konsep di luar dunia inderawi (metafisika), menurut Harari, muncul dari kekuatan imajinasi manusia terhadap pengalaman yang dilewatinya. Jika imajinasi itu disimpan sendiri, ia tak menjadi apa-apa, tapi jika disampaikan dan diceritakan kepada orang lain, ia bisa menjadi dongeng, hikayat, dan kisah suci (yang jika ditulis, menjadi “kitab suci”).
Begitu juga, imajinasi-imajinasi Sapien tentang figur-figur yang dia bayangkan, seperti kuda bersayap, unta berkepala wanita, malaikat terbang, tak akan menjadi masalah jika hayalan itu dia simpan sendiri. Hayalan itu baru akan bermasalah (atau bermakna) jika disampaikan kepada orang lain.
Jika imajinasi ini diterima dan diikuti oleh orang banyak, diceritakan, diagungkan, dan disucikan, pemilik imajinasi itu punya potensi menjadi “nabi.” Seluruh sejarah kenabian (dan agama) bermula dari imajinasi dan pengalaman pribadi seseorang yang diceritakan kepada orang lain.
Ada satu konsep menarik yang disinggung Harari dalam bukunya, yakni “gosip.” Seperti yang kita jumpai sehari-hari, gosip adalah medium paling ampuh untuk menyebarluaskan pesan. Menurut Harari, gosip telah membantu bahasa Sapien berkembang dengan pesat dan berevolusi sedemikian rupa.
Gosip tak hanya berfungsi sebagai penyampai pesan, tapi juga untuk memoles, menambahkan, melebih-lebihkan, dan merekayasa suatu pesan. Gosip tak hanya menceritakan tentang sesuatu yang ada, tapi juga tentang sesuatu yang tidak ada. Konsep-konsep besar seringkali bermula dari sebuah gosip. Gosip tentang Si Pulan yang hobinya bersemedi di dalam goa dan kadang-kadang kesurupan bisa berujung pada munculnya seorang nabi baru.