Home » Agama » Ateisme » Djohan Efendi: “Harus Ada Kebebasan Untuk Tidak Beragama”
Djohan Effendi (Foto: Impact.com)

Djohan Efendi: “Harus Ada Kebebasan Untuk Tidak Beragama”

5/5 (4)

Beragama adalah pilihan sukarela seseorang yang tidak bisa dipaksa-paksa. Siapa saja bebas untuk menentukan agamanya, apakah ia akan memilih Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau agama lainnya. Bahkan, menurut Djohan Efendi, orang juga bebas memilih untuk tidak beragama.

Sebab, selama beragama adalah soal keyakinan individual, maka ia tak bisa dipaksakan. “Kalau kita memaksa seseorang harus beragama, maka keberagamaan yang muncul jadi tidak tulus,” ujar Ketua ICRP dan pengajar di Deakin University, Australia, kepada Nong Darol Mahmada dari Jaringan Islam Liberal. Berikut petikannya:

 

Mas Djohan, di Indonesia banyak sekali agama. Sebagai “orang dalam” Departemen Agama, bisa Anda ceritakan bagaimana pemerintah mengatur hal ini?

Pertama, saya kira kita harus memperjelas bahwa agama-agama itu sudah ada sebelum adanya negara. Karena itu, sebetulnya negara tidak mempunyai kompetensi untuk mengatur agama, karena agama ada di atas negara.

Kedua, saya kira keberagamaan seseorang menjadi hak otonomi yang tidak pernah dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Dan itu berasal dari kemanusiaan itu sendiri. Saya kira sangat tepat kalau dulu, di masa Orde Baru, dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) disebutkan bahwa kebebasan beragama adalah hak paling asasi dari manusia, dan dia bukan anugerah, pemberian negara, atau kelompok apapun. Jadi, ini harus kita tekankan.

Karena itu, menurut saya, kewajiban negara adalah melayani hajat keberagamaan warga negaranya, seperti ia melayani hajat pendidikan, tansportasi, dan lain-lain. Dalam kerangka itulah sebenarnya hubungan antara agama dan negara. Negara melayani agama, bukan mengatur.

Tapi kita kerap mendengar ada kecenderungan agama tertentu yang ingin menyebarkan misinya ke umat agama lain. Nah, bagaimana posisi negara dalam hal ini?

Harus juga kita ingat bahwa keberagamaan seseorang adalah penerimaan dia terhadap sesuatu yang dianggap sangat ultimate, yang menyangkut keselamatannya. Dan salah satu bentuk dari keberagamaan orang adalah keinginan dia untuk juga berbagi keselamatan. Ia ingin orang lain selamat, seperti yang ia yakini, orang lain akan selamat dengan keyakinan itu.

Jadi penyebaran agama didorong oleh niat luhur; bagaimana agar orang lain memperoleh keselamatan. Itu bagian dari keberagamaan, karena seseorang yang beragama tidak egois; ia tidak ingin selamat sendiri. Tentu saja, ini menurut perspektif masing-masing orang.

Jadi, setiap penganut agama mungkin merasa berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada orang lain dengan motivasi yang sangat luhur, agar orang lain memperoleh keselamatan seperti keyakinannya itu.

Dalam hal ini, saya kira negara harus hanya memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menganut, untuk menghayati keberagamaannya, termasuk dalam bentuk menyampaikan seruan kepada orang lain agar ikut dalam rencana keselamatan itu.

Persoalannya adalah setiap agama mengklaim mereka yang paling benar. Apakah sikap seperti ini menyalahi nilai-nilai keberagamaan?

Pertama, keberagamaan harus menjadi suatu pilihan, keyakinan. Dan setiap orang harus meyakini bahwa keberagamaannya itu merupakan keyakinan yang ultimate. Kalau tidak seperti itu, buat apa beragama kalau kita tidak meyakini bahwa agama yang kita pegang akan menyelamatkan kita.

Kedua, salah satu wujud keberagamaan yang paling dalam adalah ketulusan. Jadi ia harus secara tulus, tidak ada paksaan untuk menganut agama. Karena itu segala macam bentuk paksaan tidaklah dibenarkan, karena musuh yang paling fundamental dari agama adalah kemunafikan.

Jadi kalau orang tidak memperoleh kebebasan untuk menentukan pilihannya, entah karena paksaan secara halus ataupun kasar, dalam bentuk apapun, menurut saya tidak akan lahir keberagamaan yang tulus, yang betul-betul murni. Kalau tidak ada kemurnian dalam beragama, buat apa?

Apakah pengertian keberagamaan seperti itu berlaku juga untuk agama-agama lokal seperti di Sunda atau di Jawa (kejawen)?

Ya, saya kira itu berlaku untuk semuanya. Sebetulnya, dalam rangka kebebasan beragama, berarti harus ada juga kebebasan untuk tidak beragama. Karena kalau kita memaksa seseorang harus beragama, maka keberagamaan yang muncul jadi tidak tulus.

Justru terbukanya kemungkinan pilihan orang untuk tidak beragama, misalnya, menunjukkan bahwa keberagamaan yang menjadi pilihan orang akan merupakan sesuatu yang tulus, yang kuat, dan yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.

Apalagi masyarakat lokal yang menganut agamanya sendiri, kita nggak mungkin memaksa mereka untuk berpindah, kalau itu menurut keyakinan mereka. Sebab, mencabut mereka dari keberagamaannya yang secara teguh mereka pegang, itu akan menyiksa seseorang. Tidak ada siksaan batin yang lebih berat dibanding memaksa orang meyakini sesuatu yang dia tidak percayai.

Kembali ke soal peran pemerintah, apa saja yang dilakukan pemerintah menyangkut kehidupan beragama di Indonesia ini? Dan bagaimana sikap pemerintah dengan maraknya Islamisasi dan Kristenisasi?

Saya kira, soal pelayanan pemerintah terhadap minoritas dan mayoritas sudah tercermin, paling tidak secara struktural di Departemen Agama. Untuk kalangan Islam, di sana ada Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Jenderal Kelembagaan. Sedangkan untuk yang lain-lain ada Direktorat Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Saya kira ini adalah perwujudan bentuk bagaimana secara struktural dan institusional pemerintah melayani hajat beragama.

Kemudian masalah dakwah, saya kira itu satu hal yang sangat baik. Kita tidak boleh memaksa orang, tapi hanya diperbolehkan menyeru orang untuk memperoleh, katakanlah, jalan keselamatan. Tidak mungkin dengan cara paksaan, apa lagi dengan memanfaatkan kekurangan ekonomi.

Saya tidak tahu, di mana kebanggan kita sebagai tokoh agama yang umatnya itu beragama hanya karena dorongan perut. Dan saya kira itu juga tidak etis; memanfaatkan kekurangan orang seperti itu. Dan tren menunjukkan bahwa mungkin semua tokoh agama menyadari bahwa hal itu tidak benar.

Soal Islamisasi, memang hal itu merupakan sesuatu yang sangat konflik. Tetapi kalau tadi dikatakan di Maluku ada beberapa orang yang dipaksa menjadi muslim, sebetulnya beberapa waktu yang lalu saya mengundang dua kelompok dari Maluku, yang satu dipaksa muslim, yang satu dipaksa menjadi Kristen.

Sebenarnya itu adalah suatu gejala yang menunjukkan bahwa betapa masyarakat kita masih jauh dari terdidik. Saya kira itu hanya dilakukan di masyarakat yang masih sangat jauh dari tingkat pendidikan yang seharusnya.

Ada tidak upaya yang bisa dilakukan untuk menimbulkan kesadaran di kalangan masyarakat melalui tokoh-tokoh agama?

Saya kira yang paling penting sekarang adalah bagaimana menyadarkan semua tokoh agama bahwa kita mempunyai tantangan bersama, yaitu timbulnya budaya kekerasan. Sebagai catatan, saya ingin katakan; dulu muncul keinginan agar dimunculkan kembali Pendidikan Budi Pekerti.

Bukankah ini suatu tuduhan bahwa agama sudah gagal membentuk manusia yang berbudi pekerti? Padahal dakwah keagamaan sejak pagi sampai sore setiap hari di Gereja, di Masjid, dan di mana-mana ada. Tapi ternyata gagal membentuk budi pekerti.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.