IslamLib – Saya punya seorang teman di media sosial. Perempuan cantik berambut coklat asal London. Tapi bukan karena itu saya menuliskan sosoknya di sini. Melainkan prinsip hidupnya sebagai seorang ateis yang membedakan ia dari kebanyakan teman-teman saya di jejaring sosial.
Saya selalu mengikuti pergerakan perempuan ini melalui setiap postingan yang ia share di media sosial. Selain kerap mempertanyakan soal Tuhan, ia juga gemar mengkritik beragam tingkah polah masyarakat beragama yang menurutnya nampak ganjil. Sikap kritisnya yang tajam dan berani itulah yang membuat saya salut terhadap prinsip para ateis pada umumnya.
Beberapa dari Anda mungkin secepat kilat menghakimi saya, “Anda Islam, tetapi kok menyampaikan rasa salut kepada orang ateis?” Tapi tunggulah dahulu. Saya juga sedang menggali jiwa lebih dalam untuk mendapatkan jawaban atas rasa salut saya itu.
Saya ingat, beberapa waktu lalu perempuan ini pernah memposting sebuah gambar yang berisi tulisan: “If God Has A Plan, Then What The F**k You Are Praying For?” (Jika Tuhan memiliki rencana/takdir, lalu buat apa anda berdoa?).
Menurut saya ini pertanyaan yang hebat. Sebuah kepenasaran teramat dalam akan kekuasaan Tuhan. Pertanyaan tersebut juga berhasil membuat saya bertanya-tanya tentang hakikat doa. Buat apa berdoa kalau memang Tuhan sudah mengatur semuanya?
Pertanyaan ini menganggu pikiran saya semalaman. Saya mencoba menggali jiwa lebih dalam sembari mencari referensi terbaik. Saya berakhir pada jawaban: doa adalah alat komunikasi manusia dengan Tuhan.
Dalam doa kita berkeluh kesah, curhat, bersyukur sembari memanjatkan puji untuk-Nya. Artinya, kehadiran Tuhan melampaui kesetiaan manusia manapun di bumi ini dalam mendampingi keseharian kita.
Doa adalah detik-detik langkah kita di bumi. Setiap perkataan, pikiran, tingkah laku dan segala macam yang diperbuat adalah doa. Jadi, bukan semata menengadahkan tangan sambil mengucapkan kalimat-kalimat permohonan. Selama kita hidup, selama itu pula kita mengucap doa.
Menurut saya, apa yang terjadi saat ini adalah hasil doa kita di masa lalu. Doa pada hari ini adalah keadaan yang akan kita terima pada masa yang akan datang. Beberapa keyakinan memaknainya sebagai ‘karma’.
Jadi menurut saya, jika ada yang bertanya ‘apa manfaat doa atau untuk apa berdoa?’, maka pertanyakan kembali kepada dia, ‘untuk apa Anda bernafas?’ Karena semua yang kita lakukan adalah doa. Baik di pikiran, hati, jiwa, dan langkah. Segalanya adalah doa. Dengan doa kita mengingat, memiliki harapan. Dengan doa kita tetap melangkah dan bisa pulang ke rumah abadi di atas sana.
Tetapi saya tetap salut terhadap orang yang (benar-benar) ateis. Sebab, mereka berani mempertanyakan sistem yang telah diatur oleh Tuhan. Secara tidak langsung, dengan pertanyaan ekstrim yang mereka lontarkan, maka jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan pun akan semakin terbuka untuk mereka.
Jika saya amati, kritik atas agama yang secara keras dilancarkan para ateis disebabkan oleh kecenderungan agama yang kerap dijadikan sebagai alat pemicu perang, seakan penuh ajaran yang menakutkan.
Mereka mungkin bertanya-tanya, mengapa agama yang seharusnya menjadi tuntunan untuk berkehidupan yang aman dan damai malah menjadi pemicu perang antar manusia?
Perumpamaannya seperti ini: jika sepeda motor hanya menyebabkan kecelakaan fatal, bisa dipastikan ada sebagian orang yang menolak untuk mengendarai kendaraan tersebut dan memilih berjalan kaki.
Seorang warga Indonesia yang memutuskan menjadi ateis pernah curhat kepada saya. Menurut pengakuannya, dari semula ia sudah kagum dengan prinsip yang dipegang oleh orang-orang ateis.
Mereka, para ateis menurut kawan saya itu, menegaskan bahwa dirinya bukanlah para pendakwah yang gemar mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Mereka adalah orang-orang yang mendasari moralitasnya pada akal budi manusia serta mengakui segala keterbatasannya.
Ateisme bukanlah sebuah keyakinan yang menurun dalam keluarga. Boleh jadi, ia bukanlah sesuatu yang mudah diajarkan. Ateisme merupakan hasil pencarian dan pergulatan batin seseorang terhadap kebenaran.
Ateis yang baik adalah mereka yang cukup berani mempertanyakan segala sesuatu dan giat bekerja serta belajar untuk mencari jawabannya. Seorang ateis yang baik tidak bisa yakin sebelum meragukan sesuatu terlebih dahulu. Ia juga tidak akan menyontek hanya karena malas mencari jawaban.
Seorang ateis yang baik tidak boleh menjadi ateis karena dipengaruhi orang lain. Dengan kata lain, ateisme hanya bisa ditemukan dan dialami sendiri. Seorang ateis yang baik tidak akan mendorong apalagi membujuk orang lain untuk jadi ateis, tetapi membiarkannya tumbuh dalam pencarian.
Bagaimana dengan kita yang, katanya, beragama? Beberapa di antara kita bahkan kehilangan gairah untuk ‘mempertanyakan Tuhan’. Sebagian lagi asyik-masyuk mengejar kepentingan duniawi. Dengan kata lain, kita hanya menjadikan agama sebagai identitas diri. Hanya syarat agar diakui sebagai warga Indonesia.
Selain itu, kita hanya mewarisi agama dari orangtua. Ketika lahir kita telah dilekatkan dengan agama yang mereka anut. Seiring waktu berjalan, kita hanya menerima doktrin-doktrin yang diwariskan. Tidak ada upaya mengenal Tuhan secara lebih dalam melalui pencarian yang sungguh-sungguh.
Akhirnya, seringkali kita tidak benar-benar paham mengapa harus beribadah kepada Tuhan. Beberapa di antara kita menilai ibadah sebagai sebuah kewajiban dan pekerjaan hitung-hitungan. Sedekah segini, pahalanya segini. Selain itu, hubungan dengan Tuhan kerap dimaknai dalam kerangka ketakutan. Ia beribadah, beramal dan berdoa agar tidak nyemplung ke neraka.
Fenomena beragama seperti itu sangat kontras dengan upaya sungguh-sungguh yang dilakukan para ateis. Mereka terus mempertanyakan dan mencari. Mereka ingin ‘bertemu’ dengan Tuhan. Jika begitu, siapa yang lebih peduli tentang Tuhan dan alam semesta ini kalau bukan mereka yang tak pernah berhenti mencari jawaban?
Saya yakin, jika Indonesia dan masyarakatnya ‘memperbolehkan’ seseorang untuk menjadi ateis, maka orang akan berbondong-bondong menanggalkan status agamanya. Saya juga yakin, Indonesia tidak lagi diklaim sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak.
Begitulah adanya. Beberapa di antara kita menjadikan agama hanya sebagai identitas diri, agar tidak di-‘stempel’ kafir atau sesat oleh masyarakat luas. Sementara para ateis, mereka masih terus mencari dan menggali, hingga, bisa jadi suatu saat, mereka akan bertemu Tuhan dan mempercayai kuasa-Nya dalam menciptakan alam raya.