Home » Agama » Ateisme » Tiga Jenis Ateisme di Indonesia
Para Tokoh Ateisme Baru (Foto: freethoughtblogs.com)

Tiga Jenis Ateisme di Indonesia

4.04/5 (96)

Keberadaan orang ateis di Indonesia bukan lagi suatu pertanyaan. Mereka telah ada sejak lama, mungkin sebelum negeri ini merdeka. Keberadaan mereka telah dideteksi, paling tidak sejak Achdiat K. Mihardja, menuliskan dan menerbitkan novelnya yang terkenal, Atheis, pada tahun 1949.

Yang selalu menjadi persoalan bukanlah apakah ada orang ateis di Indoenesia, tapi berapa banyak jumlah pemeluk ateis di Indonesia? Tidak pernah ada penelitian atau survey yang mendata jumlah pasti pemeluk ateis. Kalaupun ada penelitian tentang orang-orang ateis di negeri ini, tentulah sulit mendapatkan angka pastinya.

Alasannya jelas, ateisme adalah istilah kontroversial yang ingin dihindari banyak orang. Tidak ada orang yang mau diasosiasikan dengan ateisme, khususnya jika dia hidup di tengah-tengah masyarakat yang religius, masyarakat yang memandang ateisme sebagai sebuah “ketidaknormalan” atau bahkan “penyakit sosial.”

Namun demikian, mengakui penolakan secara publik (atau dalam survey) bukan berarti bahwa ateisme tidak ada. Orang-orang ateis selalu ada di negeri ini dan menjadi bagian dari komunitas negeri yang “religius” ini.

Sejak beberapa tahun terakhir, keberadaan kelompok ateis semakin terbuka. Tidak seperti sebelumnya, orang-orang ateis sekarang lebih berani menunjukkan keberadaan mereka. Setidaknya, fenomena ini bisa lihat dengan munculnya kelompok-kelompok anak muda yang menyuarakan ateisme.

Salah satu kelompok yang cukup vokal dan secara terbuka mengkampanyekan ateisme di Indonesia adalah Indonesian Atheists (IA), yang berdiri sejak 2008. Kelompok ini diprakarsai oleh anak-anak muda yang akrab dengan dunia internet. Mereka membangun jejaring lewat grup Facebook dan menggalang diskusi lewat beragam media sosial.

Munculnya IA tak bisa dilepaskan dari peran teknologi informasi dan situasi kebebasan yang kita miliki sejak 1998. Sejak semakin luasnya penggunaan internet di Indonesia, beragam orang menyatakan pandangannya lewat blog dan media sosial. Facebook menjadi ajang penting dalam menyatakan eksistensi dan keyakinan seseorang.

Saya menduga, di luar dunia maya, jumlah penganut ateis di Indonesia jauh lebih banyak dan lebih beragam jenisnya. Ateisme tidak melulu seperti yang dipersepsikan selama ini, yakni orang-orang yang anti-Tuhan dan berusaha mengkampanyekan keyakinan mereka kepada orang lain.

Ada banyak jenis ateisme di dunia ini. Dalam sebuah laporannya tentang kehidupan ateisme di Amerika Serikat, koran the Guardian menyebut setidaknya ada enam tipe ateis, dari yang paling soft, yakni ateisme yang tidak menonjolkan keyakinannya di muka publik, hingga yang hardcore, yakni ateisme yang mengkampanyekan keyakinannya kepada orang lain.

Di Indonesia, saya juga melihat varian-varian serupa. Dari pengamatan dan pergaulan saya dengan banyak orang, termasuk dengan para politisi, tokoh agama, aktivis, dan pemimpin organisasi (termasuk organisasi keagamaan), saya melihat, setidaknya ada tiga jenis ateisme di Indonesia.

Namun, sebelum menjelaskan varian-varian itu, saya ingin menerangkan sedikit definisi ateisme dan apa yang dimaksud dengan ateis dalam tulisan ini. Secara umum, ateisme didefinisikan sebagai “keyakinan akan tidak adanya Tuhan.” Tuhan yang dimaksud adalah pencipta yang menjadikan dunia dan alam semesta ini ada.

Kaum ateis percaya bahwa alam raya ada dengan sendirinya, bukan sebuah proses yang diciptakan. Belakangan, sejak Sains modern berkembang pesat, pandangan agama tentang penciptaan digantikan oleh penjelasan ilmiah yang lebih masuk akal, khususnya teori Big Bang. Boleh dibilang, seluruh argumen kaum ateis modern berdiri di atas paradigma kosmologi modern ini.

Varian-varian ateisme terbentuk bukan berdasarkan sejauh mana keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan, tapi sejauh mana perilaku mereka di lingkungan sosial di mana mereka hidup. Bagi kaum ateis, soal eksistensi Tuhan sudah final. Yang menjadi soal adalah bagaimana mereka bisa hidup di lingkungan yang tidak bersahabat dengan ateisme.

1. Ateisme Terbuka (New Atheism)

Dalam literatur berbahasa Inggris, varian ini disebut sebagai “ateisme baru” (new atheism). Saya lebih suka menyebutnya “ateisme terbuka” atau “ateisme sempurna.” Orang-orang ateis yang secara terbuka menyatakan keyakinannya tanpa mempertimbangkan kepantasan publik (political correctness) layak dimasukkan dalam kelompok ini.

Para sarjana ateis seperti Richard Dawkins, Sam Harris, dan Daniel Dennet, kerap dipandang sebagai tokoh-tokoh penting gerakan ateisme baru. Secara terbuka, mereka mendeklarasikan diri ateis dan secara agresif mengkampanyekan pandangan-pandangan ateistik mereka.

Disebut “ateisme baru” untuk membedakannya dengan “ateisme lama” yang mengakar dan berkembang dalam tradisi Filsafat. Ciri khas dari gerakan ateisme baru adalah keyakinan para pendukungnya bahwa Sains mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental, termasuk pertanyaan tentang eksistensi Tuhan.

Di Indonesia, ateisme terbuka diwakili oleh beberapa orang yang secara terang-terangan mendeklarasikan keyakinan ateistik mereka. Misalnya, anak-anak muda yang tergabung dalam Indonesian Atheists itu. Seperti gerakan ateisme baru di dunia Barat, anak-anak muda yang tergabung dalam IA juga sangat mengagung-agungkan Sains dan keyakinan bahwa Sains mampu menjawab pertanyaan yang selama ini menjadi domain Filsafat dan Teologi.

Para penganut ateisme terbuka umumnya adalah mereka yang tidak memiliki beban sosial atau keluarga. Mereka yang tumbuh dari keluarga yang liberal atau dari orang tua yang agnostik umumnya tak memiliki hambatan untuk mengaku sebagai seorang ateis.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.