Aksi dukung mendukung pasangan calon presiden dalam Pilpres 5 Juli mendatang tidak terjadi di lingkungan formal umat Katolik. Alih-alih terlibat dalam politik dukung mendukung, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) sebagai representasi umat Katolik di Indonesia justru melakukan pendidikan politik untuk umatnya.
Bagi KWI, politik dukung-mendukung pada level elit, pada hakikatnya mengkhianati kedaulatan rakyat. Karena ada ketidakpercayaan pada kecerdasan rakyat sebagai individu yang otonom. Untuk itulah, KWI dalam pemilu ini hanya mengeluarkan Sapaan Pastoral yang lebih bersifat menghimbau agar memilih capres yang akan menjamin keadilan, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan sisitem pendidikan, ketimbang mendukung sosok tertentu.
Nah, untuk mengetahui lebih dalam tentang aspirasi dan sikap umat Katolik dalam Pilpres ini, Ulil Abshar-Abdalla mewawancarai Romo Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama KWI. Wawancara dengan penulis tiga buku itu, di antaranya Vox Populi Vox Dei dan Orde Para Bandit(LKiS), berlangsung Kamis, 27 Mei 2004 lalu.
Romo Benny, KWI pada 7 Mei lalu mengeluarkan Sapaan Pastoral yang berisi wawasan gereja tentang pemilu presiden. Apa latar belakang munculnya Sapaan Pastoral itu?
Sebetulnya surat ini sudah mengalami proses panjang dan melewati studi selama satu tahun. Berturut-turut gereja telah mengeluarkan Nota Pastoral tentang Keadilan Sosial Bagi Semua, dilanjutkanSurat Gembala dan terakhir Sapaan Pastoral. Surat ini menganjurkan umat Katolik berpartisipasi dalam pemilihan presiden secara cerdas dan selektif.
Memilih calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak tergantung pada sosok yang kuat, atau mereka yang gembor-gembor akan memberikan rasa aman saja. Lebih penting dari itu, apakah mereka punya program yang jelas dan terukur agar mampu mendudukkan Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat.
Apa ukurannya?
Ukurannya sederhana saja: apakah mereka mempunyai program yang kongkret. Misalnya dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Artinya, kalau saat ini angka kemiskinan 60 juta, bisakah mereka mengurangi –tidak banyak-banyak– sekitar 7 juta orang saja dalam jangka setahun. Kalau bisa, itu menandakan mereka punya program ekonomi yang riil, memihak kepada rakyat, dan membuka kesempatan kerja yang lebih luas.
Poin kedua ukurannya juga harus jelas: apakah mereka bisa mengurangi jumlah tindak kekerasan? Artinya, kalau dia menjadi presiden, kekerasan akan dapat dikurangi secara signifikan. Makanya, pemimpin masa depan harus dapat menjelaskan bagaimana caranya membangun rekonsiliasi yang berdasarkan prinsip kebenaran dan kejujuran. Sebab, rekonsiliasi yang ada saat ini tidak dibangun atas dasar kebenaran dan kejujuran.
Selain sebagai panggilan moral, apakah Sapaan Pastoral ini ikut mengarahkan untuk mendukung pihak tertentu?
Tidak, Gereja Katolik tidak mau melakukan itu. Sapaan Pastoral ini hanya sebentuk pendidikan politik. Tujuannya, bagaimana membentuk umat yang secara individual bertanggung jawab pada pilihannya. Jadi ini dapat juga dikatakan sebuah studi.
Makanya, ketetapan individual untuk tidak memilih juga kami hargai. Bahkan ini sapaan ini membuka peluang untuk itu. Artinya, ketika mereka tidak memilih atas pertimbangan kriteria yang ada, dan setelah melewati proses studi yang seksama, maka pernyataan pribadi untuk tidak memilih siapa-siapa menjadi sah. Itu adalah hak mereka.
Bagaimana pandangan tokoh-tokoh Katolik tentang para calon presiden saat ini?
Gereja tidak berwenang menilai. Hanya saja, gereja tidak ingin terjebak pada sosok-sosok. Gereja juga tidak membedakan antara figur sipil dan militer. Tapi gereja ingin mengatakan, kalau engkau menjadi capres dan cawapres, programnya mesti yang jelas, dong!
Program yang jelas akan bisa diukur dengan parameter yang jelas pula. Misalnya, program dalam bidang pendidikan. Bisakah pendidikan tidak sekedar menjadi ajang menjejali anak didik dengan hafalan, sehingga menjadi ajang yang membebaskan kaum miskin untuk punya daya tawar terhadap struktur ekonomi dan politik?
Pendidikan kita ini kan tidak membebaskan, tapi justru menjadi proses pembodohan. Makanya, bisakah mereka membuat konsep pendidikan yang lebih jelas orientasinya?
Tapi romo, pemilih kita kan tidak mempedulikan penjelasan rinci seperti itu, tapi masih suka akan retorika politik para capres!
Kecenderungan itulah yang dilawan gereja dengan proses pendidikan politik. Kalau kita tidak dilatih secara kritis untuk mepertanyakan itu semua, kita akan mendapatkan pemimpin yang terus menerus salah. Kita lagi-lagi akan terjebak pada sosok pemimpin yang kharismatik, tapi tidak punya program yang jelas. Kalau itu yang terjadi, kita akan terus menerus mengulang kesalahan sejarah.
Saya rasa, rakyat kita tidak seperti itu semuanya. Buktinya, sekitar 32 juga rakyat tidak memilih dalam pemilu legislatif lalu. Bagi saya, itu sebuah sinyal bahwa rakyat kita pada hakikatnya juga tidak suka dijejali retorika dan wacana belaka.
Mereka ingin program yang secara kongkret akan membantu hidup mereka. Maka menurut saya, capres dan cawapres harusnya tidak lagi berada pada tingkat retorika, tapi sudah masuk wilayah program kongkret yang mampu membawa Indonesia keluar dari krisis.
Apakah gereja akan menerima mereka yang datang ke gereja untuk menjelaskan program mereka?
Kita tetap terbuka. Seperti dulunya, kita tetap bebas mengundang semua partai ke gereja. Tentu di ruang pertemuannya, karena gereja tidak boleh dijadikan mimbar politik. Perdebatan di dalam aula selalu dibuat meriah oleh umat. Jadi kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama. Bahkan waktu pemilu legislatif lalu, paroki-paroki mengundang para caleg.
Gereja punya rencana membuat debat capres?
Kegiatan seperti itu bukan dilakukan gereja, tapi diselenggarakan oleh forum masyarakat Katolik. Jadi gereja hanya memberi himbauan moral untuk membantu orang dalam memilih secara sadar, tahu dan mau, serta berdasar nurani yang jernih. Itu tugas kita. Sementara urusan praktisnya diserahkan kepada umat.
Apakah secara umum gereja punya pilihan pada tokoh tertentu?
Tidak ada. Gereja Katolik tidak mau terjebak dalam sosok dan kegiatan dukung mendukung. Politik dukung-mendukung itu pada hakikatnya mengkhianati kedaulatan rakyat, karena dengan begitu, dalam tingkat asumsi, kita tidak percaya bahwa rakyat kita sudah cerdas.
Tugas gereja hanya pada proses membimbing umat sampai pada pilihan yang jernih, berdasarkan nurani yang sudah dipertajam. Jadi sebatas himbauan, bimbingan, dan pendidikan politik yang memadai. Jadi itu poinnya.
Apakah ini bentuk keterlibatan gereja secara tidak langsung dalam dunia politik?
Tepatnya ini bagian misi kenabian atau misi profetik gereja. Gereja merasa dipanggil untuk menyuarakan kebenaran, berdasarkan inspirasi imannya. Ini juga semacam menegaskan bahwa bahwa gereja datang sebagai sarana keselamatan, sekalipun gereja tidak mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sarana keselamatan. Karena dia sarana, maka harus terlibat dalam aksi keadilan sosial.
Makanya, suatu ketika Paus Yohanes Paulus pernah mengatakan, “Iman tanpa keadilan adalah omong kosong.” Iman baru dianggap kredibel kalau berpihak pada keadilan dan kaum miskin. Makanya, jargon gereja adalah keadilan bagi semua, bukan hanya untuk umat Katolik.
Makanya, semua karya Katolik adalah karya memerdekakan. Almarhum Monsignor A Soegijapranata, SJ, dulu pernah mengatakan, “Soal pembaptisan adalah urusan Roh Kudus, tapi urusan meningkatkan kesejahteraan dan keadilan Indonesia adalah urusan bersama umat Katolik.” Makanya, dulu kita pernah mendirikan organisasi Buruh Pancasila dan Petani Pancasila yang sepenuhnya berpihak pada rakyat miskin.
Jadi jargon itu untuk semua umat. Sejak awal, kita mencanangkan proses pendidikan untuk semua umat Indonesia. Itulah misi profetik semua agama. Kitapun merasakan penderitaan yang sama kalau mayoritas muslim di Indonesia menderita kemiskinan. Itu juga tanggung jawab kita bersama. Makanya, tugas umat Katolik bukan memikirkan kepentingan kelompoknya sendiri, tapi juga memikirkan kepentingan bangsa.
Karya kemakmuran itu biasanya dicurigai berkaitan dengan kegiatan Kristenisasi. Tanggapan Anda?
Dulu Romo Mangunwijaya pernah mengatakan, “Asal kita tulus memperjuangkan kemanusiaan, kita tidak perlu takut dicap macam-macam.” Soal isu kristenisasi, biar sajalah berlalu. Toh, apa yang dibuat Romo Mangunwijaya dulunya, akhirnya diakui orang untuk kepentingan bersama. Itu saja.
Romo, apakah soal korupsi juga menjadi sorotan Sapaan Pastoral?
Ya. Makanya di situ dikatakan, “Carilah pemimpin yang berani mengurangi tingkat korupsi dengan ukuran yang signifikan!” Jadi, kalau seseorang menjadi capres dan cawapres, soal penegakan hukum bagi para koruptor harus diukur dari seberapa perkara yang bisa diselesaikan.
Kita sekarang masih saja terjebak wacana dan retorika. Semua berikrar ingin memberantas korupsi, tapi parameternya tidak jelas. Kejaksaan dan Menteri Kehakimannya siapa? Apakah mereka sosok yang bisa dipercaya akan benar-benar berani menangkap koruptor? Kalau masih wacana saja, itukan baru janji-janji kosong.
Dari beberapa pasangan capres dan cawapres sekarang, apa ada yang dianggap cukup berkomitmen untuk memberantas korupsi?
Saya kira belum, karena belum adanya program yang jelas dan terukur tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses memberantas korupsi. Tapi kita tetap optimis dan berharap akan ada perubahan dalam waktu singkat ini. Harapan kita, itu juga didorong oleh masyarakat melalui desakan-desakan di media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan lain-lain.
Masyarakat juga harus mengusahakan program itu keluar. Di sini masyarakat meningkatkan daya tawar. Kalau tidak, mereka bisa seenaknya. Sebab, sebenarnya masyarakat punya peluang cukup untuk meminta capres dan cawapres itu untuk mengikuti keinginan rakyat. Intinya, rakyatlah yang harus berdaulat.