IslamLib – Pekan lalu, saya menyimak ceramah yang cukup menarik tentang Buddhisme. Ceramah itu disampaikan Bapak Sujito Kusumo Kartiko, seorang pengurus Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) di sebuah hotel di Bogor.
Pak Sujito seorang pembicara yang andal: pandai menyajikan pokok pikiran, enak didengar, dan kocak. Ia setia mengenakan kopiah yang konon dibelinya dari Masjid Cheng Ho di Surabaya.
Banyak orang yang mengiranya seorang Ustad. Saya pun mulanya beranggapan begitu. Sampai Pak Sujito memperlihatkan ornamen klenteng di kopiahnya.
Saya terkesima dengan tesis pembukan ceramah Pak Sujito. Buddhisme, kata dia membuka obrolan, bukanlah agama yang rumit sebagaimana adik-adiknya: Islam dan Kristen.
Karena lahir belakangan, Kristen dan Islam punya kesempatan untuk mencatat apa-apa yang telah dan belum dikatakan kakaknya (maksudnya Buddhisme), lalu mengoreksi atau menambahkan hal-hal yang belum terkatakan. Hasilnya, adik-adik ini menjadi lebih kompleks dari kakaknya yang terlahir lebih dulu.
Namun apakah menjadi lebih kompleks—atau seringnya diklaim lebih sempurna—dengan sendirinya lebih baik daripada yang sederhana? Nanti dulu.
Terkadang, there is beauty in simplicity. Menjadi lebih kompleks dalam ihwal agama terkadang tak jarang membuatnya kehilangan esensi dan pokok-pokok ajarannya. Jika berhadapan dengan sesuatu yang terlalu kompleks, kita boleh jadi terkecoh dan malah tersesat di dalam labirin asesori-asesori yang menyelubungi esensi.
Lalu apa pula yang esensi dari ajaran Buddha sebagaimana saya dengar dari Pak Sujito? Menurutnya, pokok ajaran Buddha sederhana saja: jangan berbuat jahat, perbanyak berbuat baik, sucikan hati dan pikiran!
Sederhana sekali, bukan? Jika manusia tak lagi berbuat jahat, surplus dalam mengerjakan kebajikan, suci pula dalam hati, pikiran dan perkataan, selesailah sudah urusan. Setan akan berputus asa, para Nabi dan Rasul akan lega hatinya, dan Tuhan pun mungkin bahagia.
Tapi nyatanya, dunia tak selalu begitu mudah dan sederhana. Saya pun lalu bertanya: dari mana datangnya ankara murka yang merasuki sanubari umat Buddha yang buruk memperlakukan warga Rohingya di Myanmar sana?
Sekilas tampak pertanyaan susah. Tapi mudah saja bagi Pak Sujito menjawabnya. “Manusia itu punya nafsu, pangkal semua kejahatan!” jawabnya enteng.
Tatkala manusia tak mampu mengendalikan hawa nafsu ankara murka yang bersemayam di dalam diri mereka, sejauh itu pula mereka tak akan pernah sampai kepada Buddha.
Dan menurut Pak Sujito, Buddha tidaklah sosok yang tunggal personal, tapi bisa banyak dan kategorial. Tatkala seseorang telah sampai kepada titik pencerahan dan kesempurnaan, maka ia berhak menyandang gelar Buddha!
Jadi, lanjut Pak Sujito sambil berkelakar, anda tak perlu menganut agama Buddha untuk menjadi seorang Buddha. Ungkapan ini tiga kali dia ulang. Mungkin agar tidak terdengar seperti berdakwah atau semacam menjual produk tertentu.
Tapi bukankah the best marketing doesn’t feel like marketing sebagaimana dikatakan seorang marketoonist, almukarram Tom Fishburne?
Ada dua perumpamaan yang membekas di ingatan dan saya suka lagi dari Pak Sujito. Pertama, dia menganalogikan Buddha sebagai pemberi jalan dan pemberi sampan. Siapa yang bertualang dan siapa pula yang akan menyeberang? Ya, anda sendiri.
Yang kedua, dosa tidak dapat diampuni oleh siapapun, kecuali oleh usaha anda sendiri. Caranya, dengan berbuat kebajikan lebih banyak lagi.
Pak Sujito memberi perumpamaan air garam di dalam sebuah bejana. Jika anda ingin mendapatkan air tawar yang mampu melepaskan dahaga sementara anda tak dibolehkan membuang air garam dari bejana itu, mungkin salah satu cara jitu adalah dengan menuangkan lebih banyak air tawar. Di saat kadar air tawar di bejana jauh melebihi kadar air garam, maka anda tinggal leg.
Air garam itulah dosa dan karma yang anda harus pikul terus menerus. Air tawar adalah usaha anda menebusnya dengan lebih banyak berbuat kebajikan.
Saya menikmati ceraham Pak Sujito walau dia tak mengutip sebiji firman dan secuil sabda pun untuk membuat ceramahnya tampak suci atau meyakinkan. Begitu sederhana, begitu mengena, dan betapa kita terkadang banyak alpa dan lupa.
Intinya, beragama itu sebenarnya sederhana, sampai ada yang membuatnya rumit, lalu kehilangan arah, dan terkadang pongah. Mari kita buktikan tesis ini dari sudut pandang seorang muslim.
Sudah menjadi pengetahuan umum, konon tujuan mendasar diutusnya Nabi Muhammmad junjungan kita adalah untuk menyempurnakan budi pekerti manusia di zamannya, dan zaman-zaman yang mengikutinya.
Itu jelas sekali dalam sabdanya: “Tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan budi pekerti.” Itulah terjemahan Indonesia untuk hadis innama bu’istu li utammima makarima al-akhlaq. Agar umatnya berberbudi-pekerti atau katakanlah berakhlak mulia.
Bagaimana bentuknya akhlak mulia itu? Bisa panjang uraiannya. Tapi ambillah beberapa saja dari hadis-hadis tahdzib atau targhib yang mensugesti umat Islam untuk berbuat baik.
Misalnya tidak durhaka kepada orang tua, menghormati tamu dan para jiran, meninggalkan perkara yang tidak penting, memperbanyak silaturahmi, menebarkan salam atau kedamaian, tidak suka berbuat fitnah, dan lain-lain, dan lain-lain.
Saya bisa katakan, yang begini-begini ini adalah selling point Islam paling penting. Inilah yang disebut dakwah bil hal, berdakwah lewat kelakuan baik.
Intinya, di tingkat esensi untuk membuat manusia berakhlak mulia, ajaran-ajaran dasar agama dapat berjumpa karena ia pada hakikatnya diperuntukkan bagi manusia, bukan persembahan untuk Allah.
Permisalan bejana Pak Sujito tadi, pun dapat kita jumpai padanannya dalam sebuah hadis Nabi: “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kalian berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya yang terakhir akan menghapus yang pertama. Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang mulia!”
Persoalannya, agama terkadang menjadi ruwet, ribet, rumit. Terkadang rumusannya sering pula mengecoh manusia sehingga lupa mana yang pokok mana yang cabang dan ranting-ranting.
Tatkala kita terlena dan terlupa sedang berpegang dan bergelantungan di cabang-cabang dan ranting-ranting itu, tanpa terpaan angin pun kita bisa terjatuh dan terhempas ke dasar kehinaan.
Jadi, jika hendak kokoh dalam beragama, ada baiknya kita lebih berpegang kepada pokok-pokoknya, lalu boleh menjulang menyaksikan bianglala atau turun saja rebah bersama rerumputan!