Cara-cara represif tidak selamanya akan berguna dalam menyikapi kelompok-kelompok sempalan dalam komunitas suatu agama. Adakalanya, teknik membiarkan dan memberi tenggat waktu merupakan kearifan yang perlu ditempuh.
Demikianlah penurutan Romo Eddy Kristiyanto, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, dan anggota Komisi Teologi di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tentang pengalaman Gereja Katolik dalam menangani kelompok-kelompok yang dianggap sesat atau sempalan, kepada Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) Kamis lalu (5/1/2006).
Romo, munculnya kelompok-kelompok sempalan selalu saja mengiringi sejarah agama-agama. Dalam setiap agama, selalu ada kelompok yang merasa mendapat bisikan langit dan mengumandangkan agama atau doktrin baru. Bagaimana pengalaman Gereja Katolik dalam menyikapi kelompok-kelompok seperti ini?
Kelompok sempalan seperti itu biasanya dipandang dengan sangat hati-hati oleh kalangan mayoritas. Dulu, Gereja Katolik Roma membentuk sebuah lembaga, yaitu lembaga inkuisisi yang menimbang-nimbang bagaimana ajaran dan doktrin mereka; apakah ini murni atau sudah tercampur dengan berbagai keyakinan, dan unsur-unsur apa saja yang masuk di dalamnya.
Lembaga inkuisisiinilah yang nantinya berkembang menjadi kongregasiyang disebut congregatio pro doctrina fidae ataukongregasi untuk doktrin dan iman. Komisi ini yang akan menilai latar belakangnya, bagaimana pertimbangan kitab sucinya, bentuk ajaran teologisnya, dan apakah ada kesaksian-kesaksian dari masyarakat setempat.
Jadi selalu ada kajian yang utuh, bukan hanya dari aspek teologis suatu kelompok. Meski kepedulian Gereja pertama-tama adalah di bidang moral dan iman, namun unsur-unsur lain yang perlu diteliti tetap diperhatikan juga. Makanya, diundanglah sosiolog, psikolog agama, dan ahli kitab suci untuk menimbang segala sesuatu berkenaan dengan kelompok sempalan tersebut.
Nah, sejauh yang dicatat sejarah, terutama pada Abad Pertengahan, komisi inilah yang akan memberi pertimbangan. Misalnya ditetapkan, kelompok sempalan ini tidak sejalan dengan arus umum Gereja, karena tafsiran Alkitabnya seperti ini dan itu.
Pertimbangn itu lalu diserahkan kepada suatu lembaga yang nantinya bekerjasama dengan pemerintah sipil untuk mengejar dan terus mengintai; kalau perlu menangkap dan menangangi mereka. Selanjutntya, kelompok itu entah diekskusi atau dikenakan sanksi macam-macam. Tapi, sejak abad ke-17, lembaga inkuisisi itu sudah lenyap.
Apakah gereja selalu merekomendasikan pelarangan atau pelenyapan eksistensi kelompok-kelompok yang dianggap sesat?
Pada awal mula sejarah lembaga inkuisisi—atau katakanlah lembaga jagal itu–memang rekomendasinya sangat jelas. Bahkan misalnya, pada Konsili Konstan abad-15 ditetapkan bahwa Johan Huss dari Bohemia telah sesat, dan lembaga atau konsili eukumenis memvonis dia mati bakar. Jadi rekomendasi lembaga inkuisisi itu sangat jelas, meskipun dalam eksekusinya dibebankan pada pemerintah sipil berdasarkan penyimpangan-penimpangannya dari dalil-dalil teologis Alkitab dan lain sebagainya.
Dalam sejarah, tampaknya agamawan selalu tampak ingin lepas tangan, tapi mendesak pemerintah untuk menjalankan eksekusi?
Tidak selalu begitu, sebetulnya. Itu hanya selalu terjadi ketika di Eropa saat itu agama dan kekuasaan pemerintah sipil atau negara/aparat bersatu sedemikian rupa. Namun ketika ada separasi atau pemisahan kutub-kutub kekuasaan, masalah agama ditangani oleh agamaman sendiri; termasuk bagaimana cara memurnikan ajaran agamanya sendiri.
Dalam perkembangan sejarah Gereja Katolik di Eropa, setelah adanya separasi kekuasaan, hukuman-hukuman fisik dan penindasan atas kelompok yang dianggap sesat itu, tidak terjadi lagi.
Romo, apa standar yang biasanya digunakan Gereja untuk menetapkan suatu kelompok itu sesat atau tidak sesat?
Kalau bicara standar, berarti kita juga harus bicara tentang lembaga yang menciptakan standar. Tapi biasanya, standar umumnya adalah Alkitab, teologi yang umum, logis dan masuk akal, sudah teruji dalam teradisi yang begitu lama, dan terbukti ngefek atau tidak.
Artinya, apakah dari suatu kelompok itu ada buah-buah roh atau tidak. Intinya ada atau tidaknya kemaslahatan bagi banyak orang. Dan standar ini memang ditetapkan oleh sebuah lembaga berdasarkan dogma-dogma yang sesuai dengan arus umum.
Jadi, standar itu ditetapkan oleh lembaga khusus yang memegang kekuasaan. Di situ ada hierarki, dan tidak semua orang punya kewenangan untuk menilai. Di dalam struktur agama Katolik Roma, jelas sekali hierarkinya; ada uskup, imam, dan diakon menyangkut siapa yang harus menghadapi persoalan-persoalan tersebut.
Jadi, soal ini tidak diserahkan pada orang-orang biasa atau awam. Karena ini masalah iman, petinggi Gereja harus terlibat dalam menentukan benar atau tidaknya. Pada akhirnya, kepada kelompok sempalan itu, seringkali dikatakan, “Kalau Anda tidak setuju dengan ketetapan kami, silakan keluar!”
Berdasarkan pengalaman Katolik, apakah kelompok-kelompok sempalan itu dianggap telah membangun konsep teologi baru?
Umumnya, kelompok-kelompok yang dianggap bid’ahatau heretikpada Abad Pertengahan, tidak juga membangun kerangka atau ancangan teologi baru. Hanya saja, mereka dicap telah melakukan bid’ah, meskipun istilah ini tidak simpatik.
Mestinya, mereka disebutsedangmenafsirkan secara baru apa yang berlaku dan dianut oleh arus umum masyarakat. Jadi memang tidak membangun teologi baru. Mereka mungkin bisa dikatakan sedang membangun teologi yang eksklusif; hanya menyangkut beberapa orang dan lingkungan tertentu saja.
Karena bentuknya yang eksklusif itu, ketika hendak diekspor ke tempat lain, aliran seperti itu akan susah masuk, karena sifatnya yang mungkin sangat lokal. Jadi tidak ada sama sekali hal yang baru. Tapi justru menariknya, kelompok-kelompok seperti ini membuat tawaran-tawaran yang berbeda dari yang umum dilakukan masyarakat atau warga Gereja mayoritas.
Dulu, dalam sejarah Gereja Katolik, ada kelompok Thomas Waldensisyang berkembang di bagian selatan daerah Torino (Italia). Ada juga kelompok Petrus Baldus yang menyatakan bahwa Yesus/Isa Almasih menyatakan bahwa Ia adalah orang miskin yang bergantung kepada Allah. Karena itu, apa yang ditetapkan kitab suci itu benar adanya. Kelompk ini lalu menghayati sepenuh-penuhnya ketetapan-ketetapan yang ada di dalam Alkitab.