Usaha untuk menjalin kehidupan harmonis dalam suatu masyarakat yang majemuk tidak selalu mudah. Pihak-pihak yang merasa untung dari suasana ketegangan dan perang, tidak akan putus-putus menguji komitmen mulia itu. Pesan perdamaian akan selalu menjadi tergugat, sementara aroma permusuhan tak pernah bosan dihembuskan.
Itulah setidaknya yang digambarkan Kingdom of Heaven, sebuah film yang berkisah tentang Perang Salib yang justru membawa pesan perdamaian. Kurang lebih seribu tahun silam, orang-orang berperang demi mewujudkan “tatanan surgawi” di tanah suci Yerusalem. Kini tatanan itu tak kunjung mewujud; Yerusalem terus bergolak dalam bara permusuhan dan kebencian.
Apa pesan lain Kingdom of Heaven yang relevan untuk masa sekarang? Berikut perbincangan Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Hamid Basyaib, seorang aktivis yang juga pengamati dunia perfilman.
Bung Hamid, apa yang menarik dari film Kingdom of Heaven?
Pertama, saya kagum pada sutradara sekaligus produsernya (Ridley Scott). Dari dulu saya suka sekali pada sineas Inggris ini. Dia juga orang yang membikin film-film bagus seperti Gladiator dan Black Hawk Down. Dia selalu punya style yang bagus dalam menggambarkan adegan perang. Dia bisa menggambarkan adegan perang tidak hanya dalam bentuk kekasaran dan kekejaman. Stilisasi, teknik shooting kamera, dan editingnya selalu bagus.
Kedua, saya kagum karena keberaniannya membuat film seperti ini di dalam konteks dan semangat Barat yang kini kurang lebih anti-muslim. Saya kira, dia telah membuat film yang kurang lebih proporsional terhadap Islam yang diwakili oleh pasukan Salahuddin al-Ayyubi atau Sultan Saladin. Karena itu, dalam banyak hal, dia (Ridley Scott) bisa dibilang sangat simpatik terhadap Islam daripada Kristen. Itu gambaran umum saya.
Mungkin karena itu Ghassan Masoud, aktor Maroko yang memerankan tokoh Saladin itu mengatakan bahwa Ridley Scott (sutradara) dan William Monahan (penulis skrip) sangat menghargai Islam, sangat peka dan hati-hati terhadap sentimen masyarakat Islam?
Ya, dan itu pulalah yang mengagumkan. Dan karena itu kita bisa mengerti mengapa banyak kalangan Kristen fundamentalis atau orang Barat yang tidak suka pada bentuk interpretasi Scott dan Monahan atas sejarah Perang Salib.
Kita tahu, sejarah Perang Salib sudah ditulis dalam ribuan buku, dan peristiwanya juga sudah berlangsung seribu tahun yang lalu. Karenanya, wajar kalau ada banyak nuansa atau cara pandang yang tidak otomatis sama dengan cara pandang film ini.
Baru-baru ini, sahabat saya memberi tahu kalau dia baru saja membaca buku tentang Perang Salib yang sangat berbeda pendekatan dari yang digambarkan film ini. Di buku itu digambarkan, baik tentara Kristen maupun Islam, keduanya sama-sama melakukan kekonyolan-kekonyolan yang kurang lebih sama.
Jadi di luar konteks perang dan bagaimana mereka mempersiapkannya, juga banyak muncul kekonyolan-kekonyolan. Nah, di Kingdom of Heaven ini, kekonyolan-kekonyolan itu sedikit digambarkan pada pasukan Salib saja. Misalnya, kebiasaan teler dan mabuk sebelum berperang.
Karena itu, waktu menunggang kuda, mereka sudah keburu jatuh karena mabuknya terlalu berat. Sebetulnya, kekonyolan seperti itu bisa dipahami dalam konteks meringankan beban untuk menjemput maut, atau karena belum bisa menghilangkan kebiasaan.
Nah, walau di film itu tidak digambarkan terjadinya kekonyolan serupa pada pasukan Salahuddin, saya tetap yakin bahwa hal yang kurang lebih sama juga bisa terjadi. Itu manusiawi saja, karena menyangkut beribu-ribu orang. Karena itu, masuk akal kalau sifat dan kebiasaannya juga berbeda-beda. Scott berani sekali menggambarkan hal seperti itu pada pihak Kristen.
Para sejarawan fundamentalis Kristen keberatan dengan penggambaran orang-orang Arab yang beradab dan berkebudayaan tinggi, dan juga sosok Salahudin sebagai kesatria yang terhormat. Tanggapan Anda?
Penggambaran Salahuddin seperti itu tentu saja bukan baru saja dimulai oleh film ini. Beberapa buku juga sudah menyebutkan bahwa dia memang seorang jenderal yang bermartabat. Tapi jangan lupa, di film itu juga digambarkan bentuk kemarahan Salahuddin. Misalnya ketika dia memberi air minum kepada Raja Lusignan yang ia tawan. Karena sang raja takut diracun, dia menyerahkan air tersebut kepada asistennya.
Salahuddin lalu naik pitam, karena tawaran yang simpatik itu, kok justru diserahkan ke asistennya. Karena itu, dia sempat melukai si asisten karena dia merasa jengkel. Artinya, di situ digambarkan bahwa bagaimanapun juga, Salahuddin juga seorang serdadu yang bisa naik pitam. Tapi memang penggambaran sosok Salahuddin secara umum proporsional.