Mereka bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, dan bersikap tegas, kuat pendirian, dan tidak menoleransi dalam hal-hal prinsip terhadap orang-orang kafir. Mereka itu terus-menerusberjihad di jalan Allah, tanpa pamrih dan tanpa jemu, dan mereka tidak takut kepada satu celaan apapun dari pencela, walaupun celaan itu sangat buruk.Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Karena itu, berlomba-lombalah meraih anugerah itu dan Allah Maha Luasanugerah-Nya lagiMaha Mengetahui.
Namun, M. Quraish Shihab tak menjelaskan tentang siapa yang akan dicintai Allah dan akan mendapatkan sejumlah karunia itu. Menurut M. Quraish Shihab, Allah tak menyebut siapa mereka sehingga tidak wajar sekiranya kita menetapkan siapa mereka itu. Kalau hanya untuk mengisyaratkan, maka tidak keliru, menurut M. Quraish Shihab, jika kita merujuk pada sejarah Islam untuk menemukan siapa yang telah membela Islam dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu.
Lalu M. Quraish Shihab menyebut nama Abu Bakar yang gigih membendung gerakan kemurtadan dan pemurtadan dalam periode awal Islam. Ia juga menyebut orang-orang yang berperang dalam perang Salib, mereka yang membendung serangan Tartar. Bahkan, M. Quraish Shihab tak ragu menyebut orang-orang yang membendung kelompok komunis sebagai orang-orang yang masuk dalam pengertian ayat ini.
Para mufassir memang berbeda di dalam menentukan siapa sekelompok orang istimewa itu. Di samping Sahabat Abu Bakar dan kelompoknya, ada juga ulama yang berkata bahwa sekelompok orang istimewa itu adalah Salman a-Farisi dan orang-orang Persia.
Yang lain berkata, mereka itu adalah Abu Musa al-Asy`ari dan orang-orang Yaman lain yang dikenal berhati baik dan lembut. Ada juga yang berkata, mereka itu adalah orang-orang Anshar. Thabathabai mengutip pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu adalah Ali ibn Abi Thalib dan para pengikutnya.
Pendapat ini disetujui Thabathabai setelah ia merujuk pada hadits dimana Nabi berkata, “sungguh saya akan memberikan bendera ini pada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dia” (lau`ṭiyanna al-rāyaṯ ghādan yuḥibbu Allāh wa rasūluhu wa yuḥibbuhu Allāh wa rasūluhu).
Lalu Rasullah menyerahkan bendera itu pada Ali ibn Abi Thalib. Muḥammad Rashīd Riḍa mengutip suatu pendapat yang mengatakan bahwa pengertian ayat tersebut mencakup kepada setiap orang yang memenuhi ciri-ciri yang terkandung dalam ayat itu (anna al-āyaṯ taṣduqu fī kulli man ittaṣafa bi maẓmunihā).
Sementara tentang pengertian ayat ini, Ibn Jarīr al-Ṭabari berkata orang-orang Islam yang kembali kepada agama lamanya seperti Yahudi dan Nashrani, maka itu tak akan berdampak buruk pada Allah (falan yaḍurra Allāh Shai’ā).
Alih-alih memberikan keburukan, Allah justru akan mendatangkan sekelompok orang yang mencintai Allah dan mereka pun mencitai-Nya (yuhibbuhum Allāh wa yuhibbuna Allāh). Setelah terjadi kemurtadan dimana-mana pasca wafatnya Rasulullah, maka Allah membangun kekuataan dengan menghadirkan orang-orang penuh istimewa itu.
Dikisahkan Qatadah, seperti dinukil Ibn Jarīr al-Ṭabari, bahwa ayat ini turun sebagai alarm bahwa kelak setelah Rasulullah wafat akan muncul kemurtadan yang merata di seluruh Arab. Pada zaman kekhalifahan Abu Bakar, sebagian umat Islam misalnya hanya mau mendirikan salat dan tak mau mengeluarkan zakat.
Atas itu, Abu Bakar memerangi mereka karena mereka dianggap telah menceraikan salat dari zakat. Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku tak akan memisahkan sesuatu yang dipersatukan Allah” (wallāhi la ufarriqu bayna shai’in jama`a Allāh baynahuma).
Shihab al-Din al-Alusi, Jamāl al-Dīn al-Qāsimi, Muhammad Rashid Rida, Fakh al-Din al-Razi menyebut sebelas kelompok murtad. Tiga kelompok pada zaman Nabi Muhammad, yaitu Banu Mudlaj di Yaman yang dipimpin Dzu al-Himar yang mengaku menjadi nabi, Banu Hanifah (pengikut Musailamah al-Kadzdzab ibn Habib), dan Banu Asad (pengikut Thulaihah ibn Khuwailid).
Tujuh kelompok orang murtad pada zaman Abu Bakar al-Shiddiq, yaitu Fazarah (pengikut `Uyaynah ibn Hashin), Ghathafan (pengikut Qurrah ibn Salamah al-Qusyairi), Banu Salim (pengikut al-Faja’ah ibn Abdi Yalail), Banu Yarbu (pengikut Malik ibn Nuwairah), sebagian bani Tamim (pengikut Sajjah binti al-Mundzir yang mengaku menjadi nabi), Kanidah (pengikut al-Asy’ats ibn Qais, Banu Bakar ibn Wa’il di Bahrain (pengikut al-Hatham ibn Zaid). Dan satu kelompok murtad pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab, yaitu Ghassan (pengikut Jibillah ibn al-Ayham yang kembali menganut Nashrani, pindah ke Syam dan mati dalam keadaan murtad).
Kedua, ayat yang membicarakan soal murtad adalah Q.s. al-Baqarah [2]: 217:
Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Ayat ini, dalam tafsir Jamal al-Din al-Qasimi, menyasar orang Islam yang kembali kepada kekafiran (yarji`ūna `an dinikum al-islām ilā al-kufr). Muḥammad Rashīd Riḍa lebih lanjut menyatakan bahwa ayat ini hendak menegaskan bahwa begitu seseorang memilih menjadi kafir dengan meninggalkan agama Islam, maka seluruh amal ibadah yang dilakukan ketika menjadi muslim akan batal dan terhapus secara keseluruhan. Ia mengutip pendapat sebagian ahli fikih yang berkata bahwa amal kebaikan orang Islam yang memilih murtad hilang tak tersisa.
Sehingga ketika yang bersangkutan kembali menjadi muslim, maka wajib baginya mengulang ibadah haji yang telah dilakukan sebelum murtad (yajibu `alaihi i`adāṯ naḥwi al-ḥajj idha raja`a ilā al-islām). Bukan hanya itu; ketika si murtad telah diceraikan dari istrinya lalu ingin kembali pada Islam dan ruju’ pada istrinya, maka wajib baginya untuk menjalani akad nikah baru.
Sementara menurut Ibn jarir al-Thabari, ayat ini hendak menegaskan bahwa jika orang murtad meninggal dunia tanpa sempat bertaubat dan kembali pada Islam, maka batallah seluruh amal ibadah yang pernah dilakukannya ketika menjadi muslim. Hal yang sama juga dikatakan Syihabuddin al-Alusi bahwa orang yang mati dalam keadaan murtad, maka amal ibadah yang dilakukan ketika Islam seperti tak pernah ada (ṣarat a`māluhum al-ḥasanah allati `amilūha fi ḥalah al-islām fāsidaṯ bi manzilati mā lam takun).