Home » Agama » Hukum Penodaan Agama, Sebuah Absurditas Hukum Positif
Gedung Mahkamah Konstitusi (Foto: IslamLib).

Hukum Penodaan Agama, Sebuah Absurditas Hukum Positif

4.39/5 (18)

IslamLib – Agama adalah suatu sistem yang mengatur tata keimanan dan ritual peribadatan kepada Tuhan yang mahakuasa. Keyakinan agama sesungguhnya didasarkan pada interpretasi. Jadi, setiap agama dikembangkan berdasarkan tafsir pada masing-masing zaman. Sejarah telah menyodorkan sebuah fakta bahwa sebelum kekuasaan gereja runtuh di Eropa, agama telah melahirkan sebuah era paling nista dalam sejarah perkembangan umat manusia. Di sana agama menjadi simbol penindasan terhadap hak-hak dan martabat umat manusia.

Era tersebut oleh banyak sejarawan disebut sebagai the dark age, abad kegelapan, ketika agama dijadikan instrumen hukum publik yang memaksa umatnya untuk tunduk pada kekuasaan para birokrat yang mengatasnamakan diri sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Siapapun yang menolak, menentang ajaran atau dogma agama, dia akan dihukum seberat-beratnya atas nama Tuhan.

Pada abad pertengahan, ketika penindasan melalui mitologi-mitologi langit kekristenan sudah mencapai puncak kulminasi umat manusia, dimulailah gerakan Aufklärung, Pencerahan. Sebuah gerakan emansipasi manusia untuk lepas dari tradisi lama yang mengekang kebebasan berpikir. Aufklärung berusaha membangkitkan kembali peradaban ke jalur filsafat rasionalisme Yunani. Ia mengubah peradaban menuju era di mana manusia sepenuhnya menjadi subjek utama di antara entitas yang hidup di muka bumi. Era ini disebut sebagai era kebangkitan kembali atau renaisans.

Kebudayaan renaisans memiliki semangat untuk menghidupkan kembali humanisme klasik, yang sempat terhambat oleh pola pikir tokoh-tokoh abad pertengahan yang berorientasi pada prinsip-prinsip transendental monoteisme kekristenan dan dogma keagamaan yang bersifat rigid dan otoriter.

Humanisme renaisans jauh lebih dikenal karena penekanannya pada individualisme. Individualisme yang menganggap bahwa manusia sebagai pribadi perlu diperhatikan. Sebab manusia adalah individu-individu unik yang bebas untuk berbuat sesuatu dan menganut keyakinan tertentu.

Pasca era renaisans, terjadi friksi yang terus menerus menghantam jantung teologi. Agama yang sebelumnya haram untuk dikritisi dan ditolak kebenarannya, menjadi arena yang bebas untuk dikritisi dan dibongkar sejarahnya. Bahkan penghujatan terhadap dogma-dogma atas dasar rasionalisme-logika menjadi hal yang lumrah. Inilah puncak dari krisis teologi.

Hingga saat ketika Feuerbach mengatakan bahwa Tuhan tidak lebih dari fantasi yang diciptakan oleh manusia, yang seringkali malah menjadikan makhluk ini teralienasi.

Kritik era renaisans telah melahirkan sebuah kebebasan berpikir di bawah kerangka ideologi sekularisme: ide netralitas yang memaksa agama harus mundur dari ranah hukum publik dan cukup masuk ke ranah privat masing-masing individu. Sekularisme telah menciptakan sebuah pencerahan ideologis yang memberikan perlindungan dan kebebasan penuh terhadap umat manusia untuk berkeyakinan, juga menghentikan perang atas nama agama.

Fakta historis yang ditandai dengan munculnya modernisme membuktikan bahwa negara-negara yang mempraktikkan sekularisme dengan benar cenderung menjadi negara maju, demokratis, humanis dan sejahtera. Hal tersebut berbanding terbalik dengan negara-negara yang masih mencampuradukkan ajaran agama dengan bernegara. Argumentasi untuk mempertahankan fondasi hukum agama agar tetap dijadikan sebuah aturan hukum positif sudah jelas tidak lagi relevan dengan dinamika zaman kekinian.

Di Indonesia sendiri, terjadi suatu paradoks. Konstitusi kita memuat pasa-pasal yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Tetapi sejumlah UU yang ada di bawahnya justru kontradiktif terhadap konstitusi itu. Indonesia masih menerapkan, misalnya, aturan hukum PNPS No.1/1965 yang kemudian diadopsi sebagai Pasal 156a KUHP.

Justifikasi keberadaan dua aturan itu adalah keberadaan sila pertama Pancasila yang dibajak sebagai ketentuan mutlak, bahwa negara ini hanya untuk kaum beragama. Seakan-akan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa adalah absolutisme iman keagamaan. Lalu muncul aturan tentang enam agama yang diakui, bahkan ketika pintu demokrasi dibuka pasca kejatuhan Soeharto.

Masalahnya: istilah Ketuhanan Yang Maha Esa itu sendiri masih abstrak. Apakah Tuhan selalu identik dengan agama? Apakah kata Esa (satu/tunggal) mencakup Hindu yang politeis dan Budha yang ateistik? Padahal dalam butir Sila Pertama Pancasila sendiri diberikan hak untuk bebas berkeyakinan dan memeluk agama apapun.

Dalam praktiknya keberadaan PNPS No. 1/1965 dan Pasal 156a KUHP sering dibajak dan ditafsirkan oleh kelompok-kelompok tertentu, terutama golongan konservatif dan fundamentalis, untuk menindas dan mengebiri hak-hak minoritas di luar kepercayaan agama yang diakui negara. Mereka biasa melekatkan klaim “sesat” dan/atau “penodaan agama” terhadap sasarannya itu.

Ini jelas bertentangan dengan konstitusi dan universalitas DUHAM (Deklarasi Universal HAM). Bahkan ketika ada beberapa kelompok yang berjuang membawa PNPS No. 1/1965 dan 156a KUHP ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi, upaya itu justru dimentahkan oleh hakim-hakim konstitusi sendiri.

Ironisnya, penolakan para hakim tersebut bukan dengan alasan rasional, melainkan cenderung tendensius dan masih terjebak pada paradigma serta tekanan agama mayoritas.

Argumentasi bahwa penodaan agama itu melanggar hukum adalah kesalahan berpikir yang tidak lagi selaras dengan perkembangan  jaman. Adalah fakta bahwa mereka yang berasumsi seperti itu sama sekali tidak memahami dialektika sejarah. Mereka hanya memusatkan perhatian pada aspek tertentu yang sifatnya parsial.

Istilah “Penodaan Agama” pun sebenarnya lemah, bias dan tidak jelas. Jika Kristen jelas menganggap bahwa Muhammad bukan nabi, apakah itu dianggap penodaan? Begitu juga sebaliknya, jika Muslim menganggap bahwa Yesus Kristus bukan Tuhan, apakah itu dianggap penodaan?

Secara sederhana kita dapat mengambil kesimpulan bahwa semua agama sebenarnya saling menodai satu sama lain. Kristen menodai Yahudi, Islam menodai Kristen, Hindu menodai Weda, Ahmadiyah menodai Islam, ateisme menodai seluruh agama dan seterusnya. Apakah ini yang disebut sebagai penodaan? Jika dalil ini dianggap benar, begitu lemahnya justifikasi hukum penodaan agama, hingga bisa dijadikan sebuah instrumen hukum positif.

Kelompok-kelompok yang memaksakan bahwa agamanya lah yang mengandung absolutisme kebenaran, tidak akan pernah menyadari fakta bahwa kebenaran agama itu relatif dan bersifat subyektif.Walaupun agama bagian penting dari hak asasi, tetapi sifatnya tidak inheren dalam diri manusia. Alasan agama terus eksis karena diwariskan secara turun-temurun melalui lingkungan sosial terdekat, yaitu keluarga.

Setiap manusia memiliki kodrat alamiah yaitu kehendak bebas. Kita bisa saja memilih agama apapun tanpa perlu instrumen negara beserta tata aturan hukumnya untuk ikut campur terhadap urusan privat warga negaranya. Hal ini berbeda dengan ras dan suku yang sifatnya inheren. Siapapun yang melakukan kritik, pelecehan atau penghujatan terhadap suku atau ras tertentu wajib dihukum berat, karena bertentangan dengan prinsip universalitas HAM internasional.

Indoktrinasi agama di masyarakat kita cenderung mengajarkan bahwa agama adalah satu-satunya sumber moral, satu-satunya piranti epistimologis untuk membedakan antara baik dan buruk. Di negeri ini agama sudah “diklaim” sebagai suatu ajaran moral yang sempurna, sehingga dimunculkan asumsi bahwa jika seseorang tidak beragama, maka orang tersebut tidak mengenal moralitas, tidak punya etika, tata aturan dan selalu bertindak sesuai hawa nafsu bejatnya. Dan jika ada orang beragama yang berbuat bejat atas nama agamanya, mereka hanya menyebutnya sebagai “oknum”.

Ada atau tanpa agama, manusia tetap bisa hidup dengan tata aturannya sendiri sepanjang masih menggunakan akal sehatnya, yang menghasilkan empati dan nurani. Saya tidak anti agama, tetapi saya menolak dengan tegas aturan-aturan agama yang secara implisit maupun eksplisit berusaha dipaksakan menjadi aturan hukum publik.

Selama agama menjadi aturan hukum publik, akan terus menerus lahir diskriminasi terhadap manusia atas nama agama. Negeri ini harus belajar banyak dari Eropa yang berani keluar dari era kegelapan, membuka pintu pada rasionalitas serta menghargai kemanusiaan. Sebab tanpa kedua hal itu kemajuan tidak akan pernah tercapai.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.