IslamLib – Ruangan itu hampir tak terlihat. Bahkan pintu masuknya pun tertutup pilar besar yang menyangga bangunan sekitar. Dan tak ada yang istimewa di dalamnya. Para turis yang memadati Brandenburg Tor, salah satu obyek wisata paling terkenal di Berlin, nyaris tak pernah berencana mengunjunginya.
Tetapi bagi mereka yang sadar bahwa beningnya keheningan merupakan kebutuhan niscaya dan menjadi pertaruhan ultim di zaman sekarang, Raum der Stille adalah semacam oase. Justru ketika kehidupan makin dijerat oleh lalulintas hiruk pikuk komunikasi, infotainment dan gosip politik, kehadiran Raum der Stille menjawab kebutuhan paling eksistensial manusia: bagaimana menemukan keheningan yang membebaskan.
Dan Raum der Stille memberi layanan itu dalam bentuk paling sederhana: silakan masuk, dan nikmati keheninganmu sejenak, lepas dari hiruk pikuk kehidupan yang kerap membuat penat. Mungkin, dari keheningan itu, akan terpancar daya kreativitas baru di mana ‘tali kehidupan’ terus menerus dipintal, dijaga, dan dihidupi seutuhnya.
Sebab Raum der Stille memang hanya menawarkan itu: keheningan yang bening. Siapapun Anda, apapun agama dan keyakinan, sukubangsa maupun warna kulit, maupun orientasi seksual Anda, tidak ada lagi di sana. Dalam ruangan sederhana dan kedap suara itu, Anda hanya diundang untuk menemukan dan berwicara dengan diri Anda sendiri.
Di situ tak ada Tuhan (karena ‘Tuhan’ kerap jadi perdebatan teologis yang memusingkan) maupun ‘manusia’ (sebab manusia kerap justru menghancurkan kemanusiaaannya, seperti disaksikan sejarah panjang peradaban), dan bahkan tak tak ada ruang-waktu yang kerap memenjarakan kita.
Yang ada hanyalah keheningan murni, kesunyian tanpa batas di mana orang tak lagi terpenjara ruang-waktu, dan ruang-ruang terbuka yang memungkinkan seseorang berdialog dengan dirinya, dengan mimpi-mimpi dan harapannya, serta dengan frustasinya sendiri.
Juga tak ada aturan atau ‘ritus’ yang harus dijalani. Anda hanya perlu duduk, bisa sekadar melepas kepenatan, atau kalau mau merenungkan perjalanan hidup yang kadang berkelok tak menentu.
Tetapi dalam semua kesederhanaan itu, Raum der Stille memberi begitu banyak bagi mereka yang menyadari betapa keheningan merupakan kebutuhan niscaya bagi pemuliaan martabat kemanusiaan!
Dari ‘Kesepian’ ke arah ‘Keheningan’
Sesekali saya datang ke sana, ke Raum der Stille, yang terletak persis di sebelah Brandenburg Tor yang mahsyur itu, walau sangat jarang dilirik para turis. Kadang saya hanya ingin sejenak rehat dari kepenatan hidup. Kadang pula saya ingin mereguk lagi pengalaman keheningan yang membebaskan.
Dibuka untuk umum sejak 27 Oktober 1994, Raum der Stille sampai sekarang masih teguh memberi pesan sederhana tapi mendalam: betapa sulit mengubah ‘kesepian’ (loneliness) dan ‘kesendirian’ (solitude) menjadi ‘keheningan’ (silence). Ketiga kata itu kerap disama-artikan begitu saja, apalagi nuansa semantik di antara ketiganya sangat tipis, sehingga butuh semacam telaah singkat.
Orang cenderung mengasosiasikan ‘kesendirian’ (solitude, dari solus alone) sebagai ‘kesepian’ (loneliness). Dan, dalam dunia modern, justru penyakit ‘kesepian’ inilah yang kerap melanda, sehingga orang takut dan berusaha lari darinya. Buku klasik David Riesman tentang The Lonley Crowd (1950) adalah contoh paradigmatis soal ini.
Memang keduanya sangat dekat, sehingga cenderung di(salah)artikan sebagai semacam sinonim dalam bahasa sehari-hari: orang yang sendiri, tanpa teman dan keluarga, adalah orang yang kesepian. Tetapi penyama-artian ini sungguh menipu.
Paul Tillich pernah mengingatkan soal ini dengan baik: “Bahasa kita… telah menciptakan kata ‘kesepian’ (loneliness) untuk mengungkapkan betapa sakitnya orang yang harus hidup sendirian. Tetapi bahasa itu juga telah menciptakan kata ‘kesendirian’ (solitude) untuk mengungkapkan keagungannya.”
Dalam bahasa Latin, dari mana kata solitude berasal, kata solus (sendiri) punya konteks tertentu. Kata itu kerap diartikan sebagai saat seseorang harus berperan sendirian di tengah panggung sandiwara. Di situ bukan soal kesendirian yang ditekankan, melainkan tanggungjawab dan peran yang dimainkan.
Singkatnya, seseorang mencapai solitude ketika ia menemukan dirinya sendiri, dan mengambil tanggungjawab yang harus diperankan di tengah teater kehidupan.
Persis di situlah makna ‘keheningan’ (silence) jadi sangat penting. Ketika seseorang sendirian, berhadapan dengan diri, harapan dan rasa frustasinya, namun mampu mengubahnya bukan menjadi ‘kesepian’ melainkan ‘keheningan’, di situlah ‘kesendirian’ lalu mencapai kepenuhannya.
Dalam dunia modern ini, ketika hiruk pikuk percakapan dan informasi sudah membuat orang jadi jenuh, kemampuan mengubah kesendirian menjadi keheningan sungguh merupakan warisan berharga.
Pesan Damai
Proyek pembangunan Raum der Stille bermula ketika Berlin masih terbagi dua demi kepentingan ideologis—antara Berlin Timur dengan Berlin Barat, yang dipisahkan tembok raksasa.
Gagasannya berawal dari kebutuhan orang untuk berjumpa dengan dirinya dalam keheningan yang membebaskan di tengah pengapnya sistem politik totalitarian, yang kemudian disambut hangat setelah Tembok Berlin runtuh.
Sejak 1990 semacam ‘kelompok aksi’ terbentuk (kini disebut: Förderkreis Raum der Stille in Berlin e.v.) yang mengupayakan perwujudannya, dengan meniru apa yang pernah dilakukan Dag Hammarskjøld di kantor PBB, New York, tahun 1954.
Yang menarik, Raum der Stille merupakan upaya kolaborasi antar-agama dan, dengan sengaja, ditempatkan persis di samping Brandenburg Tor. Aspek pertama menjadikan ruang keheningan itu mampu melintasi batas-batas keyakinan, sukubangsa, warna kulit, perbedaan ideologis, maupun orientasi seksual. Dan aspek kedua menegaskan lagi pesan asli gerbang Brandenburg yang usianya sudah lebih dari dua abad itu.
Ketika Raja Friedrich William II meminta Carl Gotthard Langhans membangunnya, antara 1788 – 1791, Brandenburg Tor dirancang sebagai ‘gerbang perdamaian’. Dan di sana pula Tembok Berlin—simbol utama absurditas Perang Dingin yang ingin memisahkan jalinan persahabatan, keluarga, bahkan cinta—diruntuhkan pada malam hari, 9 November 1989.
Maka Raum der Stille dapat menjadi simbol konkret bagaimana kerjasama agama-agama mampu menyuarakan, menegaskan, dan bahkan merawat perdamaian. Itu semua hanya mampu dilakukan jika kita dapat mengubah kesendirian, bukan menjadi kesepian, tetapi keheningan yang membebaskan.