Wafatnya Paus Yohanes Paulus II (pemimpin tertinggi umat Katolik) 2 April lalu, masih menyisakan duka bagi dunia dan umat Katolik khususnya. Bagi umat Katolik, mendiang Paus adalah sosok yang telah memberi inspirasi dan teladan untuk selalu terbuka dan aktif berdialog dengan agama lain. Sementara bagi dunia, mangkatnya Paus sama artinya dengan mengurangnya sosok yang dikenal gigih dalam pembelaan atas prinsip-prinsip perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan.
Untuk mengenang jejak-langkah mendiang Paus dalam merentangkan jembatan dialog antar agama, Ulil Abshar-Abdalla dari KIUK berbincang-bincang dengan Romo Benny Susetyo (Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia) dan Trisno S. Sutanto (Direktur Eksekutif Masyarakat Dialog Antar Agama). Berikut petikan perbincangan Kamis (14/4) itu.
Benny Susetyo
Romo Benny, apa kontribusi mendiang Paus Yohanes Paulus II dalam usaha membangun jembatan dialog dengan dunia muslim?
Perubahan yang paling penting adalah terjalinnya relasi yang baik dengan dunia Islam. Mendiang Paus Yohanes Paulus II melihat bahwa baik Islam maupun Kristen sama-sama agama yang berasal dari satu bapak: Abraham (nabi Ibrahim, Red).
Makanya, Paus membuka ruang dialog dengan al-Azhar di Mesir sejak tahun 1978. Pada waktu itu, sudah mulai ada saling pengertian antara Vatikan dengan al-Azhar. Bahkan, mendiang Paus juga meminta maaf atas peristiwa Perang Salib di masa silam.
Itu dia ungkapkan secara verbal ketika berkunjung ke al-Azhar?
Ya. Lantas tahun 2000 dia canangkan sebagai “Tahun Yobelium”,yaitu tahun pembebasan. Dia juga pernah meminta maaf pada umat Islam dan umat Yahudi (dalam konteks Perang Salib dan Tragedi Holocaust) dengan mengatakan, “Kita telah membiarkan terjadinya kejahatan kemanusiaan.”
Makanya, setelah itu mendiang Paus sangat dekat dengan tokoh-tokoh al-Azhar, dan mampu membangun hubungan yang harmonis dan tulus, serta lebih konsen pada nilai-nilai kemanusiaan.
Mendiang Paus juga punya hubungan yang amat dekat dengan Presiden Iran sekarang, Muhammad Khatami. Dia bersedia membela hak-hak Khatami ketika dikucilkan Amerika Serikat, bahkan membela Islam ketika dituduh sebagai biang terorisme.
Mendiang Paus juga mengatakan bahwa Presiden George W. Bush tidak mengenal kekristenan. Dia juga menegaskan bahwa soal terorisme bukanlah persoalan agama. Baginya, terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan karena adanya problem besar, yaitu tatanan dunia global yang tidak adil.
Menjelang Amerika menyerang Irak, Vatikan juga secara resmi menolak dan mengajukan protes. Bahkan mendiang Paus menolak menerima Presiden Bush ketika berkunjung ke Vatikan sebagai bentuk protes.
Bagaimana sikap Vatikan terhadap perjuangan Palestina?
Dia mendukung hak-hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri. Bahkan ketika Afganistan diserang Uni Soviet, dia juga membela Afganistan. Makanya, walaupun sekarang kelompok Taliban sudah tumbang dan dituduh sebagai kaum fundamentalis, mereka tetap menyampaikan simpati dan ucapan duka cita atas wafatnya Paus.
Menurut saya, itu sesuatu yang luar biasa. Pendek kata, mendiang Paus sebenarnya sedang mencoba untuk selalu setia pada apa yang telah ditetapkan Konsili Vatikan II tentang Nostra Aetate (ketetapan Konsili Vatikan II tentang hubungan gereja dengan agama-agama bukan Kristiani, Red).
Bisa diceritakan sejak kapan Gereja Katolik mengubah sikapnya terhadap agama-agama lain?
Tepatnya sejak Konsili Vatikan II sekitar tahun 1962-1965. Dengan konsili itu, Gereja Katolik lebih aktif membuka diri pada agama-agama bukan Kristiani. Bahkan, sejak saat itu ditegaskan bahwa “ada keselamatan di luar agama Katolik”. Artinya ada pengakuan keselamatan di semua agama.
Doktrin itu kemudian punya andil besar dalam membuka pintu dialog antar-agama. Tapi sebetulnya, sejak lama tradisi Gereja memang sudah mengadakan kontak-kontak perdamaian dengan tokoh-tokoh agama lain. Tapi sebagai ajaran, Konsili Vatikan II betul-betul telah membuka peluang dialog antar agama.
Apa pandangan Konsili Vatikan II menyangkut hubungan atau pandangan Gereja Katolik terhadap dunia atau agama Islam?
Dalam Nostra Aetate dikatakan, “Gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh belas kasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, yang telah bersabda kepada umat manusia. Kaum muslimin berusaha menyerahkan diri dengan segenap hati kepada ketetapan-ketetapan Allah yang juga besifat rahasia, seperti dahulu Abraham—iman Islam dengan sukarela mengacu kepadanya—menyerahkan diri kepada Allah.
Jadi iman-Islam itu juga diakui sebagai salah satu jalan keselamatan. Di situ ada pengakuan atas keyakinan agama-agama lain. Makanya yang datang di Vatikan untuk berdialog bukan hanya umat Islam, bahkan kaum Baha’i.
Jadi mendiang Paus betul-betul ingin membaktikan hidupnya pada nilai-nilai kebenaran universal. Sebab, Gereja melihat keselamatan bersifat universal, dan Gereja adalah sarana menuju keselamatan itu. Jadi yang menjadi acuan bukan lagi doktrin lama extra ecclesia nulla salus atau di luar Gereja tidak ada keselamatan.
Selain membangun jembatan dialog antar-agama, bagaimana peran Paus dalam menggerakkan proses awal demokratisasi?
Dia selalu menjadi inspirasi bagi berbagai gerakan pembebasan. Memang kunjungannya ke Indonesia tidak dalam rangka itu, tapi dalam konteks menghormati pemerintahan Indonesia yang menganut ideologi Pancasila.
Makanya, waktu dia berkunjung ke sini, mantan Presiden Soeharto juga ketar-ketir, terlebih ketika Paus berkunjung ke Timor Timur. Sebab, kalau dia mencium bumi, itu artinya dia mengakui Republik Timor Timur.
Tapi ketika itu dia bertindak diplomatis. Sekalipun dia tetap mencium bumi Timor Timur, tapi itu tidak dia lakukan di depan umum. Itu berarti isyarat bahwa Paus menghargai bangsa Indonesia sekaligus memberi peluang bagi Timor Timur untuk menuju sebuah negara yang damai.
Apakah Romo ingin mengatakan keberhasilan Timor Timur menjadi negara sendiri tak lepas dari peran Paus?
Tidak begitu. Sebab dalam kesaksian Uskup Belo waktu itu dikatakan bahwa dia (mendiang Paus) sama sekali tidak menyinggung soal Timor Timur, karena dia menghormati otoritas Indonesia. Artinya, kalau Indonesia tidak terlanjur melakukan penindasan terhadap Timor Timur, saya rasa Timor Timur tidak akan pernah lepas dari Indonesia.
Kalau Anda memberi penilaian akhir, apakah mendiang Paus cukup sukses dalam menunaikan tugasnya sebagai pemimpin umat Katolik?
Dia sukses karena didukung oleh kemampuannya dalam berkomunikasi dengan dunia. Dia juga mampu menjembatani dua ketegangan besar pada zamannya. Di situ dia berperan cukup independen. Dia tidak mau adanya campur tangan atau intervensi negara tertentu dalam menjalankan tugas, bahkan berani mengambil pelbagai risiko.
Dia berani melawan dominasi ekonomi Amerika, bahkan melawan ideologi komunisme, sekaligus tetap berhubungan baik dengan tokoh-tokoh komunis seperti Presiden Cile, Fidel Castro. Bahkan dengan kalangan ateis pun dia mampu berdialog. Jadi kebesaran Paus ini menurut saya adalah pada kebesaran pribadinya yang mampu menyapa semua orang tanpa memikirkan kepentingan golongan.