Home » Agama » Kristen » Franz Magnis-Suseno: “Natal Membuat Hati Terbuka”
Franz Magnis-Suseno

Franz Magnis-Suseno: “Natal Membuat Hati Terbuka”

5/5 (2)

Syukurlah, Natal kali ini tak lagi dihujani dan diwarnai ancaman teror bom. Namun bagi Prof Dr. Franz Magnis-Suseno, rohaniwan Katolik yang akrab dipanggil Romo Magnis, ancaman Natal saat ini yaitu budaya konsumerisme yang luar biasa karena masyarakat akan mengeluarkan semakin banyak biaya untuk diri sendiri.

Akhirnya, Natal hanya menjadi pesta belanja yang sekaligus juga berarti bahwa orang miskin kurang diberi perhatian, karena anggaran yang dikeluarkan begitu besar hanya untuk keperluan belanja dan tidak ada sisa bagi kaum miskin.

Masih dalam suasana Natal, Syaiful Arif dari Jaringan Islam Liberal (JIL) mewawancarai Romo Magnis yang juga mantan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakarya Jakarta, hari Jumat (26/12/03) di kediamannya, asrama mahasiswa STF Jl. Johar Baru no.6a Jakarta. Berikut Petikannya:

 

Sebelumnya saya mengucapkan selamat hari Natal Bagi Romo, apa makna Natal di tahun ini yang Alhamdulillah dirayakan dengan aman?

Bagi umat Kristen, makna Natal pertama adalah kegembiraan bahwa Immanuel, sang penebus telah datang. Jadi orang Kristen percaya bahwa dalam wujud bayi anaknya Maria, Allah sendiri datang menunjukkan solidaritasnya dengan manusia, dan itu merupakan suatu kegembiraan besar. Karena dengan demikian ada jaminan dari Allah bahwa manusia tidak dibiarkan di dunia dengan segala macam belenggu dosa dan kejahatannya.

Kedua, Natal adalah suatu peristiwa yang direnungkan untuk melihat apa yang mau dipesankan Allah kepada manusia. Di sana ada dua hal yang menonjol. Pertama, sosok bayi. Bayi itu adalah sosok manusia yang paling lemah, paling tidak bisa apa-apa, paling seluruhnya tergantung dari kebaikan orang lain.

Kalau sang penebus mau mengambil resiko sebagai bayi, hal ini memberi pesan bahwa ia percaya kepada Maria dan Yusuf, dan agar kita sebagai manusia berani percaya dan tidak curiga terhadap orang lain. Tak ada kepercayaan lebih besar daripada meletakkan nyawanya di tangan orang lain dan itu yang disimbolisasikan dalam peristiwa Natal.

Unsur kedua adalah kemiskinan. Kalau dikatakan bahwa Injil Lukas mengatakan bahwa Yesus dibaringkan dalam palungan tempat makan ternak, semacam kandang, karena tidak ada tempat penginapan. Bisa diandaikan bahwa Yusuf dan Maria memang tidak bisa membayar cukup. Apalagi Yusuf diketahui sebagai tukang kayu di Israel yang pada saat itu adalah pekerjaan rendah di pedesaan.

Kalau dilihat dari sisi ritualnya, apakah Natal yang dirayakan oleh seluruh umat Kristiani itu sama, Romo?

Memang harus diperhatikan bahwa sangat kelihatan ada perbedaan antar gereja. Tetapi dalam gereja Katolik, tidak ada suatu ritual Natal yang khusus. Jadi Natal dibedakan dengan pesta lain, tapi sama dengan pesta Paskah dengan beberapa kali pada malam hari sebelumnya, siang hari sesudahnya merayakan perayaan ekaristi yang berjalan persis dengan perayaan ekaristi pada setiap hari Minggu dan Misa.

Bedanya hanya pada teks-teks yang disesuaikan dengan materi Natal. Akan tetapi umat lalu menambah sendiri, dan hal itu sesuai dengan semangat liturgi beberapa upacara yang merupakan ibadat yang dirancang sendiri.

Saya kira yang justru dianggap khas Natal itu tidak termasuk liturgi dalam pengertian Katolik yang sebenarnya. Begitu juga dalam Protestan pun banyak gereja yang mempunyai gua, mempunyai macam-macam ritual seperti itu.

Namun di luar Natal, misalnya dalam ekaristi sendiri, ibadat biasa, berbeda antara Protestan dan Katolik. Itu suatu perbedaan besar. Sedangkan gereja-gereja ortodoks seperi di Rusia, Yunani, Syria itu hanya berbeda dalam hal lahiriah tetapi pada hakikatnya sama.

Kalau sekarang kita melihat Natal dari ikon-ikon budaya, seperti pohon Natal, Sinterklas, dan yang lainnya. Apakah ikon ini merupakan pengadaptasian terhadap budaya lokal?

Betul. Hal tersebut merupakan adaptasi. Saya mengira, Pohon Natal dalam lima puluh tahun yang lalu, di Italia dan Spanyol tidak dikenal. Pohon Natal adalah khas di Jerman, Belanda, Inggris, di daerah Eropa yang dingin, di mana Natal dirayakan bersamaan dengan musim dingin, sering sudah ada salju.

Dan pohon itu merupakan tanda harapan bahwa musim dingin yang nampaknya mematikan seluruh kehidupan, tidak akan menang.

Di Eropa, pohon Cemara merupakan pohon yang tidak kehilangan daunnya, sedangkan pohon lain berguguran. Bahkan di musim dingin pun tetapi pohon cemara tetap bertahan. Jadi dia adalah simbol ketahanan hidup melawan kekuatan-kekuatan yang dingin. Pohon itu juga bisa dijadikan simbol harapan yang dibawa Yesus.

Kalau Sinterklas ada dua akar. Pertama, terutama di wilayah Katolik, ada seorang santo atau orang suci yaitu uskup yang tinggal di Snorna, sekarang Turki, abad ke-3, bernama Santo Nicolaos yang terkenal karena ia selalu membantu orang-orang miskin. Dan pestanya dirayakan pada tanggal 6 Desember dan keluarga Katolik (misalnya keluarga saya) mengajak anak untuk membawa diri dengan baik.

Lalu pada malam tanggal 6 itu, Santo Nicolaos yang tidak terlihat, akan mengisi kaos kaki yang dipasang di tempat perapian dengan makanan-makanan ringan.

Nah, di Eropa Utara, terutama kaum Protestan yang tidak merayakan Santo sama sekali, menolak Santo, yang disebut Sinterklas. Orang berpesta Natal tidak berkaitan dengan tanggal 6. Ia sebetulnya merupakan simbol musim dingin. Dan ini sama sekali tidak ada keterkaitan dengan kekristenan.

Kalau sekarang Sinterklas terus dimainkan, hal itu terkait dengan komersialisasi, karena tradisi Kristiani dalam Natal adalah saling memberi hadiah. Dan itu sudah dinantikan oleh anak-anak. Jadi ini merupakan kegembiraan dan pasti menjadi ladang bisnis karena orang suka membeli lebih banyak daripada biasa.

Jadi, bagi saya, Sinterklas tidak mempunyai konotasi religius apapun. Itu sekular total. Dan itu juga dimengerti oleh orang-orang yang sudah tidak tahu mengenai Natal. Seperti masyarakat di Eropa, terutama yang begitu tersekularisasi sehingga dia tidak tahu apa yang sebenarnya dirayakan pada hari Natal. Mereka hanya tahu adanya Sinterklas, tetapi bahwa Yesus lahir, mereka sudah tidak tahu.

Di tengah budaya konsumerisme yang luar biasa saat ini, apakah suasana ini tak menciptakan efek negatif dalam ritual Natal?

Saya kira dari pengalaman komunitas Katolik saya, bukan ritualisme, sebab ritus itu dianggap biasa, dan sebetulnya yang menggembirakan pada hari Natal itu adalah suasana khas yang terbawa dari Gereja sampai rumah.

Yang menjadi ancaman adalah kalau umat terbawa oleh konsumerisme akibat komersialisasi dan mengeluarkan semakin banyak biaya untuk diri sendiri, sehingga Natal hanya menjadi pesta belanja yang sekaligus juga berarti bahwa orang miskin kurang diberi perhatian, karena anggaran yang kita keluarkan begitu besar hanya untuk keperluan belanja sehingga tidak ada sisa bagi kaum miskin.

Jadi konsumerisme itulah yang saya lihat sebagai ancaman bukan ritus. Saya kira Natal itu membuat orang terbuka hatinya dan positif.

Dimana letak kesalahannya ketika penghayatan agama “kalah” oleh konsumerisme?

Saya kira bahwa orang terlalu larut dalam nafsu untuk mempunyai. Jadi dia harus belajar kembali untuk hidup seadanya, secara sederhana, membedakan kebutuhan keluarganya yang sebenarnya dengan kebutuhan buatan.

Dan sebetulnya justru Natal, dengan keluarga sederhana yakni Yusuf dan Yesus merupakan suatu alasan kuat untuk merenungkan kembali gaya hidup yang sudah keterlaluan itu. Jadi Natal bisa menjadi counter point terhadap rangsangan konsumerisme.

Kalau kita kaitkan makna Natal dengan pluralisme agama yang akhir-akhir ini terancam karena adanya eksklusifisme agama, bagaimana konsep solidaritas Natal melihat hal ini?

Kalau saya melihat Natal maka saya melihat konsep keselamatan Allah tidak terbatas pada satu golongan. Dan Yesus pun tidak pernah membuat pernyataan eksklusif apapun.

Yang selalu ditegur Yesus hanya dua hal, dan ini yang dianggap Yesus dosa paling berat. Pertama, kekerasan hati. Jadi menutup hati terhadap orang lain. Menilai dan mengutuk orang lain. Kedua, anggapan bahwa saya lebih baik dari orang lain. Jadi dosa-dosa besar inilah yang menjadikan manusia menutup diri terhadap Allah.

Yang menjadi godaan bagi umat beragama adalah menyerah pada kecenderungan yang ada pada kodrat manusia untuk menyendiri dalam kelompok dan membedakan antara in-group dan out-group, untuk mengambil sikap negatif terhadap out-group. Dan muncullah kebencian terhadap umat beragama lain, dalam segala macam eksklusifitas rasial, sukuisme, daerahisme, nasionalisme ekstrem, dan sebagainya.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.