IslamLib – Hal yang menarik saya dalam karir “dakwah” Yesus, baik di Galilea maupun di Yudea/Yerusalem, ialah fakta berikut ini: Ia jarang, kalau malah tidak pernah sama sekali melakukan konfrontasi dengan otoritas politik negara Romawi. “Perseteruan” sering terjadi justru antara Yesus dengan “otoritas agama” dalam masyarakat Yahudi. Yesus kerap melakukan kritik keras atas pemahaman hukum Taurat yang ada pada para imam dan orang-orang Farisi. Tetapi ia jarang melakukan kritik terhadap negara Romawi.
Waktu Yesus diajukan oleh para imam Yahudi ke mahkamah Pontius Pilatus, gubernur Romawi di Provinsi Yudea (Yerusalem ada di kawasan ini), yang terakhir ini tampak enggan untuk ikut terlibat dalam “debat internal” di dalam rumah tangga orang-orang Yahudi itu. Saya menduga, insting Pilatus saat itu mirip dengan para penguasa di negara sekular modern sekarang: perdebatan teologi antara Yesus dan lawan-lawannya adalah bagian dari forum internum, ruang dalam keimanan seorang beriman; negara tak boleh ikut campur.
Apa yang dilakukan oleh lawan-lawan Yesus pada saat itu, dengan membawa dia ke mahkamah sipil di bawah otoritas Pilatus, ialah ingin memakai “tangan” otoritas sipil untuk ikut campur dalam persoalan iman yang sifatnya personal.
Tetapi, pada ujungnya, Pilatus kalah oleh desakan publik di Yerusalem. Ia akhirnya mau menghukum Yesus. Ia khawatir, keresahan bangsa Yahudi akibat “tafsir keagamaan” Yesus yang mereka pandang “sesat” bisa menyebabkan ketidakstabilan politik. Tetapi, yang menarik ialah komentar Pilatus saat tunduk pada tekanan publik itu, seperti direkam oleh empat Injil kanonik. Kata Pilatus: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!”
Saat membaca episode sejarah penyaliban Yesus itu, saya bertanya-tanya: Kenapa negara Romawi bersikap “aloof”, berjarak, tak mau ikut campur dalam urusan internal dalam masyarakat Yahudi? Apakah negara Romawi memiliki suatu konsepsi politik yang mirip dengan negara sekular modern: agama dan politik harus dipisahkan? Apakah ada benih-benih sekularisme dalam praktek negara klasik Romawi?
Yang juga menarik adalah ini: Kenapa Yesus juga seperti menjaga jarak terhadap negara? Ia tak mau berurusan dengan otoritas politik duniawi. Dalam Injil Yohanes, ia justru menyampaikan semacam “manifesto politik” yang sangat menarik: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika kerajaaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi kerajaan-Ku bukan dari sini.”
Dengan kata lain, Yesus menganut suatu “teologi politik” yang memisahkan antara Kerajaan Dunia dan Kerajaan Sorga. Dengan tegas Yesus menyatakan bahwa ia tidak sedang mengerjakan proyek politik untuk membangun, katakan saja, “kekhilafahan” politik di dunia ini. Sebaliknya, Yesus hendak membangun kekhilafahan spiritual yang lokasinya bukan di bumi, melainkan di tempat lain: yaitu di sorga.
Jika kita mengikuti penjelasan para sarjana seperti Peter L. Berger dan Harvey Cox (terutama melalui karyanya yang sangat saya suka, The Secular City [1965]), benih-benih sekularisme dalam pengertian pemisahan antara otoritas negara dan gereja/agama, memang sudah ada baik dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dengan kata lain, sejak awal, kedua Kitab Suci itu sudah menganut paham politik yang sekular dalam pengertian yang sudah saya sebut itu. Sekurang-kurangnya inilah interpretasi Berger dan Cox.
Yang menarik, kehendak untuk pemisahan dua otoritas ini datang bukan saja dari pihak agama, tetapi juga dari negara. Jika sikap Pilatus yang tak mau ikut campur untuk menghukum Yesus itu bisa kita jadikan indikator, kita bisa mengatakan bahwa inisiatif sekularisme juga datang dari pihak negara Romawi. Dua belah pihak, agama dan negara, bertemu dalam teologi-politik yang sama.
A History of Christianity, buku populer tulisan Paul Johnson, mantan editor majalah sosialis New Statesmen yang terbit di London, membantu saya untuk memahami teka-teki perihal sikap politik Pilatus yang berjarak terhadap agama ini. Johnson menelaah dengan cukup baik watak negara Romawi kuno. Dugaan saya sama sekali tidak meleset: Negara Romawi memang mengenal dua jenis agama: agama sipil (“agama” di sini bisa dimaknai sebagai ideologi negara; semacam Pancasila) dan agama pribadi.
Negara Romawi mengenal semacam “agama resmi” negara. Di sana ada dewa tertinggi yang menjadi pusat penyembahan: Sol Invictus, Dewa Matahari yang tak terkalahkan. Menurut Johnson, apa yang disebut sebagai agama negara di sini bukanlah semacam kepercayaan yang dipaksakan oleh pemerintah kepada seluruh rakyat. Situasinya kira-kira mirip dengan negara Inggris saat ini: ada agama resmi negara, yaitu Kristen Anglikan, tetapi penduduk bebas memeluk agama dan kepercayaan masing-masing.
Agama sipil dalam negara Romawi klasik adalah semacam alat saja untuk menjaga stabilitas politik. Ia merupakan bagian dari upacara publik (public decorum) yang diselenggarakan secara regular dari waktu ke waktu. Menghadiri upacara yang berkaitan dengan agama sipil adalah bagian dari kewajiban kewarga-negaraan, bukan keharusan spiritual. Kira-kira mirip dengan upacara Agustusan di tanah air kita.
Di luar agama sipil yang menjadi fondasi ritual publik yang direstui oleh negara, ada banyak agama non-sipil yang berkembang di masyarakat. Agama non-sipil inilah yang benar-benar menjadi bagian dari kehidupan rohaniah yang genuine dari masyarakat. Negara tidak terlalu mau ikut campur dalam kepercayaan personal itu, asal tidak menimbulkan gangguan keamanan di ruang publik. Posisi negara Romawi terhadap kepercayaan-kepercayaan ini adalah “agnostik.” (Baca esei saya mengenai “negara agnostik.”)
Dengan kata lain, hubungan antara agama dan negara dalam negara Romawi klasik nyaris serupa dengan negara modern. Embrio sekularisme sudah dikenal di negara Romawi kuno itu. Praktek negara modern tampaknya diilhami, antara lain, oleh eksperimen republikan dari negara Romawi ini. Ini pula yang menjelaskan, saya kira, kenapa Pilatus tak mau mencampuri perdebatan teologi dalam rumah tangga orang Yahudi itu: antara Yesus dan lawan-lawannya.
Bagi negara Romawi di Provinsi Yudea saat itu, apa yang dilakukan oleh Yesus tak lebih dari “perdebatan internal” di dalam rumah tangga bangsa Yahudi. Sebab Yesus juga seorang Yahudi. Audiens atau publik yang menjadi sasaran “dakwah” Yesus juga orang Yahudi. Yesus tidak berdakwah kepada mereka yang disebut “gentile”, orang-orang di luar masyarakat Yahudi. Baru pada era Paulus lah, dakwah “kekristenan” berkembang meluas, mengalami universalisasi, dan akhirnya meliputi juga orang-orang yang “tak disunat” (maksudnya: orang-orang non-Yahudi).
Karena Yesus dan lawan-lawannya adalah perkara internah dalam komunitas Yahudi, negara Romawi tak mau ikut ambil bagian.
Apakah pengalaman “sekularisme” ini ada dalam negara Romawi kuno saja? Saya cenderung mengatakan tidak. Sejarah praksis politik Islam sebetulnya menganut teologi-politik yang serupa. Dalam kekhilafahan Usmani, misalnya, kita kenal kebijakan yang disebut dengan millet. Kebijakan ini nyaris serupa dengan praktik pemisahan agama-negara di negara Romawi. Dalam sistem millet, dikenal dua jenis agama: agama negara dan agama personal. Negara tak mencampuri agama personal. Ia adalah wilayah yang otonom.
Orang-orang Yahudi dan Kristen yang hidup dalam sistem millet ini menikmati kebebasan relatif untuk menyelenggarakan kepercayaan mereka tanpa intervensi negara. Islam adalah “agama sipil” dalam kekuasaan Usmani. Tetapi di luar itu, ada agama-agama non-negara yang bebas dipeluk oleh penduduk. Itulah yang disebut millet. Keyakinan orang Yahudi dan Kristen dianggap sebagai bagian dari millet yang diberikan kebebasan yang cukup luas.
Saya mengagggap, baik pengalaman negara Romawi kuno dan sistem millet yang pernah dipraktikkan di era Usmani adalah semacam preseden untuk negara sekular modern. Hanya negara seperti inilah, yakni negara yang tak mau ikut campur dalam ruang dalam keimanan penduduknya, negara yang agnostik, yang bisa menjamin kebebasan beragama. Di luar itu adalah teokrasi yang sangat berbahaya karena memaksakan keseragaman iman dan melakukan inkwisisi atau pengadilan atas iman yang berbeda.[]