Home » Agama » Minoritas » Menyegarkan Wacana Ahlul Kitab

Menyegarkan Wacana Ahlul Kitab

4/5 (2)

Tak mudah mengembangkan wacana ahli kitab yang, di satu sisi, diterima non-muslim untuk menjadi bingkai dialog antaragama; tapi di sisi lain diakui kaum Muslim tetap berdasarkan Alquran. Model tafsir liberal mengandaikan dua syarat untuk itu.

Pertama, wacana ahli kitab harus terlebih dulu dibersihkan dari segala distorsi yang telah menguburnya selama berabad-abad. Kedua, wacana yang khas quranik ini kemudian harus diterjemahkan ke dalam bahasa umum yang bisa dipahami semua agama.

Wacana ahli kitab telah mengalami dua distorsi besar-besaran. Pertama, wacana ini telah disusupi asumsi teologis bahwa ahli kitab, meski mereka dihormati sebagai agama wahyu, tapi mereka tetap saja digolongkan sebagai orang kafir karena tak mengakui kenabian Muhammad Saw.

Kedua, wacana ini telah memendam tuduhan teologis yang sangat menyakitkan, bahwa meski wahyu mereka pada awalnya diakui otentik, tapi sejak datangnya Islam ia tak lagi diakui karena telah mengalami banyak penyimpangan (tahrif). Celakanya lagi, bagi kebanyakan kaum Muslim, tuduhan seperti itu sudah tak terampunkan lagi karena langsung dinyatakan Alquran (misal, 5:13).

Sebenarnya Alquran tidak menyebut ahli kitab sebagai kafir. Teolog terkemuka, Imam Al-Ghazali, berjasa menyuburkan anggapan bahwa ahli kitab adalah kafir. Dalam kitabnya Faishal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zindiqah, ia berkata: “Kekafiran itu adalah pendustaan terhadap Rasulullah saw dengan segala yang dibawanya, dan keimanan adalah pembenaran terhadapnya.

Karena itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi kafir karena kedustaan mereka terhadap Rasulullah saw, dan orang-orang Hindu menjadi kafir karena sebab yang pertama, mereka mengingkari Rasulullah dan rasul-rasul lainnya.”

Bahkan, tokoh sekaliber Cak Nur pun masih menyatakan hal yang kurang lebih sama. Ia berkata, “Ahli kitab tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui, atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Saw dan ajaran yang beliau sampaikan.

Oleh karena itu dalam terminologi Alquran mereka disebut “kâfir”, yakni, “yang menentang” atau “yang menolak” [tanda kutip dari Cak Nur], dalam hal ini menentang atau menolak Nabi saw. dan ajaran beliau, yaitu agama Islam.”

Kenyataan bahwa Alquran tidak mengkafirkan ahli kitab sebenarnya tidaklah mengherankan. Toh Alquran secara eksplisit mengakui keimanan (keselamatan) ahli kitab dan agama lainnya sebagai komunitas yang berada di luar komunitas Nabi Saw.

Taruhlah seperti ayat-ayat inklusif 3: 113-114, 2: 62 dan 5:69. Tetapi, ayat-ayat inklusif ini selalu diklaim oleh penafsiran ekslusif telah dibatalkan (di-naskh) oleh berbagai ayat yang mengait-ngaitkan ahli kitab dengan kekafiran. Karena itu, untuk mematahkan argumen pembatalan tersebut, perlu kiranya disini dijelaskan agak rinci mengenai kenyataan bahwa Alquran tidak menetapkan ahli kitab sebagai kafir.

Seperti dimaklumi, Alquran tak pernah langsung memberikan predikat kafir (dengan kata sifat/isim fâ’il) kepada ahli kitab. Memang ada beberapa predikat kafir yang secara tidak langsung ditujukan kepada mereka, tetapi sebagaimana telah diperiksa Farid Esack, beberapa predikat ini selalu disertai dengan ungkapan-ungkapan pengecualian seperti ungkapan “sebagian”, “kecuali” dan sebagainya.

Atau banyak kata kekafiran (kata benda/mashdar) yang dinisbatkan kepada mereka, tapi dibarengi dengan ungkapan eksepsional seperti itu (lihat misalnya, Qs. 2:105; 12:109; 5:78&110; 59:2; 98:1&6; 3:69-71&110). Di lain pihak, Alquran secara eksplisit membedakan antara golongan kuffar (plural dari kata kafir) dengan ahli kitab (Qs 5:57). Ini semua menunjukkan bahwa Alquran tak pernah menetapkan ahli kitab sebagai kafir.

Terlebih lagi Alquran membagi umat yang pernah disapanya menjadi “tiga golongan”: Pertama, mereka yang membangkang nabi terdahulu dan juga Nabi Saw. Mereka ini diancam akan mendapatkan “kemurkaan di atas kemurkaan”, setimpal dengan dua kali pembangkangannya, yakni kepada Nabi Saw dan nabi terdahulu (Qs. 2:90).

Kedua, ahli kitab yang pasca-datangnya Nabi menerima risalah beliau dan bergabung dengan komunitas Muslim. Mereka dijanjikan Allah akan mendapatkan pahala dua kali (marratain) karena dua kali keimanannya, yakni kepada nabi terdahulu dan juga Nabi Saw.

Dengan kata lain, kelompok ini adalah ahli kitab yang telah menjadi Muslim atau masuk Islam (Qs. 28: 54). Ketiga, ahli kitab yang beriman kepada nabi terdahulu tapi tidak bergabung dengan komunitas Nabi Muhammad. Alquran tetap mengakui secara eksplisit keimanan mereka (Qs. 3: 113-114).

Banyak mufasir ekslusif bersikeras mengatakan bahwa kelompok ahli kitab yang ditunjuk ayat ini (Qs. 3: 113-114) adalah ahli kitab yang telah masuk Islam (kelompok kedua). Tapi penafsiran ini sama sekali tidak berdasar karena soal ahli kitab yang telah masuk Islam, Alquran telah menyebutkannya di tempat lain (Qs. 28: 54).

Dengan demikian, tak ada alasan untuk membatalkan ayat-ayat inklusif dengan berbagai ayat yang mengait-ngaitkan ahli kitab dengan kekafiran. Karena berbagai ayat seperti itu tidak berarti menetapkan ahli kitab sebagai kafir.

Seyogyanya kriteria kekafiran seperti yang ditetapkan Al-Ghazali ataupun para teolog lainnya, haruslah diamandir dengan kriteria Alquran yang bersifat inklusif. Yakni suatu kriteria kekafiran yang bersifat melampaui (beyond) sekat-sekat teologis-sosiologis antarumat beragama.

Menurut Alquran, kekafiran bukan didasarkan pada menentang atau tidaknya seseorang kepada nabi tertentu, melainkan pada ajaran yang dibawa semua nabi, yakni beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir. Jadi, yang disebut kafir oleh Alquran adalah orang-orang yang menentang Tuhan dan Hari Akhir, dan sebaliknya, orang-orang beriman adalah orang-orang yang percaya kepada keduanya, melalui nabi manapun.

Distorsi kedua yang menimpa wacana ahli kitab berkaitan dengan tuduhan penyimpangan (tahrif). Rupanya, para teolog dan fuqaha sudah “salah baca” mengenai pernyataan Alquran soal tahrif. Pernyataan itu dipahami mereka sebagai klaim teologis, yakni suatu tuduhan tak terampunkan lagi bahwa karena kitab suci ahli kitab telah diubah oleh sebagian (elit) mereka, maka tinggallah Islam sebagai satu-satunya agama yang benar; dan bahwa semua ahli kitab yang enggan masuk Islam berarti masih tetap dalam kesesatan.

Kita bisa menangkap “kesalahan baca” ini misalnya, dari karya-karya kontroversial para teolog Muslim selama masa awal dan pertengahan, yang bersikeras menekankan adanya berbagai penyimpangan Taurat dan Injil berdasarkan petunjuk Alquran. Taruhlah seperti: Syifa’ al-Ghalil fi Bayan ma Waga’a fil-Taurat wal-Injil min al-Tabdil (Pelepasan Dahaga melalui Pemaparan Perubahan yang Terjadi dalam Taurat dan Injil) karya Imam Juwaini; Al-Radd al-Jamil li-Ilahiyyat Isa bi Syarih al-Injil (Sanggahan Indah tentang Sifat Ketuhanan Isa dalam Teks Injil) karya Imam Al-Ghazali; dan Al-Jawab al-Shahih li man Baddala Din al-Masih (Jawaban yang Valid kepada Mereka yang telah mengubah Agama Al-Masih), karya Ibn Taymiyyah yang dilatarbelakangi oleh peristiwa Perang Salib.

Alih-alih sebagai klaim teologis, pernyataan tahrif itu sebenarnya merupakan kritik historis Alquran. Kita tahu bahwa ketika Islam datang, Yahudi dan Nasrani sudah berumur tak kurang dari lima abad. Mohammed Arkoun menyatakan bahwa setelah turun ke bumi seluruh kitab suci menjadi tunduk pada hukum sejarah, yakni terbuka kemungkinan untuk disalahmengertikan atau disalahgunakan ataupun diubah.

Maka begitulah kemungkinan yang terjadi pada Taurat dan Injil pada masa Nabi Saw. Tapi Alquran menyatakan adanya perubahan itu sama sekali bukan dalam rangka melancarkan tuduhan teologis, melainkan dalam rangka memperingatkan perubahan itu sebagai bagian dari proses reifikasi (pembendaan) yang bisa dialami oleh semua agama dalam perjalanan sejarahnya, termasuk Islam.

Sebab, di samping menyebutkan tahrif itu sebagai bermotifkan ekonomi politik, Alquran lebih mementingkan pesan moralnya ketimbang data obyektifnya (apa betul Taurat dan Injil itu telah diubah?); bahwa setiap pemeluk agama, termasuk Islam, dapat mengubah atau menyalahgunakan kitab suci. Taruhlah misalnya sewaktu kampanye, banyak umat Islam yang mengubah (makna) Alquran untuk kepentingan mengail suara.

Agenda Kerjasama

Alquran memang mengecam keras tindakan reifikasi yang dilakukan ahli kitab terhadap ajaran agamanya sehingga kehilangan misi profetiknya. Ini terutama dilakukan Yahudi (Ingat saat itu Yahudi Khaibar menjadi adikuasa di Madinah berkat “kecerdikannya” mengadu domba suku Arab Khajraz dan Aus).

Kecaman tersebut menyangkut klaim eksklusif mereka, bahwa hanya mereka sajalah yang mendapat petunjuk dari Tuhan dan berhak atas surga (Qs. 2:111,113 dan 120); elit agama dijadikan Tuhan dan memakan harta batil (Qs. 9:31&34); merasa menjadi pilihan Allah sehingga mereka bakhil (Qs. 4:53) dan bahkan tidak menganggap dosa merampas harta kelompok lain (Qs. 3:75); sistem kependetaan yang tertutup (Qs. 57:27) dan lain-lain. Alquran mencela habis dengan maksud agar kaum Muslim tidak terjebak pada jurang yang sama.

Farid Esack menyatakan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, Alquran memperingatkan kita jangan sampai mengangankan pahala surga tanpa beramal kebaikan, sebagaimana ahli kitab (Qs. 4:123); sekiranya mereka berpaling dari agama maka mereka pun akan dimusnahkan (Qs. 9:38); meski mereka dimuliakan sebagai sebaik-baiknya umat (Qs. 3:110), tapi mereka tidak dijamin akan dikasihi atau dibela Allah jika setelah memperoleh kekuasaan, mereka tak menegakkan shalat, tidak berusaha meningkatkan kesejahteraan fakir miskin, dan tidak menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran (Qs. 22: 41) (lih. Murtadha Mutahhari, 1996).

Dus, agenda utama kerjasama antaragama adalah menjaga agama masing-masing agar tidak tertimpa reifikasi. Di sinilah tempat dialog-praksis antaragama untuk saling melancarkan kritik —yang juga berarti otokritik— kepada sesamanya.

Atau, untuk merumuskan agenda yang lebih rinci, kita silangkan ayat-ayat yang memuji sifat-sifat Yahudi dan Nasrani (Qs. 3: 113-114), yang memuji sifat-sifat kaum Muslim, ahli kitab dan agama lainnya (Qs. 2: 62 & 5:69), dan sekaligus yang memuji kaum Muslim khususnya (Qs. 3:114).

Hasilnya adalah tiga pilar kebaikan yang serupa: pertama, beriman kepada Allah dan Hari Akhir (khusus dalam Islam, juga beriman kepada Nabi Saw.); kedua, beramal kebaikan dan/atau menyeru kebaikan dan ketiga, mencegah kemungkaran.

Agar ketiga pilar ini bisa dipahami semua agama, maka kita terjemahkan ke dalam konsep universal, yakni dengan melakukan —apa yang direkomendasikan Kuntowijoyo— sebagai transendensi, humanisasi atau emansipasi dan liberasi.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.