IslamLib – Dalam definisi yang dikenal dalam PBB misalnya, minoritas adalah suatu kelompok warga suatu negara, namun sedikit (minoritas) dari sisi jumlah, tidak dominan, yang berkaitan dengan etnik, agama dan bahasa mereka. Yang perlu diperhatikan kelompok yang dianggap minoritas ini adalah warga negara yang memiliki keunikan dibanding kelompok ”besar”lain dalam lingkup suatu etnik, agama dan bahasa.
Dianggap minoritas karena jumlahnya kecil dan tidak dominan. Hal yang perlu diperhatikan dalam definisi itu ada perbedaan antara kelompok minoritas dengan ”penduduk pribumi/asli”(indigenous people)apakah ”penduduk asli”bisa dilihat sebagai kelompok minoritas? Ada pendapat yang menjawab ”iya”ada yang ”tidak”, namun karena nasih mereka di beberapa negara jumlahnya semakin sedikit, akhirnya dianggap sebagai ”kelompok minoritas”.
Di sinilah problem lain mulai dimulai, bahwa kategori dan definisi minoritas ini menjadi persoalan serius apabila yang terjadi—dan ini banyak contohnya—praktik ”minoritisasi”(memasukkan suatu kelompok dalam kategori yang minoritas). Misalnya dalam konsep kewarganegaraan seharusnya tidak dikenal kategori ”mayoritas”dan ”minoritas”karena seluruh penduduk adalah warga negara yang berarti seluruh penduduk masuk dalam kategori ”mayoritas”.
Kemajemukan yang tumbuh di Indonesia akan dianggap membanggakan dan dipandang sebagai kekayaan kalau dilihat dari perspektif budaya. Namun kalau dibawa pada ranah politik kekuasaan akan menimpulkan pengalaman yang bertolakbelakang. Dalam konteks kekuasaan akan muncul politik identitas yang tiba-tiba mengubah kemajemukan sebagai petaka. Salah satu anasir dalam kemajemukan akan dipolitisir—seperti etnis dan agama—sebagai kekuataan yang bisa menindas anasir yang lain dalam perbandingan kuantitas.
Yang banyak akan menindas yang sedikit. Di sinilah petaka awal soal ”mayoritas”dan ”minoritas”muncul. Dalam ranah ini, kemajemukan yang sudah tumbuh berabad-abad dan hidup berdampingan tiba-tiba ingin disangkal dan dipaksa ada penyeragaman. Yang sedikit dipaksa untuk berasimilasi dengan yang banyak. Yang kuat menundukkan yang lemah.
Untuk itu, membicarakan terma ”mayoritas”dan ”minoritas”kali ini menjadi penting. Kita mulai dari pertanyaan yang mendasar, apa itu ”mayoritas”dan apa itu ”minoritas”benarkah ada dua kategori itu? Kalau pun ada apakah dua istilah tadi merupakan istilah yang ajeg?
”Minoritas”atau ”Minoritisasi”?. Dalam definisi yang dikenal dalam PBB misalnya, minoritas adalah suatu kelompok warga suatu negara, namun sedikit (minoritas) dari sisi jumlah, tidak dominan, yang berkaitan dengan etnik, agama dan bahasa mereka. Yang perlu diperhatikan kelompok yang dianggap minoritas ini adalah warga negara yang memiliki keunikan dibanding kelompok ”besar”lain dalam lingkup suatu etnik, agama dan bahasa.
Dianggap minoritas karena jumlahnya kecil dan tidak dominan. Hal yang perlu diperhatikan dalam definisi itu ada perbedaan antara kelompok minoritas dengan ”penduduk pribumi/asli”(indigenous people)apakah ”penduduk asli”bisa dilihat sebagai kelompok minoritas? Ada pendapat yang menjawab ”iya”ada yang ”tidak”, namun karena nasih mereka di beberapa negara jumlahnya semakin sedikit, akhirnya dianggap sebagai ”kelompok minoritas”.
Di sinilah problem lain mulai dimulai, bahwa kategori dan definisi minoritas ini menjadi persoalan serius apabila yang terjadi—dan ini banyak contohnya—praktik ”minoritisasi”(memasukkan suatu kelompok dalam kategori yang minoritas). Misalnya dalam konsep kewarganegaraan seharusnya tidak dikenal kategori ”mayoritas”dan ”minoritas”karena seluruh penduduk adalah warga negara yang berarti seluruh penduduk masuk dalam kategori ”mayoritas”.
Namun privilege dalam kategori ”mayoritas”ini dirampas karena ada suatu kelompok memiliki keunikan atau ’kelainan’dibanding kelompok yang dianggap ”mayoritas”. Keturunan Tionghoa adalah warga negara Indonesia tiba-tiba disebut minoritas karena dianggap ”warga keturunan”bukan ”warga pribumi”. Sebagai ”warga keturunan Tionghoa”dianggap minoritas dibanding dengan ”orang asli Indonesia”.
Muncullah stereotip ”orang Tionghoa bukan orang asli Indonesia”. Padahal kalau mau dibanding secara fair etnis Tionghoa dengan etnis-etnis yang ada di Indonesia jumlahnya nomer tiga setelah Jawa dan Sunda. Dengan menyebut ”orang Tionghoa bukan orang asli Indonesia” maka inilah proses minoritisasi orang Tionghoa di Indonesia. Padahal mereka bukanlah minoritas (dari sisi jumlah atau pun posisi sosial dan ekonomi), mereka terkena minoritisasi.
Ilusi ”Mayoritas”. Kategori ”mayoritas” pun mengundang pertanyaan. Siapa ”mayoritas” di Indonesia? Sering disebutkan pada dua jenis mayoritas. Pertama dari etnis adalah Jawa dan dari agama adalah Islam. Namun pernakah dipertanyaan secara mendalam, siapa ”orang Jawa” itu? Apakah mereka yang tinggal di Pulau Jawa? Bukan. Apakah mereka yang berbahasa Jawa dan berbudaya Jawa? Padahal bahasa dan budaya Jawa tidaklah satu. Jawa Yogyakarta dan Jawa Solo ada pertentangan. Demikian antara Jawa Pesisiran dengan Jawa Pedalaman juga ada pertentangan. Orang Jawa Timur merasa berbeda dari orang Jawa Tengah dalam bahasa dan budaya. Lantas siapakah ”orang Jawa”yang ”mayoritas”itu? Tidak jelas.
Islam pun sebagai agama yang dipeluk mayoritas warga negara terserap dalam ormas-ormas Islam, madzhab dan aliran. Kalau dipandang dari jauh dan dari prinsip-prinsipnya, Islam adalah satu. Tapi kalau didekati, Islam di Indonesia beraneka-ragam, Islam dalam komunitas NU, Muhammadiyah, Salafi, Persis, dst… pertanyaannya, kelompok dan ormas manakah yang merepresentasikan umat Islam yang mayoritas? NU tidak mempresentasikan semua umat Islam di Indonesia.
Demikian juga Muhammadiyah. Apalai MUI. Pun parpol-parpol yang mengaku Islam tidak mendapat suara mayoritas umat Islam di Indonesia. Dalam kenyataan ini, siapakah kelompok yang merepresentasikan umat Islam yang ”mayoritas”itu di Indonesia? Tidak jelas.
Oleh karena itu ”mayoritas” dan ”minoritas”adalah kategori yang sangat cair, tidak jelas, dan bisa diciptakan dengan tujuan dan kepentingan tertentu. Dalam otonomi daerah yang memunculkan politik identitas kedaerahan, suatu etnis dan bahasa yang dominan dan terbanyak, sengaja diciptakan (digalang) untuk kepentingan mobilisasi massa dan memperoleh suara.
Suatu kelompok yang sebenarnya masuk dalam kategori ”mayoritas”namun karena memiliki perbedaan dan keunikan yang dibandingkan dengan grup yang terbanyak akan dirampas kemayoritasannya, seperti yang terjadi saat ini pada Ahmadiyah dan Syiah dalam keluarga besar Islam. Inilah yang disebut proses ”pelainan”.”Lain” di sini tidak dilihat sebagai perbedaan, tapi penodaan, penyimpangan dan kesesatan.
Ahmadiyah dianggap bukan Islam lagi hanya gara-gara kepercayaan mereka terhadap Mirza Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiyah, meskipun dalam rukun iman dan rukun Islam, hingga syahadat mereka sama dengan muslim yang lain. Syiah dianggap bukan Islam lagi karena mereka bukan Sunni yang dianut mayoritas muslim di Indonesia. Meskipun Sunni sendiri tidaklah berwajah satu. Ada Asyari, Maturidi, Salafi, Wahabi, Ahl Hadits dst…
Akar persoalan sebenarnya dalam ranah ini adalah pengingkaran terhadap perbedaan. Sering dipahami ”minoritas” itu dianggap berbeda dari ”mayoritas”. Padahal dalam yang ”mayoritas”pun ada anasir-anasir yang berbeda. Untuk mengingkari perbedaan itulah dipaksakan penyeragaman. Seolah-olah semua hal yang berbeda bisa diseragamkan dan dianggap sama.
Nah, apa yang disebut ”mayoritas”sebenarnya adalah bentuk lain dari narasi penyeragaman atau usaha memaksakan segala ihwal yang berbeda menjadi satu. Di sini kita masuk dalam ilusi ”mayoritas”dalam arti semua hal bisa diseragamkan, disamakan dan disatukan dengan menyangkal perbedaan. Karena yang berbeda-beda tidak pernah akan bisa diseragamkan, maka proses tadi biasanya disertai dengan pemaksaan dan kekuatan. Setiap keunikan harus ditanggalkan, harus diingkari, setiap perbedaan harus diabaikan melalui proses pemaksaan suatu kekuatan rejim yang otoriter.
Modus lain yang biasa digunakan agar seragam adalah menciptakan ”musuh dari luar”. Umat Islam akan bisa bersatu kalau diciptakan musuh dari luar Islam, baik musuh dari agama yang berbeda atau pun musuh politik. Islam akan benar-benar menjadi identitas yang berbeda kalau disandingkan dengan agama-agama lain. Ahmadiyah diproyeksikan sebagai musuh bersama dalam ormas-ormas Islam di Indonesia yang tujuannya adalah konsolidasi dan mobilisasi politik. Dayak di Kalimantan yang sebenarnya berasal dari banyak klan akan menganggap diri mereka satu apabila berhadapan dengan Madura.
Perbedaan Bukanlah Penodaan. Perbedaan adalah hal yang alami dan lumrah ditemukan dalam kehidupan kita. Perbedaan pun akan terus berkembang. Perbedaan berasal dari bawaan atau konsekuensi pilihan. Namun dalam ranah persaingan politik identitas dan upaya penyeragaman perbedaan dan keunikan ini yang hendak dilenyapkan.
Berbeda sering dituduh iktikad bercerai-berai. Dan bersatu dipandang sebagai penyeragaman. Inilah akar kesalahpahaman yang sayangnya diwariskan terus menerus antar-generasi. Dialektika antara hasrat ingin berbeda dan ingin bersatu telah dikenal dalam sejarah manusia. Konsep yang ideal adalah menyeimbangkan antara keduanya. Kita pun dikenalkan pada dua konsep seperti pluralisme dan multikulturalisme.
Konsep yang terakhir dilahirkan untuk mengkritik konsep yang pertama. Kedua konsep ini sama-sama mengakui kemajemukan, kepelbagaian, perbedaan, keunikan, namun dipahami berbeda dalam menekankan dua aspek. Kalau pluralisme dianggap menekankan persamaan (mencari titik temu dari hal-ihwal yang berbeda) sedangkan multikulturalisme menekankan pada diversitas (perbedaan) tanpa harus mencari persamaan. Multikulralisme bertujuan untuk berbeda. Sedangkan pluralisme mencari persamaan dalam perbedaan.
Saya tidak ingin memperpanjang perdebatan antara dua konsep ini yang ingin saya tekankan adalah dua konsep ini mengajak kita untuk mengakui kemajemukan dan tidak alergi terhadap perbedaan. Alergi terhadap perbedaan hingga punya sikap menolak perbedaan adalah dasar dari diskriminasi. Perbedaan yang tidak dipahami dan diakui akan melahirkan pembedaan.
Dalam konteks ini, Konstitusi kita, peraturan dan perundang-undangan memiliki perangkat perlindungan terhadap hak untuk berbeda. Dalam pengakuan kebebasan dan kemerdekaan tiap individu, dan larangan untuk membeda-membedakan atau mendiskriminasi perbedaan dalam individu atas dasar jenis kelamin, jender, afiliasi kelompok, agama dst….
Kalau kita menginsyafi Konstitusi kita akan ditemukan jaminan untuk bebas dan berbeda hingga level 100 %. Oleh karena itu tidak ada alasan atau pun dalih yang bisa mengkriminalkan perbedaan. Penyangkalan terhadap perbedaan sebenarnya adalah pengalaman di luar sejarah negeri dan Republik ini, dan tentu saja di luar Konstusi yang kita akui. Lantas dari mana datangnya?
Ancaman terhadap Perbedaan. Kalau kita ingin berbicara dalam konteks yang lebih luas (masyarakat dan Indonesia), rongrongan kelompok politisasi Islam hingga yang garis keras telah masuk di setiap lini kehidupan. Mereka digerakkan oleh ideologi kebencian yang telah berkarat dan luapan syahwat politik untuk berkuasa. Kalau kita ingin mencermati dari tingkat lokal hingga nasional, maka negeri kita ini tengah diuji oleh “ideologi-ideologi impor”yang datang akibat ketegangan politik di Timur Tengah.
Ideologi impor ini yang berwujud seperti PKS, Majelis Mujahidin Indonesia, Fron Pembela Islam, Hizb Tahrir Indonesia, Jamaah Islamiyah, Tandzimul Qaidah, dari yang ingin mengubah hingga yang berasal ingin meredifinisi Republik ini. Pilihannya hanya dua, bagi kelompok yang ekstrim akan diubah menjadi Khilafah Islamiyah dan bagi yang pragmatis (PKS misalnya) Indonesia sebagai nama negara tetap, tetapi berdasarkan syariat Islam atau Negara/Republik Islam Indonesia (karena PKS adalah perkawinan silang antara ideologi Ikhwan Muslimin di Mesir dan DI/NII di Indonesia).
Kelompok-kelompok ini baru lahir di Indonesia “kemaren sore”. Mereka memilih melakukan konfrontasi secara ideologi terhadap Republik ini karena beberapa alasan. Pertama, ormas-ormas Islam ini mengalami keterputusan sejarah dari ormas-ormas Islam yang lama (seperti NU dan Muhammadiyah), mereka tidak ikut melahirkan Republik ini, sehingga hilangnya ikatan emosional dan ide inilah menyebabkan mereka tidak memiliki kecintaan terhadap Republik ini.
Kedua, mereka lahir, menguat dan meraih simpati yang cukup dari masyarakat karena represi dari rejim yang pernah memimpin Republik ini. Misalnya Masyumi di era Soekarno, hingga DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)—lebih dikenal dengan sebutan ”Dewan Dakwah”yang tugasnya membangun masjid di seluruh pelosok Indonesia dan mengirimkan dai-dai, kelompok-kelompok Usroh (yang akhirnya melahirkan PKS) selama Era Soeharto kelompok-kelompok ini ditekan.
Ketiga, kelompok-kelompok ini kuat dan bisa bertahan karena memiliki hubungan dengan dunia internasional, dan menerima hibah dana yang luar biasa besar dari luar negeri. Mereka mengikuti arus konflik politik dan ideologi khususnya dinamika yang terjadi di Timur Tengah.
Yang menjadi tantangan kita, ormas-ormas Islam baru ini yang membawa agenda yang terbuka hingga yang tersembunyi terhadap Republik ini. Mereka juga sangat pandai memanfaatkan alam demokrasi di Indonesia. Dalam kondisi ini mereka bisa memanfaatkan keterbukaan ini dan menggunakan keleluasaan (mereka sangat alergi istilah kebebasan) yang diperoleh dari rahmat demokrasi. Pada akhirnya mereka tak hanya ingin “membonsai”demokrasi namun juga memiliki ikhtiar membunuh demokrasi.
Agar kita tidak terkecoh atau besikap naif terhadap kelompok-kelompok yang mengatasnamakan Islam saya ingin memberkan klasifikasi dan bagaimana sikap kita terhadap mereka.
Kelompok pertamaadalah ormas Islam yang ”pro-demokrasi”adalah mereka yang menerima demokrasi sebagai syahadat politiknya, mereka juga merupakan karakter asli Islam Indonesia. Ormas-ormas Islam yang membela Republik ini, karena merekalah yang melahirkan Republik Indonesia ini (bersama organisasi lintas suku, agama, politik dan lain-lainnya di era Kemerdekaan). NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang masuk dalam kategori ini. Ormas ini memiliki kecintaan terhadap Republik ini karena Indonesia adalah “anak sah”mereka.
Kelompok keduahanya memaknai demokrasi sebagai prosedur kekuasaan, alat legitimasi kekuasaan yang dianggap paling absah—disebut ”menerima demokrasi dengan opsi”. Namun mereka tidak bisa menanggalkan ide dan budaya radikal dan otoritarianisme. Bedanya kalau dulu kelompok ini menggunakan cara-cara kekerasan dan kudeta meliter, namun karena pengalaman kekerasan ini terbukti telah gagal, mereka mulai memanfaatkan prosedur demokrasi.
Di sinilah kita akan menemukan disahkannya undang-undang, dan peraturan-peraturan yang tampak melalui prosedur “demokratis” namun isinya bertentangan dengan semangat demokrasi. Mulailah lahir Perda-perda, Instruksi Gubernur, Bupati, Walikota yang berbasiskan syariat Islam atau qanun jinayat (seperti cambuk dan rajam di Aceh). Termasuk kelompok kedua ini mulai dari strategi PKS yang masih memimpikan sebuah “dawlah islamiyah”(Negara Islam) atau seperti Ma’ruf Amin (MUI/PKNU) yang menyatakan “NKRI versi syariat Islam”, hingga partai-partai yang berdasarkan Islam lainnya (PPP, PBB, PBR dll).
Mereka ini bisa digolongkan sebagai metamorfosis dari cita-cita yang tidak ada hubungannya dengan sejarah Republik ini, “ide impor”seperti PKS yang mengikuti ideologi Ikhwanul Muslimin se-Dunia, atau kelompok-kelompok politik/Ormas-ormas yang dulunya bercita-cita menerapkan syariat Islam seperti melalui Piagam Jakarta (PBB adalah metamorfosis Masyumi). Pergub dan Perda yang melarang Ahmadiyah saat ini pun merupakan varian dari kelompok ini.
Kelompok ketigayang ”kontra-demokrasi”bisa dibagi dua. Pertama kelompok yang kontra demokrasi dan pro-cara-cara kekerasan. Dulu Indonesia dikenal ada kelompok DI/TII yang kini berganti kulit menjadi Jamaah Islamiyah yang memiliki kontak dengan jaringan terorisme internasional (Tandzim al-Qaidah).Keduakelompok yang mengharamkan demokrasi secara terbuka, mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, tapi mendukung penggunaan kekerasan, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ansharut Tauhid, dll.
Mereka membawa ideologi dari luar negeri ini seperti khilafah yang berarti “Islam Transnasional”, “salafi-wahabi”dan “salafi-jihadi”. Mereka ini menolak Pemilu, partai politik, dan instrumen demokrasi lainnya, bukan karena mereka ingin melakukan oposisi dalam demokrasi, namun karena bagi mereka demokrasi adalah sistem yang haram dalam Islam. Hizb Tahrir menyebut demokrasi sebagai ”nidzam al-kufur”(sistem kafir). Sedangkan Abu Bakar Ba’asyir yang dulunya Amir Majelis Mujahidin kemudian dipecat dan mendirikan Ansharut Tauhid ingin mengganti demokrasi dengan “Allah-krasi”.
Bagi saya tantangan terbesar adalah bagaimana seharusnya pandangan dan sikap kita untuk merespon dua kelompok terakhir (menerima demokrasi hanya sebagai prosedur kekuasaan dan mengharamkan demokrasi tanpa jalan kekerasan). Yang terpenting bagi saya menjauhi pandangan dan sikap yang naif. Bagi saya, dua kelompok terakhir ini bukan termasuk kelompok demokratis, meskipun mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan atau mereka juga telah mengikuti prosedur demokrasi (misalnya mengikuti pemilu).
Menurut saya kelompok ini masih menyimpan potensi radikalisme yang terkandung dalam pemikiran mereka, dan sengaja dipendam sebagai ”agenda yang tertunda”. Kalau kekuasaan multak bisa diraih, kalau mereka menguasai kleim mayoritas, maka agenda-agenda tersembunyi itu akan diterapkan. Untuk merespon mereka sekali lagi bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidatif karena akan membuat mereka bisa meraih simpati dari masyarakat.
Yang patut kita lakukan hadapi mereka secara terbuka dan ajarkan bahwa demokrasi bukan hanya kekuasaan yang mayoritas, demokrasi adalah pengakuan dan penerimaan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan, toleransi, pluralisme, keadilan, pengakuan terhadap hak-hak kaum minoritas: agama, ras, aliran dan seksual. Demokrasi adalah pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia yang tidak bisa dirampas atas nama apapun, misalnya hak berkeyakinan, hidup, kepemilikan, tidak disakiti dan lain-lain.
Dalam perkembangan terakhir, Perda-perda Syariah merupakan bukti ancaman terhadap pluralisme agama di Indonesia. Sejauh ini memang tidak ada angka pasti regulasi bernuansa agama. Namun yang patut dicermati juga, pada tahun-tahun belakangan ini, Perda-Perda tersebut trendnya menurun dan banyak dari Perda yang tidak diperdulikan lagi. Beberapa Perda yang sasarannya adalah siswa-siswa sekolah (seperti kewajiban busana muslim di Sumatera Barat masih efektif). Saya memiliki laporan tentang hal ini yang terbit di Jurnal Perempuan dengan judul ”Siswi-Siswi Kristen Pun Terpaksa Memakai Jilbab”.
Sedangkan di Aceh sendiri beberapa bulan lalu telah disahkah sebuah ”Qanun Jinayat”yang tak juga reda kontroversinya, karena menyebutkan hukuman rajam bagi pezina dan Gubernur Aceh sendiri tidak mau menandatanganinya. Dan bagi saya, definisi jarimah (kriminal) dalam Qanun ini sangat bermasalah karena tak menyebut ”pencurian/korupsi” dan ”pembunuhan”sebagai tindak-pidana, namun hanya menyebut soal-soal moral yang dituding sebagai tindak-pidana.
Penutup. Sebagai penutup saya ingin mengajukan tiga poin. Pertama, wacana dan gerakan untuk mengakui perbedaa, khususnya perbedaan agama dan keyakinan(pluralisme agama) memasuki masa-masa yang sulit bahkan mengerikan setelah tahun 2005, semenjak MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan pluralisme agama. Bagi saya fatwa itu adalah teror, dan pembunuhan terhadap karakter seseorang yang ingin membangun perdamaian di Indonesia melalui pluralisme agama. Fatwa itu juga menjadi provokasi dan dijadikan dalih oleh kelompok-kelompok milisi sipil untuk melakukan terorisme fisik terhadap aktivis lintas agama.
Kedua, dibandingkan dengan representasi umat Islam Indonesia yang mayoritas moderat, kelompok Islam garis keras memang sedikit, namun mayoritas yang moderat itu berada dalam posisi yang stagnan dan diam, sementara kelompok Islam fundamentalis semakin bertambah (di media, parlemen, partai politik, milisi sipil, dll).
Sedangkan kelompok-kelompok yang merepresentasikan umat Islam Indonesia yang mayoritas seperti Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terlihat gamang, atau lebih bergerak ke arah kanan karena takut kehilangan umat atau dianggap “tidak Islami”bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok Islam Fundamentalis. Pemimpin-pemimpin dua organisasi massa terbesar di Indonesia lebih tertarik pada politik praktis. Menjadikan Islam sebagai komoditas politik dan untuk meraih simpati publik saja.
Ketiga, dalam kondisi yang berat ini, bukan berarti saya ingin mengajak anda untuk menyatakan kelemahan dan ketakutan, saya tetap optimis bahwa masa depan pluralisme agama akan kembali menguat di Indonesia, terbuka dan majemuk adalah karakter Indonesia. Saya akan tetap optimis meskipun tidak ada kepastian politik dan hukum yang mendukung pluralisme agama, ataupun mayoritas umat Islam Indonesia yang moderat akan tetap diam. Optimisme saya bersumber dari keyakinan bahwa hanya pluralisme agama yang akan memanusiakan manusia, menguatkan harmoni dan perdamaian serta menghormati hidup. Sedangkan fanatisme dan kebencian hanya akan merusak dan menghancurkan manusia.