Home » Agama » Minoritas » Negara dan Hak-Hak Minoritas

Negara dan Hak-Hak Minoritas Reportase Kuliah Pluralisme

5/5 (2)

IslamLib – Sesungguhnya, minoritas paling kecil yang jarang kita sadari di dunia ini adalah diri kita sendiri, “the smallest minority on earth is the individual,” demikian Luthfi Assyaukanie mengutip Ayn Rand, filsuf Rusia-Amerika yang konsisten membela liberalisme. Setiap orang adalah minoritas di hadapan yang lainnya. Karena itu, ketika berbicara mengenai hak-hak minoritas, sebelum merujuk kepada agama atau etnis tertentu, terlebih dahulu kita mesti merujuk pada komposisi yang lebih kecil, yakni  individu.

“Mereka yang menolak hak-hak individu tidak bisa mengklaim dirinya sebagai pembela minoritas,” Luthfi melanjutkan kutipannya. “Biasanya, orang-orang yang memusuhi minoritas cenderung menolak kebebasan individu. Mereka menetapkan banyak aturan untuk mengkerangkeng hak-hak paling mendasar tersebut,” tegas Luthfi.

Karenanya, dalam sesi kedua Kuliah Pluralisme ini, Luthfi menekankan pentingnya memahami apa itu hak individu. Seluruh diskursus ilmu sosial bermula dari diskusi mengenai kebebasan individu. Wacana-wacana seputar kebebasan, demokrasi ataupun kesejahteraan, bermula dari bagaimana hak-hak individu bisa terpenuhi di tengah kehidupan sosial. Lebih jauh, bahkan sebuah negara didirikan pun berangkat dari gagasan akan perlunya mengakomodir hak-hak individu. Tidak ada gunanya membangun sebuah negara tanpa memperhatikan kebebasan individu, tegas Luthfi.

“Satu hal yang harus disadari sebelum kita beranjak pada teori-teori ataupun gagasan-gagasan yang begitu canggih: kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa masing-masing dari kita berbeda,” ungkap Luthfi. Bukan hanya berbeda etnis, agama, atau bahasa, tetapi juga berbeda dalam hal keyakinan dan pemikiran. “Setiap manusia adalah spesies di antara yang lainnya,” imbuhnya. Dalam kajian biologi evolusioner, spesies diartikan sebagai jenis lain yang muncul dan berbeda dari yang lainnya. Karena itu, sebagai spesies, berbeda pemikiran merupakan potensi perbedaan spesies dalam diri manusia.

Intinya, kita semua berbeda. Perbedaan etnis, bahasa dan keyakinan bermula karena adanya jarak. Semakin berjarak seseorang dari yang lainnya, maka akan semakin kental perbedaan di antara keduanya. Anak yang lahir dari rahim yang sama, karena mengalami keterpisahan melalui proses kelahiran, maka mereka akan berbeda satu sama lain. Dari fakta terkecil itu kemudian perbedaan meluas sebagai fakta sosial. Memahami minoritas harus berdasar pada fakta terpenting ini.

Peran dan Fungsi Negara. Fungsi paling utama sebuah negara adalah mengawal dan menegakkan konstitusi. Sebagai keputusan bersama dan tonggak dari keberlangsungan sebuah negara, konstitusi menjadi junjungan tertinggi yang mengarahkan dan mengilhami segenap tata kehidupan berbangsa dan bernegara. “Negara dan warganya, sebagai sebuah jalinan institusi, tidak bisa berpegang pada dokumen lain di luar konstitusi,” tegas Luthfi.

Kerancuan sebagaian orang dalam bernegara disebabkan oleh dualisme yang menghuni pikiran mereka: sebagian taat kepada konstitusi negara, sebagian lagi patuh pada konstitusi yang lain, apakah itu kitab suci maupun aturan-aturan lainnya. Jika memang kita mengaku sebagai warga pada sebuah negara, maka rujukan dalam kehidupan bernegara tiada lain adalah konstitusi.

Konstitusi negara kita sudah cukup baik sesungguhnya. Setelah mengalami amandemen sebanyak empat kali, isu-isu seputar HAM mulai merumah di sana. Sebelumnya, pasal-pasal yang menghargai hak asasi manusia tidak termuat karena konvensi DUHAM baru dirumuskan di tahun 1947, sementara undang-undang dasar kita telah dibuat dua tahun sebelumnya. Maka isu-isu HAM belum sempat terpikirkan oleh para founding fathers. Kini segala jaminan mengenai hak-hak dasar individu telah tercantum, paling tidak tersiratkan di dalamnya. Maka, tiada alasan bagi seluruh warga dan juga negara untuk tidak merujuk kepada konstitusi manakala berhadapan dengan persoalan-persoalan dalam kehidupan bernegara.

Fungsi lain yang juga harus diemban sebuah negara adalah memastikan kebebasan masyarakat. Dari awal sudah ditegaskan, minoritas paling kecil adalah individu. Karenanya pemenuhan kebebasan individu beserta hak-haknya merupakan jaminan yang harus dipenuhi oleh negara. Peran ini memang tidak dibahas secara spesifik di dalam konstitusi, namun banyak sekali ayat atau pasal yang merujuk pada pernyataan: bahwa negara dibangun untuk menjamin kebebasan masyarakat; bahwa kebebasan milik semua orang, bukan kelompok tertentu.

Yang terakhir, dan merupakan peran paling penting sebuah negara adalah memberikan perlindungan. Maksudnya, negara wajib memastikan bahwa setiap warganya tidak diancam oleh warga negara lain. Ini juga yang mengilhami mengapa orang-orang terdahulu berembuk untuk membangun sebuah negara. Kita sudah sering mendengar bagaimana Thomas Hobbes menggambarkan manusia sebagai homo homini lupus, srigala bagi yang lainnya. Sebelum negara dibentuk, manusia hidup dalam situasi yang oleh Hobbes disebut sebagai state of nature, keadaan alamiah yang membuat setiap orang berpotensi untuk mengancam yang lainnya.

Sebelum ada negara, orang begitu mudah mengancam yang lainnya. Perang begitu gampang menguak secepat api membakar hutan hanya oleh satu sundutan: perebutan lahan dan pangan. Di zaman pra-peradaban, suatu suku yang mengalami gagal panen akan merangsek ke wilayah tetangga yang dihuni suku lain demi merebut persediaan pangan mereka. Meluncurlah perang. Itulah konflik, ia bermula dari kehendak untuk menguasai sumber daya dan untuk mempertahankan hidup. Jika semuanya tidak diatur, setiap orang akan menganeksasi yang lainnya. Negara diciptakan untuk mengatur semua itu: demi melindungi setiap orang dari ancaman yang lainnya.

Gejala memprihatinkan yang kita hadapi dewasa ini adalah bagaimana lemahnya peran negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung masyarakat, yang juga terkait dengan fungsinya dalam menjamin kebebasan setiap individu. Contoh paling nyata adalah sikap loyo negara ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang dilatari isu agama.

Negara sungguh telah gagal dalam menjamin kebebasan beragama bagi segenap warganya. Padahal, sudah termaktub jelas dalam konstitusi bahwa setiap warga negara berhak menjalani agama dan kepercayaannya masing-masing. Tetapi apa yang dilakukan negara ketika peristiwa-peristiwa penyerangan terhadap kelompok minoritas agama terjadi? Negara kerap melakukan pembiaran. Bahkan negara tidak berkutik dalam menghadapi perda-perda diskriminatif terkait isu agama yang menjamur di beberapa daerah, yang karenanya diskriminasi terhadap minoritas agama, semakin mengental.

Mengapa seolah ada kontradiksi antara apa yang termaktub dalam konstitusi dengan kenyataan lemahnya negara dalam mengatasi diskriminasi terhadap minoritas agama? Alasan yang paling mudah dilihat merujuk pada penegak hukum itu sendiri. Konstitusi sudah hadir dengan berbagai jaminan atas hak-hak setiap warga, termasuk hak menjalankan kepercayaan dan agamanya masing-masing. Hanya saja, orang-orang yang berdiri pada posisinya sebagai pemegang kekuasaan dan penyangga tegaknya hukum, kerap menjadi aktor antagonis yang karena kepentingan diri atau kelompoknya, maka mereka tak segan mengkhianati konstitusi.

Contoh paling nyata dalam kasus ini terjadi manakala Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Judicial Review atas UU No.1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama. Alasan penolakan MK atas Judicial Review tersebut pun terkesan sangat politis. Hanya karena mereka dikepung selama berhari-hari dengan intimidasi dari kalangan radikal, maka MK merasa harus menolaknya demi “keamanan.” Padahal, orang seperti Mahfudz MD yang saat itu menjadi ketua umum MK, paham betul pentingnya Judicial Review tersebut. Inilah tantangan yang tengah kita hadapi: lemahnya para pemangku jabatan dalam menegakkan konstitusi.

Tantangan lain yang tak kalah peliknya ada pada dualisme sistem hukum yang dipercayai sebagian warga negara. Sejarah yang panjang memperlihatkan bagaimana dualisme itu dialami oleh masyarakat modern. Keinginan untuk mengakomodir nilai-nilai tradisional ke dalam tatanan negara, termasuk dengan menyertakan nilai-nilai keagamaan di sisi lain, serta dorongan untuk melepaskan diri daripadanya, pada sisi yang berbeda. Sebagian besar negara-negara Barat telah selesai dengan persoalan tersebut.

Namun dunia Islam menunjukkan gejala sebaliknya. Ada keterbelahan pada dunia Islam: sebagian kelompok menginginkan negara mereka sepenuhnya bertransformasi menjadi modern; tetapi sebagian lain ingin mengulang tradisi atau aturan-aturan di masa silam. Inilah yang kemudian menumbuhkan wacana seputar negara Islam, hukum Islam, dan sebagainya.

Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Ada pihak-pihak yang menginginkan agar nilai-nilai atau ajaran agama yang mereka percayai diakomodir oleh negara. Termasuk di antaranya perdebatan-perdebatan seputar tafsir agama. Ini terjadi dalam kasus Ahmadiyah, misalnya. Jika bicara dari sudut pandang konstitusi, sudah jelas adanya bagaimana kebebasan memeluk agama dan keyakinan bagi seluruh warga negara dijamin oleh UUD 1945. Maka, jaminan tersebut tentu saja berlaku sama bagi kalangan Ahmadiyah sebagaimana ia berlaku bagi kalangan beragama lainnya.

Tetapi, hanya karena dorongan-dorongan sebagian kelompok, MUI misalnya, yang berupaya memasukkan tafsir mereka atas beberapa ajaran Ahmadiyah yang kemudian mereka simpulkan menyimpang dari ajaran Islam, ke dalam wilayah otoritas negara, maka berbagai diskriminasi akhirnya harus diterima oleh kelompok ini, bahkan dari negara sendiri dengan terbitnya SKB Tiga Menteri. Kelompok Ahmadiyah juga diperkarakan secara hukum melalui pasal penodaan agama yang termuat dalam UU No.1 PNPS 1965. Padahal negara tidak boleh masuk ke dalam wilayah perdebatan yang terkait dengan penafsiran ajaran agama tertentu.

Tugas negara hanya satu: memastikan bahwa Ahmadiyah bebas memiliki keyakinan yang disebut Ahmadiyah, begitu juga terhadap agama/keyakinan lainnya. Tugas negara adalah membolehkan seluruh warga negara memiliki agama dan keyakinan masing-masing. Dalam hal ini kita bisa belajar dari  Amerika. Di negara tersebut ratusan bahkan ribuan agama tumbuh subur.

Di sana tak ada Departemen ataupun Kementerian Agama, tetapi masyarakat tetap hidup rukun. Itu semua sebab dari absennya campur tangan negara terhadap keyakinan atau agama yang dianut masyarakat, termasuk tidak ikut campur dalam perdebatan-perdebatan seputar tafsir agama. Negara hanya turun tangan manakala terjadi tindakan kriminal, tindak kekerasan yang melibatkan ajaran agama atau kepercayaan tertentu.

Tantangan terakhir berasal dari pandangan-pandangan keagamaan, apakah itu berbentuk fatwa maupun opini-opini lainnya, yang memicu konflik dan ketegangan di tengah masyarakat. Meski fatwa mengikat secara parsial bagi kalangan tertentu saja, namun tak dapat dipungkiri betapa besar pengaruh yang diciptakannya. Penelitian Komnas HAM ketika terjadi kekerasan terhadap para penganut Ahmadiyah, menunjukkan bagaimana fatwa berkontribusi cukup besar dalam menciptakan situasi yang mencekam di masyarakat. Misalnya, ketika para pelaku penyerangan atas jemaat Ahmadiyah ditanya seputar alasan mereka melakukan tindakan tersebut, jawaban mereka karena MUI memang menganjurkan itu, karena fatwa MUI melarang jemaat Ahmadiyah ada di Indonesia.

Ini menjelaskan bagaimana peliknya tantangan yang harus dihadapi bangsa kita. Pada satu sisi, fatwa merupakan bagian dari kebebasan mengekspresikan pendapat. Tentu akan mencederai konstitusi jika ini dibatasi. Namun di sisi lain, fatwa kerap menjadi pemantik memanasnya konflik dan ketegangan di masyarakat, yang karenanya kebebasan-kebebasan lain tercederai. Di sinilah letak pentingnya membangun kesadaran bersama mengenai peran serta wilayah-wilayah mana yang menjadi tugas dan otoritas negara.

Bila negara fokus pada tujuan utamanya sebagai pelindung kebebasan individu, maka tantangan-tantangan semacam ini tentunya bisa diatasi. Betapapun dianggap pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah atau berbagai ajaran agama, jika negara bisa membatasi dirinya sebagai pelindung setiap warga, tanpa memberlakukan pembedaan atau previlage, maka tak ada lagi persoalan, khususnya dalam hal kebebasan beragama.

Bila konstitusi kita sesungguhnya sudah cukup baik dalam mengatur setiap hak individu, maka persoalan terbesarnya memang datang dari masyarakat itu sendiri. Ketika menyaksikan adanya pembiaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka kita harus memahaminya dalam konteks mereka sebagai bagian dari masyarakat.

Persoalan-persoalan yang terjadi, semisal adanya keterlibatan polisi atau aparat negara lainnya dalam sebuah konflik, itu harus dipahami dalam konteks mereka sebagai bagaian dari masyarakat. Setiap hari mereka shalat, mendatangi pengajian-pengajian yang isinya sangat tidak toleran, lantas membawa pemahamannya pada beragam tindakan saat mereka  berperan sebagai aparat negara.

Maka, jika tantangan terbesar pada era Soeharto berasal dari rezim, lain halnya dengan kenyataan yang berlaku bagi era demokrasi. Tantangan terbesar pada masa ini  justru  datang dari masyarakat itu sendiri. Karena itu, tugas kita di sini adalah memberikan penyadaran serta pemahaman yang baik mengenai hak-hak warga; terus mengkampanyekannya agar suatu saat kualitas kebebasan kita, paling tidak, akan lebih baik. Itulah yang dilakukan oleh negara-negara maju. Kebebasan tidak didapat secara instan.

Amerika berproses selama dua ratus tahun lebih, Eropa lebih dari tiga-empat ratus tahun sejak Renaisance. Indonesia, kita baru menjalaninya selama beberapa tahun. Dan kita bisa melakukannya melalui kegiatan-kegiatan seperti ini, di antaranya. Begitu Luthfi menutup kuliah ini dengan semangat optimisme yang dialirkan pada seluruh peserta yang menyimaknya dengan khidmat. (Evi Rahmawati)

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.