IslamLib – Sebuah temuan menarik saya jumpai dalam tesis yang ditulis oleh teman saya Sudarto dari Padang, perihal pembiayaan agama di Indonesia. Di sana, terlihat data seperti ini: 92% bujet yang dialokasikan oleh pemerintah untuk Kementerian Agama (Kemenag) dinikmati oleh umat Islam. Analisa teman saya itu merujuk kepada anggaran 2013-2014. Pada tahun itu, Kemenag mendapatkan alokasi dana sebesar 49,5 trilyun rupiah (dari total APBN sebesar 1.843 trilyun).
Dari tahun ke tahun, pembiayaan agama melalui Kemenag meningkat dengan tajam. Pada tahun pertama setelah reformasi, 1998, Kemenag start dengan bujet yang sangat sederhana: 1,3 trilyun. Kenaikan tajam terjadi pada 2007-2008. Pada tahun itu Kemenag mendapatkan alokasi bujet negara sebesar 13,7 trilyun, meningkat dari anggaran tahun sebelumnya sebesar 9,7 trilyun.
Yang menarik tentu saja bukan kenaikan anggaran yang berlangsung secara konstan dari tahun ke tahun. Yang lebih penting ialah bagaimana anggaran itu ditadbirkan, dikelola, digunakan. Sebab, alokasi anggaran mencerminkan arah kebijakan sebuah negara.
Jika anda hendak mengetahui corak kebijakan sebuah negara, cara terbaik ialah dengan melihat alokasi anggarannya: bagaimana ia dibagi ke sektor-sektor tertentu, dan sektor mana yang mendapatkan persentase paling besar. Mari kita lihat sejenak bagaimana alokasi biaya agama melalui Kemenag ini.
Dari anggaran sebesar 49,5 triyun, 82,27% di antaranya dialokasikan untuk pendidikan Islam. Jika dirupiahkan secara nominal, persentase itu bernilai: 40,7 trilyun rupiah. Pembiayaan untuk Islam tidak saja disalurkan lewat pendidikan Islam. Ada sektor-sektor lain juga yang memperoleh pembiayaan. Misalanya: Pembinaan Masyarakat (Pembinas) Islam memperoleh alokasi anggaran sebesar 3 trilyun, atau sekitar 6,16% dari keseluruhan bujet Kemenag. Ada juga anggaran untun penyelenggaraan haji/umrah sebesar 764 milyar, atau 1,54%.
Agama-agama di luar Islam yang mendapatkan pembiayaan negara adalah: Kristen (2,10%), Katolik (1,26%), Hindu (1,09%), dan Buddha (0,56%). Agama Konghucu yang sudah mendapatkan pengakuan resmi oleh pemerintah di era Presiden Gus Dur tidak mendapatkan pembiayaan sama sekali. Hal serupa juga berlaku untuk agama-agama dan kepercayaan lain yang “tak resmi” dan bertebaran di seluruh tanah air. Mereka tak mendapatkan alokasi dalam bujet Kemenag.
Data yang dianalisis teman saya itu memang tak mencakup “pembiayaan agama” yang disalurkan melalui Kemendikbud, wa bilkhusus lewat Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi. Sekedar selingan: memisahkan agama (yang dikelola lewat Kemenag) dan kepercayaan (yang dikelola lewat Kemendikbud) tampak aneh. Ini kelanjutan dari cara berpikir yang keliru: agama dan kepercayaan harus dipisahkan. Sebab kepercayaan dianggap sebagai kebudayaan. Sementara agama bersifat, ilahiah; di luar kebudayaan.
Pemeluk kepercayaan lokal di negeri ini masih harus menunggu lama sampai diskriminasi yang menimpa mereka pelan-pelan bisa dieliminasi. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi dalam administrasi kependudukan. Misalnya: pemeluk kepercayaan masih belum bisa mencantumkan kepercayaan mereka dalam KTP. Mereka juga belum bisa mencatatkan pernikahan, sebab kepercayaan yang mereka peluk belum “diakui” oleh negara.
Diskriminasi yang dialami oleh pemeluk kepercayaan itu ternyata tak berhenti di sana saja. Mereka juga harus mengalami diskriminasi dalam anggaran negara. Seperti kita lihat, anggaran Kemenag sama sekali tak ada yang dialokasikan untuk kepercayaan-kepercayaan lokal yang ada di Indonesia. Mereka dianggap bukan “agama”, melainkan sebuah kebudayaan saja. Karena itu, pembiayaan untuk kelompok itu disalurkan lewat Kemendikbud.
Yang nyaris hilang dan sama sekali tak dipertimbangkan dalam pola penganggaran Kemenag ini ialah pembiayaan untuk dialog antar-agama/iman. Ada alokasi anggaran sebesar 1,8 milyar (merujuk pada bujet 2013) untuk lembaga kerukunan antar umat beragama atau FKUB. Ini tentu agak mengherankan. Kecilnya anggaran untuk dialog antar-agama/iman sangat patut disesalkan.
Saya sudah pernah bertemu dengan Menag Lukman Saifuddin dan mengusulkan agar dalam anggaran pemerintah dicantumkan nomenklatur khusus untuk dialog antar-agama/iman. Banyak lembaga dialog antar-agama/iman di Indonesia yang bekerja tanpa lelah (walau dimusuhi oleh banyak kalangan yang anti-pluralisme) untuk mempromosikan dialog. Mereka bekerja selama ini dengan mengandalkan dana yang tak seberapa dari funding agenices dari negeri-negeri Barat. Sebab tak ada sumber pendanaan domestik.
Pendidikan agama menyerap uang negara yang cukup besar. Tetapi pendidikan yang diarahkan untuk membangun etos/semangat dialog di sekolah-sekolah kita masih sangat terbatas. Mengajarkan agama di sekolah penting, meskipun sejumlah kalangan memandang bahwa pendidikan agama sebaiknya diberikan secara “domestik” oleh masing-masing komunitas agama. Tetapi yang lebih penting lagi ialah mengajarkan dan menanamkan kultur dialog antar-agama/iman di sekolah-sekolah. Juga di tengah-tengah masyarakat.
Saya kira, sudah saatnya, pembiayaan agama di Indonesia mengalami re-orientasi. Prinsip keadilan fiskal yang mencerminkan pembiayaan yang lebih “fair” terhadap kelompok-kelompok minoritas perlu dipertimbangkan. Pembiayaan untuk dialog antar-agama/iman juga perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh.
Selama ini, kita menyaksikan maraknya sikap-sikap eksklusif, bahkan ekstremisme, di tengah-trengah masyarakat Islam. Tentu kita patut bertanya: Apakah uang trilyunan dari pajak rakyat yang dibelanjakan untuk pendidikan agama itu menghasilkan sikap-sikap keagamaan yang terbuka? Atau malah memupuk konservatisme dan ketertutupan? Apakah uang negara itu dibelanjakan untuk membiayai pendidikan yang memupuk eksklusivisme: mudah menyesatkan orang lain? Atau sebaliknya: menanamkan perspektif keagamaan yang terbuka?
Langkah terbaik untuk memangkas praktek-praktek intoleransi keagamaan di tengah-tengah masyarakat kita adalah re-orientasi pembiayaan agama. Pemerintah harus mendukung dialog antar-agama. Dukungan itu harus tercermin dalam anggaran negara. Tetapi, ini bukan anggaran yang disalurkan lewat lembaga-lembaga pemerintah atau semi-pemerintah seperti FKUB.
Anggaran dialog harus disalurkan ke lembaga-lembaga antar-iman yang selama ini bekerja di tengah-tengah masyarakat sipil. Pemandangan semacam ini tentu menyedihkan: lembaga-lembaga dialog sejauh ini hampir sepenuhnya bergantung kepada donor asing. Sementara pemerintah kita sendiri seperti mengabaikan saja lembaga-lembaga itu, seolah-olah apa yang mereka kerjakan tak ada relevansinya bagi penguatan etos bhinneka tunggal ika.
Yang terjadi akhir-akhir ini, setelah disahkannya UU No. 13/2013 tentang Ormas, justru mencemaskan: ada kecenderungan “birokratisasi” terhadap dana-dana asing, dan menghalang-halanginya. Ini, tentu saja, hal yang menggelikan. Konteks lahirnya UU itu ialah untuk mem-filter dana-dana dari Timur Tengah yang dipakai untuk membiayai terorisme. Tetapi yang terjadi, UU itu, sekarang ini, justru dipakai untuk mencurigai dana-dana asing yang membantu, antara lain, kegiatan-kegiatan dialog antar-agama.
Jika pemerintah mencurigai dana asing untuk dialog, maka ia berkewajiban untuk membiayai kegiatan itu lewat anggaran negara. Sebab dialog antar-agama/iman adalah elemen penting dalam mencegah radikalisasi keagamaan di Indonesia. Dengan kata lain: pemerintah punya kepentingan besar untuk memperkuat kultur dialog antar-agama/iman di negeri ini. Ini adalah salah satu dimensi yang penting dalam de-radikalisasi agama yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah.[]
Catatan: Terima kasih untuk Sudarto yang sudah mengizinkan saya untuk ikut membaca tesis yang ia pertahankan di CRCS-UGM, Yogyakarta.