IslamLib – Terkatung-katungnya nasib jemaat GKI Yasmin yang bahkan beribadah di trotoarpun dihalangi oleh barikade polisi adalah titik ekstrem carut-marutnya implementasi hukum terhadap kasus yang terkait kebebasan beragama.
Tak tanggung-tanggung, Keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dan rekomendasi Ombudsman Indonesia pun tak menggerakkan Walikota Bogor untuk membuka segel gereja tersebut.
Ini bukan hanya ironi, melainkan tragedi yang mengebiri akal sehat kita, dalam sebuah negara demokrasi. Masuk di akal belaka jika Nusron Wahid, Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor NU, mengeluarkan pernyataan pedas dengan meminta Walikota Bogor Diani Budiarto keluar dari Indonesia.
Kasus GKI Yasmin ini menambah daftar varian kasus penutupan dan perijinan gereja yang mengisi catatan panjang masalah kebebasan beragama di Indonesia. GKI Yasmin, juga HKBP Cinere, mewakili varian kasus di mana Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sudah dikeluarkan, dicabut kembali oleh aparat Pemerintah Daerah. Juga mewakili mal-administrasi (gagal administrasi) di mana Keputusan Hukum yang lebih tinggi dilanggar oleh otoritas yang lebih kecil (lokal).
Varian kedua, dengan kasus terbanyak, adalah gereja yang tak kunjung mendapatkan IMB karena masih ada resistensi dari sekelompok masyarakat, bahkan meskipun gereja tersebut sudah mapan belasan tahun. Padahal, sangat jelas bahwa tidak adanya resistensi bukanlah prasyarat pendirian gereja. Dan hampir bisa dipastikan bahwa mayoritas pendirian gereja mendapatkan resistensi, dengan gradasi yang berbeda-beda.
Dalam hal ini, rumit dan panjangnya proses perjalanan untuk memperoleh IMB gereja, berbanding lurus dengan banyaknya celah-celah yang bisa dimainkan oleh aktor swasta, aparat pemerintah dari yang terbawah (RT/RW), Kepala Desa, Camat, Muspida, Bupati/Walikota, Polisi, dan Gubernur untuk menghambat (atau memperpanjang waktu) keluarnya IMB. Tentu saja ini berbanding lurus pula dengan besarnya energi dan cost yang harus dikeluarkan oleh pihak gereja.
Varian ketiga adalah gereja yang sudah mendapatkan IMB namun tetap tidak bisa melaksanakan pembangunan karena dihalangi oleh massa. Dalam hal ini, polisi pun tidak berbuat apa-apa dengan tindakan penghadangan yang masuk kategori kriminal. Ini terjadi terhadap Gereja St. Maria Imakulata misalnya.
Varian keempat adalah gereja yang menjadi korban dari ketidakjelasan wewenang dan implementasi peraturan yang ada. Dalam kasus gereja St. Maria Vianney misalnya, rekomendasi yang sudah dikeluarkan FKUB DKI Jakarta masih terganjal di Kantor Gubernur DKI Jakarta karena Pemprov masih memberlakukan Peraturan Gubernur tentang pengaturan pendirian rumah ibadah yang seharusnya gugur dengan terbitnya Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006.
Varian berikutnya adalah gereja yang pada akhirnya “mengalah” oleh tekanan massa. Kasus Ciketing dan HKBP Getsemane di Bekasi menjadi contoh konkret betapa solusi yang pada akhirnya dipilih oleh Pemerintah Daerah adalah solusi yang mengorbankan kelompok minoritas: merelakan diri pindah dari tanah yang dimilikinya, menempati area yang tidak representatif secara lokasi, bangunan, maupun jarak dengan jemaat.
Tentu saja masalah gereja ini tidak sesederhana masalah IMB. IMB hanyalah salah satu titik masuk dari gejala mayoritarianisme akibat menaiknya ghirah keislaman simbolik yang dominan mewarnai atmosfir negeri ini pasca-reformasi. Ada arogansi kelompok keagamaan yang berjalin berkelindan dengan merosotnya legitimasi negara di mata masyarakat.
Center for Religious & Cross-cultural Center (CRCS) baru-baru ini menerbitkan hasil riset mendalam menyangkut kontroversi gereja di Jakarta dan sekitarnya. Tujuh kasus gereja Katolik dan Enam gereja Kristen dikaji dan dipetakan dalam empat kategori: gereja yang tidak memiliki masalah dari awal; gereja yang tadinya tidak bermasalah lalu dipermasalahkan di kemudian hari; gereja yang dipermasalahkan dan mampu menyelesaikan masalahnya; dan gereja yang bermasalah dari awal dan tidak pernah terselesaikan masalahnya.
Riset ini secara khusus melihat masalah gereja dari dua aspek: regulasi negara dan regulasi sosial. Dalam konteks ini, riset ini berhasil memetakan enam aktor yang paling berperan dalam proses pendirian gereja: Aktor pertama adalah Ketua RT/RW. Aktor kedua adalah pemuka agama atau ustadz yang berbasis di musalla RT/RW sekitar gereja. Aktor ketiga adalah FKUB. Lembaga yang diharapkan dapat menjembatani dan menjadi kanal dari konflik antar umat beragama ini justru seringkali menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Aktor keempat adalah Kepala Pemerintahan Daerah (Bupati, Walikota, dan sebagainya). Yang menarik adalah ada beberapa kasus di mana anti-gereja menjadi komoditas dalam kampanye-kampanye para pejabat tersebut ketika menjadi kandidat dalam Pemilukada. Dus, mereka mau tidak mau cenderung menghambat berdirinya sebuah gereja, apapun caranya, sesuai janji mereka kepada konstituen pemilihnya.
Aktor kelima adalah kepolisian, terutama Kapolsek dan Kapolres. Aktor keenam adalah organisasi kemasyarakatan semacam Front Pembela Islam dan ormas-ormas sejenis, termasuk ormas lokal yang mengatasnamakan warga setempat.
Riset ini juga menggulirkan temuan penting tentang regulasi sosial yang dalam banyak kasus berdiri di atas regulasi negara. Seringkali, pendekatan administratif dan pendekatan hukum harus dikalahkan oleh arogansi sekelompok kecil orang yang mengatasnamakan agama.
Ketidaktegasan aparat negara menjadi faktor penting dari dominannya regulasi sosial ini. Seringkali pula, aparat negara seperti terpenjara dan tidak berdaya oleh desakan kelompok massa yang mengatasnamakan agama. Kabar baiknya, dalam beberapa kasus yang terjadi, ketegasan aparat negara dan kepolisian menjadi kunci penting penyelesaian masalah gereja ini.
Lebih berperannya regulasi sosial ini menegaskan kepada kita betapa sulitnya menjadi kelompok minoritas di tengah gejala mayoritarianisme yang akut. Menjadi minoritas adalah menjadi kalah dalam segala hal.
Menjadi minoritas harus rela melakukan “pendekatan” yang rumit kepada kelompok mayoritas. Menjadi minoritas harus merendahkan diri sendiri untuk siap diperlakukan sebagai warga kelas dua. Menjadi minoritas harus siap didiskriminasi oleh yang merasa mayoritas.
Celakanya, terlalu banyak pejabat dan aparat kita yang menganggap wajar arogansi kelompok “mayoritas” terhadap kelompok minoritas. Terlalu sering kita mendengar pernyataan permakluman terhadap persekusi yang dilakukan terhadap kelompok yang dianggap kecil secara jumlah.
Lebih celaka lagi, seringkali kelompok minoritas sendiri mengidap inferiority compelx sehingga juga melakukan permakluman terhadap perlakuan diskriminatif yang menimpa mereka.
Jika sudah begini keadaannya, rasanya akan sangat sulit kita berharap terselesaikannya proses demokratisasi dan kemajuan peradaban manusia Indonesia. Demokrasi mensyaratkan kesetaraan dan perlakuan yang sama di mata hukum. Kemajuan peradaban mensyaratkan penghargaan dan perlindungan terhadap kelompok minoritas.