IslamLib – Kebebasan beragama tidak hanya menyangkut kebebasan untuk beragama dan berpindah agama, tapi juga kebebasan untuk mengekspresikan agama yang dianggap benar oleh tiap individu. Pada tingkat ekspresi inilah, baik regulasi pemerintah maupun aturan sosial masih mengandung beberapa masalah.
Ketika terdesak oleh tekanan sosial seperti aksi massa radikal Islam, pemerintah tak jarang tejebak untuk menunjukkan favoritismenya dalam memilih kebijakan agama. Konsekuensinya, seringkali favoritisme itu bersifat diskriminatif terhadap kalangan non-Islam maupun kelompok Islam non-mainstream.
Laporan Kebebasan Beragama Dunia 2009 yang diterbitkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat 26 Oktober lalu cukup membantu kita dalam melihat potret kebebasan beragama di Indonesia.
Secara umum, laporan itu menunjukkan bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia pada periode 1 Juli 2008 sampai 30 Juni 2009 lebih baik dari periode sebelumnya. Namun masih ada beberapa problem permanen dan temporal yang secara serius meringati kebebasan beragama di Indonesia.
Menurut Center for Religious Freedom, ranking kebebasan beragama Indonesia masih di tingkat partly free, belum sepenuhnya free. Ini berbeda dengan hak-hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties) yang sudah di posisi free. Untuk mencapai tingkat benar-benar free sebagaimana dalam soal partisipasi politik dan kebebasan sipil, Indonesia masih harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah lagi.
Divonisnya pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dan Komandan Lasykar Islam, Munarman, dengan hukuman 18 bulan penjara karena aksi brutal mereka menyerang Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni 2008, tercatat sebagai kemajuan berarti.
Komunitas Konghucu mengkonfirmasi bahwa mereka sudah bebas mempraktekkan agama mereka, juga boleh mengurus akta perkawinan dan KTP dengan mencantumkan Konghucu sebagai agama. I September 2008, Mendiknas pun telah melegalisasi Konghucu sebagai salah satu mata ajar dalam kurikulum sekolah. Itu semua perkembangan menggembirakan setelah Konghucu secara resmi dinyatakan sebagai “agama resmi” tahun 2006.
Di kawasan yang pernah panas oleh konflik seperti di Sulawesi Tengah, para pemimpin agama-agama menyatakan dukungan dan komitmen tinggi untuk menjaga harmoni antar agama. 7 April 2009, ribuan masyarakat dari berbagai agama menyelenggarakan doa bersama di depan kantor Gubernur di Palu dengan komitmen yang kuat untuk mempromosikan dan mempertahankan perdamaian di Sulawesi Tengah.
Selain berprestasi memberantas terorisme, selama periode ini pun polisi dianggap berhasil mengurangi ketegangan selama Ramadan dengan cara bernegosiasi dengan tukang sweeping dari kalangan radikal Islam. Namun di beberapa tempat ketegangan masih terjadi.
Polisi juga menangkap beberapa aktivis FPI di beberapa daerah karena aksi konvoi dan main hakim sendiri terhadap tempat hiburan. Ini merupakan perkembangan yang baik dibanding tahun 2008 ketika polisi tidak berbuat banyak.
Namun di balik perkembangan positif itu, beberapa persoalan lama juga masih merintangi Indonesia untuk naik ke tangga negara yang free dalam soal kebebasan beragama. Per defenisi, kebebasan beragama tidak hanya menyangkut kebebasan untuk beragama dan berpindah agama, tapi juga kebebasan untuk mengekspresikan agama yang dianggap benar oleh tiap individu.
Pada tingkat ekspresi inilah, baik regulasi pemerintah maupun aturan sosial masih mengandung beberapa masalah. Ketika terdesak oleh tekanan sosial seperti aksi massa radikal Islam, pemerintah tak jarang tejebak untuk menunjukkan favoritismenya dalam memilih kebijakan agama. Konsekuensinya, seringkali favoritisme itu bersifat diskriminatif terhadap kalangan non-Islam maupun kelompok Islam non-mainstream.
Kebebasan kalangan Islam non-mainstream seperti Ahmadiyah memang persoalan paling pelik yang menyisakan aib bagi rapor Indonesia. Terbitnya Surat Keputusan Bersama (Juni 2008) menunjukkan bahwa pemerintah tidak benar-benar berpihak kepada kebebasan beragama bagi semua, namun lebih mengafirmasi kehendak intoleran mainstream.
Pemerintah selalu tidak tahan menghadapi tekanan-tekanan yang datang dari kelompok intoleran yang bisa menimbulkan kekeruhan agama kapan saja.
Sejak keluarnya SKB, 21 masjid Ahmadiyah ditutup dan sebagian tidak bisa diselamatkan dari aksi vandalisme. Jemaah Ahmadiyah yang masih terusir dari rumah mereka di beberapa tempat juga masih belum mampu ditangani pemerintah. Majelis Ulama Indonesia yang kegiatan mereka dibiayai negara masih tetap menjadi institusi perintang kebebasan beragama yang cukup didengar pemerintah.
Selain tidak menggunakaan hak konstitusional untuk mereview bahkan membatalkan undang-undang dan aturan-aturan yang mengurangi kebebasan sipil dan bersifat diskriminatif di beberapa daerah, istilah “agama resmi” dan “tidak resmi” dalam jangka panjang masih akan tetap menjadi rintangan Indonesia untuk menjadi negara yang betul-betul free.
Agak mengejutkan, laporan ini juga mencatat lebih-kurang sekitar 20 juta rakyat Indonesia yang tersebar di Jawa, Kalimantan, Papua, dan tempat lainnya yang masih mempraktekkan animisme dan sistem kepercayaan tradisional lainnya.
Mereka adalah kalangan masyarakat yang selama ini didiskriminasi dan terpaksa mencantumkan “agama resmi” apa saja dalam KTP mereka dan belum bebas memilih agama asli mereka.
Andai mereka mengorganisir diri dan menuntut hak-hak konstitusional mereka, mungkin saja akan terjadi kegoncangan demografis yang tidak dikehendaki sebagian pihak.