IslamLib – Jika Anda cermat membaca kisah-kisah dalam Quran, sosok yang paling banyak dikisahkan di sana adalah nabi besar bangsa Yahudi, yaitu Musa. Dengan berbagai variasi, antara panjang dan pendek, kisah tentang Musa bertebaran di sekujur halaman Quran. Saya, sejak dulu, selalu bertanya-tanya: Kenapa demikian? Saya memiliki kesan, Musa tampaknya dipandang sebagai “nabi idola” dalam Quran.
Tentu jawabannya tidak akan Anda temukan di dalam Quran sendiri. Jawabannya bisa ditemukan dengan melihat sejarah dan perkembangan Islam sebagai sebuah agama. Kata “sejarah” dan “perkembangan” perlu saya tekankan di sini. Islam, sebagai agama, bukanlah hal yang statik, melainkan dinamis, progresif, mengalami evolusi.
Saya menduga, ada beberapa alasan kenapa Musa disebut berkali-kali dalam Quran. Pertama, dia adalah sosok yang bisa menjadi model sebagai “the founder of a nation”, pendiri sebuah bangsa, yaitu bangsa Yahudi. Nabi Muhammad, tampaknya, meng-idolakan peran Musa ini. Sebab, Nabi sendiri juga hendak mendirikan sebuah bangsa, sebuah umat.
Visi sosial yang ada pada Nabi adalah sebuah masyarakat yang didasarkan pada ikatan yang baru sama sekali; ikatan yang melintasi ikatan-ikatan lama yang didasarkan pada suku dan kabilah. Pada Musa kita jumpai sosok ideal yang berhasil melakukan semacam “nation building”, membangun bangsa, nyaris dari nol menjadi sebuah bangsa besar yang bisa bertahan selama ribuan tahun, meski menghadapi tekanan dan penindasan yang luas biasa.
Alasan kedua, dan ini saya anggap jauh lebih penting, Musa juga bisa menjadi model yang sangat baik bagi mereka yang ingin membangun suatu “social order” dengan landasan hukum. Sebagaimana kita tahu, bagi bangsa Yahudi, Musa adalah sosok paling besar dan penting dalam sejarah mereka. Melalui Musa, bangsa Yahudi memiliki sebuah hukum yang disebut Hukum Musa.
Semua orang Islam tahu bahwa Taurat adalah Kitab Suci bangsa Yahudi. Tetapi yang jarang diketahui oleh umat Islam ialah ini: kedudukan penting Taurat sebagai “hukum Musa” yang memberikan landasan keteraturan bagi kehidupan bangsa Yahudi.
Taurat, yaitu lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama yang ada di tangan kita sekarang, adalah kitab hukum, selain kitab yang berisi “foundational stories”, kisah-kisah yang menjadi landasan berdirinya bangsa Yahudi. Dua aspek ini –yaitu hukum dan kisah—kita jumpai juga dalam Quran. Bandingkan hal ini dengan Injil di mana dimensi hukum nyaris hilang.
Musa menjadi model yang sangat diidolakan oleh Nabi Muhammad persis karena alasan ini: sosok Musa adalah sosok pembuat hukum yang bisa mengatur kehidupan sosial. Inilah yang menjelaskan kemiripan yang besar antara dua agama ini: Islam dan Yahudi. Dalam dua agama itu, ada kesamaan dalam satu hal berikut ini: pentingnya kedudukan hukum. Baik dalam Islam atau Yahudi, diskursus hukum menempati kedudukan sentral, mengalahkan bidang-bidang lain.
Hukum memang bisa menyuguhkan magnet dengan daya tarik yang luar biasa, terutama bagi pemimpin yang sedang sibuk mengupayakan pengaturan masyarakat. Hukum menyediakan instrumen untuk menata, social ordering. Dalam sejarah Islam, apa yang disebut sebagai shariah atau hukum agama menempati kedudukan istimewa. Sebab fikih, tidak seperti ilmu-ilmu lain, menyediakan diri sebagai alat untuk mengatur.
Dalam Quran, kita menjumpai sejumlah hukum yang jelas-jelas merujuk kepada hukum Musa atau Taurat. Hukum Qisas atau hukum balas (lex talionis) yang disimbolkan dengan ungkapan “mata balas mata”, adalah hukum yang jelas-jelas berasal dari Hukum Musa.
Bahkan Quran pun menyebut hukum Qisas ini dengan ungkapan yang mengisyaratkan bahwa ia berasal dari Taurat: wa katabna ‘alaihum fiha anna al-nafsa bi al-nafsi.’ (QS 5: 45). Kata ganti “ha” dalam ayat itu merujuk kepada Taurat.
Jacob Neusner, sarjana besar Judaisme dari Bard College, Amerika, menulis buku yang amat memikat, Comparing Religions Through Law: Judaism and Islam (1999). Dalam buku yang ia tulis bersama Tamara Sonn itu, Neusner membandingkan, dan sekaligus mencari kesamaan antara Yahudi dan Islam. Kesamaan itu mereka temukan dalam aspek hukum.
Sejak abad ke-6 Masehi, berkembang corak tradisi dalam agama Yahudi yang dikembangkan oleh para rabbi atau ulama hukum Yahudi. Tradisi ini disebut rabbinic Judaism. Salah satu ciri utama tradisi rabbinik ini ialah kuatnya diskursus/percakapan tentang hukum. Tradisi rabbinik mencoba membangun corak keyahudian berdasarkan Hukum Musa atau Taurat.
Tradisi rabbinik kurang lebih sama dengan tradisi fikih yang dikembangkan oleh fuqaha atau ahli hukum Islam. Islam dan Yahudi, dengan demikian, mempunyai kesamaan yang besar dalam tekanan yang mereka berikan pada hukum sebagai alat “social ordering”, pengaturan masyarakat.
Inilah yang membedakan antara Islam dan Yahudi dari Kristen. Sebagaimana pernah saya tulis dalam esei terpisah, Kristen datang justru untuk mengkritik pola beragama yang “law orientd” ini, legalistik dan formal. Kristen ingin membangun diskursus keberagamaan yang berbeda sama sekali: agama berdasarkan cinta, bukan hukum.
Yang menjadi misteri buat kita adalah: dengan seluruh kesamaan yang besar ini, hubungan antara Islam dan Yahudi kerap ditandai dengan permusuhan yang mendalam. Di Quran sendiri, kita menjumpai sejumlah ayat dengan nada yang negatif terhadap Yahudi (misalnya: bangsa Yahudi disebut sebagai bangsa yang sering membunuh para nabi; Bdk QS 2: 91; 3: 112).
Tetapi di pihak lain, kita juga menjumpai kisah yang begitu banyak mengenai tokoh besar bangsa Yahudi, yaitu Musa. Kita menjumpai di Quran suatu isyarat bahwa Musa adalah tokoh yang dikagumi.
Hubungan yang ambigu semacam ini memang menarik. Islam dan Yahudi dihubungkan oleh relasi yang penuh ketegangan: antara mengagumi, tetapi juga sekaligus membenci. Tetapi, kita sebenarnya tak perlu kaget. Bukankah hal semacam ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita: hubungan hate-and-love antara dua orang yang saling mencintai dan mengagumi?[]