IslamLib – Di bulan Ramadan penuh berkah ini, tiba-tiba salah satu grup chat yang berisi kawan-kawan lama satu kontrakan mendadak ramai. Salah seorang penghuni grup melontarkan pertanyaan yang rada-rada teologis. Sehingga bikin perut makin keroncongan di sore menjelang buka itu.
Pertanyaannya begini, kenapa Nabi Isa AS aka Yesus disebut Tuhan bagi umat Kristiani? Sejak kapan penyebutan itu berlangsung? Entah ada angin apa dia bertanya demikian. Kebetulan penganut kekristenan di grup cuma ada satu. Seorang Katolik yang pada semester awal perkuliahan mengaku agnostik.
Maka setelah teman Katolik itu muncul, ia menawarkan apa pertanyaan itu tidak mau diganti saja? Mbok yo pertanyaan ringan yang menyejukkan kayak kultum-kultum di tivi saja. Pertanyaan ini, katanya, bahkan suka bikin bingung romo-romo dan frater-frater untuk menjelaskannya dihadapan jemaat rutin minggu pagi.
Dia mengakui bahwa konsep ketuhanan dalam Kristen memang kompleks untuk dijelaskan bagi orang awam. Apalagi yang belum pernah mengecapi filsafat teologi Kristen. Sementara pertanyaan teman saya itu terlalu ndakik untuk dijelaskan dalam obrolan lewat chat.
Saya bisa paham dengan pandangan itu. Pertanyaan kapan penyebutan Yesus sebagai Tuhan, mungkin secara gamblang jawabannya ialah saat Konsili Nicea berakhir. Konsili yang digagas oleh Kaisar Romawi Konstantinus Agung (325 M) tersebut merupakan upaya untuk menyeragamkan doktrin guna mewujudkan kesatuan iman umat Kristiani.
Konsili tersebut berusaha menyelesaikan perbedaan pendapat dalam Gereja Aleksandria mengenai hakikat Yesus dalam hubungannya dengan Sang Bapa (Allah Bapa). Apakah Yesus memiliki substansi yang sama dengan Allah Bapa atau cuma sekadar memiliki substansi yang serupa belaka dengan Allah Bapa.
Pandangan yang pertama menang. Hasil dari konsili tersebut disahkan. Pondasi awal konsep trinitas dalam khazanah Kristen pun dimulai. Meskipun hal ini merupakan fakta sejarah, bentuk jawaban dimana sejak disepakatinya Konsili Nicea-lah Yesus disebut sebagai Tuhan ternyata problematis.
Jawaban tersebut terlalu dangkal dan memicu simplifikasi. Hal ini berimbas pada kecurigaan pandang terhadap kekristenan oleh pemeluk agama di luar Kristen. Lantaran keterangan tersebut tidak diikutsertakan dengan wawasan sejarah penyebaran Kristen pada abad awal masehi. Serta tidak diiringi dengan diskursus soal konsep ketuhanan dalam Kristen sejak Yesus dianggap meninggalkan dunia fana sampai abad pertengahan (bahkan sampai sekarang).
Karir Sebagai Aktivis. Yesus yang saya kenal sebagai Nabi Isa AS itu, ialah seorang aktivis gerakan sosial yang asketis dan kiri sekali. Yesus tampil dengan kesederhanaan. Baik dari segi pakaian, gaya hidup, perilaku dan bahasa.
Sehingga menyebabkan ia, tidak hanya seorang penggembala ulung, namun juga orator yang handal. Dia tidak menampilkan bahas rumit dan canggih yang hanya dikuasai para rabi dengan otoritas menafsirkan Taurat. Tak jarang pemangku agama tersebut memandang umat Yahudi kala itu lemah dan bodoh.
Tidak seperti aktivis mahasiswa saat ini yang suka berdiskusi dengan bahasan akademis dengan bahasa yang ndakik–ndakik. Yesus mulai dengan mencermati isu-isu yang mempunyai kedekatan dengan masyarakat. Ia menyampaikan gagasan dengan bahasa-bahasa yang sederhana seperti cinta kasih yang universal. Perjuangan tanpa kekerasan dengan memberikan pipi kirimu kepada orang yang menampar pipi kananmu. Bersikap ramah dan peduli pada tetangga yang berarti perubahan harus dimulai dari ranah terkecil dahulu.
Dengan menekankan pentingnya moral, Yesus ternyata sudah mengawali revolusi mental yang ramai diperbincangkan saat ini. Gagasan moralnya mungkin hanya mampu ditiru sempurna oleh Ghandi. Sayang dia bukan seorang Katolik atau muslim. Jika saja dia Katolik pasti namanya sudah masuk daftar santo. kalau dia memeluk Islam jutaan muslim pasti sudah mendakwa dia seorang wali.
Yesus yang menekankan asketisme mengingatkan saya pada laku Budha Gautama, pengikut Jain, para sufi atau para petapa dalam tradisi ketimuran lainnya. Para pelaku asketis tersebut selalu tampil melawan kejumudan zaman dan menjadi oposisi terhadap pemerintahan yang tengah berkuasa. Bersama keduabelas sahabat yang juga merangkap muridnya, Yesus menyasar penindasan yang dilakukan oleh feodalisme berkarakter kapitalisme gaya klasik. Mulai dari kapitalisme lokal oleh para Rabi Yahudi hingga kapitalisme imperialis oleh penjajah Romawi.
Bentuk penindasan tersebut telah mengerdilkan bani israil selama beratus-ratus tahun sejak kepemimpinan adil Raja Salomo atau Sulaiman. Mereka tertindas secara ekonomi, politik dan dikerdikan pula kebudayaannya. Sementara itu para penguasa dari kaum mereka sendiri, mulai dari tingkatan eksekutif para raja sampai pemuka agama, tidak pernah akomodatif terhadap rakyat dan senang memperkaya diri sendiri.
Sebenarnya sedari bayi, Yesus sudah menampakkan karakter rebel-nya. Bayi mana coba yang mampu berbicara dan mengadvokasi tuduhan zina kepada ibunya? Sembari berkhotbah soal pandangan monoteis. Kalau bukan karena keajaiban dari Tuhan, tentu tidak ada bayi yang diatas muka bumi ini sebelum berumur dua tahun mampu berbicara. Kalau pun bicara, paling cuma bisa sebut sepatah dua patah kata.
Bayi Yesus berbicara menohok dan diabadikan ucapannya di kitab-kitab suci. Ucapan bayi tersebut menyindir bentuk konsepsi mapan soal institusi kecil bernama keluarga. Serta mengritik dominasi patriarki di masyarakat yang sudah berlangsung sejak zaman namrud hingga masanya. Emangnya tuhan gak mampu apa menciptakan manusia cukup dari ibu tok?
Monoteis berarti tauhid. Yesus ialah seorang aktivis yang mengadvokasi masyarakat kelas bawah yahudi kala itu. Ia juga menawarkan gagasan kerajaan Tuhan dan menekankan hubungan spiritual dengan-Nya. Dia, Sang Tuhan, berjarak sebagai Bapa namun dekat karena manifestasi Roh Kudus dan keberadaan Yesus sebagai cerminan-Nya di dunia. Mulai dari sinilah bentuk cetak biru konsep trinitas mendapat pijakan.
Para murid Yesus juga bukan kader sembarangan. Lewat upaya merekalah gagasan gereja Kristen berkembang ke seluruh dunia. Mulai dari kawasan mediterania hingga melaju memayungi wilayah Imperium Romawi, yakni Eropa.
Pada awalnya, komunitas Kristen yang ada di imperium Romawi tidak ubahnya seperti ormas agama di indonesia saat ini. Yakni, berwatak radikal. Mereka agresif dan tanpa sungkan mendakwa salah semua orang di luar Kristen. Apalagi banyak penduduk romawi kelas ekonomi ke atas kala itu masih menganut kepercayaan kepada banyak Dewa.
Maka para penganut Kristen awal pada masa itu sering menciptakan konfrontasi di tengah keramaian. Seperti menyerukan kafir kepada bukan Kristen. Berorasi di dekat kuil-kuil Dewa-Dewi Romawi sembari mencaci kepercayaan mereka yang dianggap kuno dan pagan. Serta membandingkannya dengan ajaran Kristen yang hanya mengenal satu Tuhan.
Banyak pengikut Kristen saat itu berasal dari kelompok marjinal dan kelas ekonomi bawah. Sehingga, momen penyebaran Kristen ini dimanfaatkan sebagai gerakan sosial yang masif. Dengan harapan menggulingkan tirani dan kesenjangan ekonomi-sosial di tengah masyarakat borjuis Romawi.
Sementara itu pemerintahan Romawi tidak mampu membendung arus perpindahan agama. Agama Kristen semakin populer di tengah masyarakat. Imperium tersebut akhirnya takluk. Kristen akhirnya dipersiapkan menjadi agama negara. Untuk mempersiapkan hal tersebut, negara perlu hadir sebagai otoritas yang mampu mengawal bentuk kepercayaan masyarakat yang baru ini. Sementara Kristen yang tengah tumbuh ini menciptakan banyak fraksi yang dinilai mampu mengguncang stabilitas politik negara.
Pada akhirnya Kristen yang dinarasikan oleh aktivis sederhana tersebut, dengan gagasan cinta kasih Tuhan dalam setiap diri manusia, dimana setiap makhluk mampu berhubungan dengan-Nya dinilai terlalu rancu oleh barat. Spiritualitas semacam ini tidak dikenal. Gagasan ini agak mengganjal otoritas dan berimplikasi pada goyahnya tatanan sosial.
Maka perlu gagasan yang kiranya sudah akrab digunakan masyarakat Barat sebelumnya. Bagaimana kalau memisahkan sifat tuhan dan bentuk-bentuk? Sadar bahwa Tuhan ialah satu, namun trinitas mendeskripsikan sifat Tuhan dalam membagikannya dalam bentuk-bentuk. Tuhan yang Maha Pencipta berada di nun jauh surga sana dengan istilah bapa. Tuhan dengan cinta kasihnya berupa Roh Kudus. Serta Tuhan yang mewujud dekat dengan makhluknya dalam bentuk Putera Bapa (Anak Tuhan).
Sebagai bagian dari tradisi abrahamik, harus kita sadari, Kristen ialah agama monoteis yang juga punya konsep ketauhidan. Pengakuan akan keesaan terhadap suatu Zat yang Maha Tinggi. Meskipun ada banyak interpretasi dari para kader yang juga murid Yesus terhadap ajaran beliau. Dimana pada akhirnya menelurkan Injil dengan versi masing-masing.
Hal ini menyebabkan ketika berbicara soal ketauhidan Kristen acapkali membingungkan. Apalagi ketika disandingkan dengan gagasan trinitas. Bahkan untuk umat Kristen sendiri yang awam juga terkadang kurang mampu menjelaskan. Sehingga banyak dialog agama yang sering mencap bentuk ketuhanan Kristen saat ini ialah penyimpangan. Untuk itu perlu pembacaan sejarah lebih lanjut. Perlu membangun dialog yang menyegarkan berbagai pandangan.
Untuk memahami bagaimana konsep ketuhanan dalam Kristen, serta bagaimana Yesus bisa disebut Tuhan perlu digunakan perpektif yang lebih lapang. Agar tidak terjadi kesalahpemahaman. \
Agama Kristen ialah agama monoteis dan selaras tumbuh kembangnya dengan semua tradisi Abrahamik. Mulai dari ajaran Abraham, Musa hingga muhammad. Semuanya mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Sebagai bentuk dari agama universal yang mencita-citakan gagasan kesatuan umat. Kesatuan disini maksudnya kesatuan dalam ketauhidan dan cita-cita menciptakan masyarakat baru. Melawan bentuk penindasan serta segala bentuk tiran dari manusia sendiri.