Home » Aksara » Buku » Revolusi Spiritual ala Abdul Qadir Al-Jailani

Revolusi Spiritual ala Abdul Qadir Al-Jailani Telaah atas Kitab Futuhul Ghaib

4.58/5 (86)

 

Syekh Abdul Qadir al-Jailani (1077–1166 M) dikenal sebagai salah seorang ulama—sekaligus wali Allah—dengan spiritualitas yang terlampau matang. Kealiman, keilmuan, dan kemantapan sisi batini tokoh yang terkenal sebagai Sulthanul Auliya` (Pemimpin Para Wali) tersohor ke seluruh penjuru jagad, sepanjang masa. Rasanya tidak mungkin ada umat Islam yang tidak mengenal sosok satu ini. Paling tidak, mengetahui namanya.

Pengaruh ajaran sufisme yang diusungnya tersebar begitu massif, tidak hanya di kalangan orang-orang sezamannya, tetapi juga lintas generasi setelahnya hingga sekarang. Di kalangan Islam tradisional, Sang Begawan Sufi dikenal lantaran berbagai karamah yang dia miliki, bahkan menurut beberapa riwayat, mirip seperti mukjizat para nabi.

Tetapi sesungguhnya penghargaan publik terhadap Abdul Qadir bukan hanya itu. Karamah hanyalah buah, atau batu karang yang tampak dari samudra spiritual yang sangat dalam. Publik, sungguhpun ada yang tidak tertarik dengan sisi khawariq ‘adat (perkara-perkara luar biasa) yang Abdul Qadir miliki, tetapi soal kapasitas keilmuan dan kematangan ruhani, tidak ada yang meragukannya.

Sisi ruhani Syekh Abdul Qadir inilah yang menurut saya lebih banyak diadopsi, dijadikan patron, sekaligus dibutuhkan oleh umat Islam modern, terutama di zaman di mana materi adalah segala-galanya. Umat membutuhkan revolusi spiritual agar terlepas dari jerat-jerat materialisme yang semakin meruyak.

Perlu dicatat, spiritualitas yang diusung Abdul Qadir al-Jailani—sebagaimana tokoh-tokoh sufi lain pada umumnya—adalah spiritualitas penyucian diri (tazkiyah an-nafs) yang mengenyahkan hal-hal materialistik untuk menggapai Yang Satu, bukan spiritualitas imitasi bernomenklatur agama untuk tujuan-tujuan provan keduniaan.

Kedalaman sisi batini Abdul Qadir ini bisa kita rasakan dalam kitab Futuhul Ghaib (Ilham-ilham Gaib). Sesuai namanya, kitab ini berisi 78 pembahasan tentang suluk (jalan menuju Tuhan), akhlak, syariat, hakikat, kewalian, ilham, dan lain-lain. Boleh dikata, dia adalah kumpulan pengalaman ruhani dan penyingkapan-penyingkapan ilahi yang didedahkan di depan mata Abdul Qadir dalam kapasitasnya sebagai “Kekasih Tuhan”.

Membaca Futuhul Ghaib, saya mendapati kitab ini relevan untuk memandang setidaknya dua gejala sosial yang sedang berkembang belakangan. Pertama, fenomena dan kasus penggandaan uang; kedua, dinamika masyarakat berkaitan dengan sosok dan pemimpin kafir.

Pertama, fenomena penggandaan uang. Harus diakui, kasus ini tak bisa dilepaskan dari konstruksi masyarakat soal terminologi spiritual itu sendiri. Tak dimungkiri jika makna spiritualitas saat ini telah mengalami peyorasi, bahkan cenderung “digagalpahami”.

Yaitu bahwa dunia spiritual adalah dunia kekuatan magis yang dapat diandalkan sebagai jalan keluar dari berbagai persoalan hidup. Publik sudah terlanjur menilai bahwa guru spiritual adalah sosok orang yang dianggap punya sisi linuwih alias kekuatan gaib dan dapat dijadikan “pegangan” untuk urusan karier, kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain.

Pandangan ini sungguh kontraproduktif dengan konsep “guru spiritual” dalam teosofi Islam, khususnya yang diusung oleh Syekh Abdul Qadir. Dalam tradisi sufi, istilah guru spiritual disebut mursyid.

Menurut Abdul Qadir, tugas utama guru spiritual adalah membimbing sang murid untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan makhluk dan nafsu keduniaan, agar dapat memurnikan cinta kepada Sang Maha Kasih dengan semurni-murninya. Ketika si murid telah dianggap mencapai tujuan ini, sang guru harus “menyapih” murid itu dari susuan spiritualnya, karena tugasnya telah purna.

Di bagian ke-17 Futuhul Ghaib, Syekh Abdul Qadir menjelaskan bagaimana hubungan antara guru spiritual dan murid seharusnya terjalin:

“Sang guru dibutuhkan selama si murid masih terbelenggu hawa nafsu dan kehendak, dalam rangka menghancurkan keduanya. Tetapi begitu keduanya musnah, maka keberadaan sang guru tak lagi dibutuhkan. Sebab pada dirinya tak ada lagi noda dan kekurangan.”

Di sini, Futuhul Ghaib penting dalam rangka mengembalikan spiritualitas ke khittah-nya, yaitu laku spiritual yang menjadikan Tuhan sebagai seutama-utamanya tujuan dan mengenyakan segala yang bukan Tuhan. Bukan sebaliknya.

Bahwa seorang wali atau sufi sering kali diberkati dengan kemampuan melakukan hal-hal luar biasa, adalah sepenuhnya benar. Namun, daya linuwih yang biasa disebut karamah ini tidaklah untuk dipamer-pamerkan dan diobral secara vulgar. Sebab, al-karamah haidhur rijal. Karamah adalah layaknya haid bagi seorang wali. Tidak pantas dipertonton-tontokan, apalagi sampai bertungkus lumus mempergunakannya untuk kepentingan yang sama sekali duniawi.

Baik guru maupun murid spiritual, haruslah memiliki kesamaan visi dalam upaya mencapai puncak spiritualitas, yaitu penyucian jiwa dari segala kotoran makhluk dan hawa nafsu (tazkiyat an-nafs min al-adran al-khalqiyyah wa al-ahwa` an-nafsiyyah). Di luar visi itu, pengembaraan spiritual mengalami disorientasi. Inilah yang secara menukik disinggung oleh Abdul Qadir di salah satu bagian Futuhul Ghaib:

“Barang siapa menghendaki akhirat, wajib baginya zuhud terhadap dunia. Barang siapa menghendaki Allah, wajib baginya zuhud terhadap akhirat. Maka dia harus mencampakkan dunianya demi akhirat, dan mencampakkan akhirat demi Tuhannya.”

Kedua, tentang pandangan terhadap sosok kafir. Mengaji Futuhul Ghaib, saya mendapati pesan yang kental tentang toleransi, kerendahan hati, dan inklusifitas beragama dalam memandang eksistensi sang “liyan”. Salah satu output paling kentara dari laku spiritual yang dijalani seseorang adalah terbentuknya karakter unggul (al-akhlaq al-karimah) dalam hubungan horizontal sesama manusia.

Syekh Abdul Qadir, betapa pun memiliki kedudukan yang demikian tinggi, tak lantas merasa superior. Dia justru mencari celah “nista” dalam dirinya, untuk tidak merasa lebih baik dalam memandang orang lain.

Salah satu wasiatnya dalam Futuhul Ghaib mengisyaratkan kepada umat agar senantiasa bersikap rendah hati, inklusif, dan membawa toleransi hingga ke batas paling maksimal, bahkan terhadap orang kafir sekalipun. Sebab, yang kafir pun bisa jadi lebih baik.

Kerendahan hati, menurut Syekh Abdul Qadir, haruslah dikukuhkan di atas prinsip bahwa seorang hamba tak melihat orang lain kecuali orang lain itu memiliki kelebihan atas dirinya. Apa pun agamanya. Sikap ini berangkat dari kesimpulan bahwasanya setiap orang tidak bisa dinilai di tengah jalan, tidak bisa divonis surga atau neraka sebelum mencapai garis finish kehidupannya.

Khusus terhadap sosok kafir, Syekh Abdul Qadir dengan sangat rendah hati memberi contoh:

Jika orang lain itu kafir, dia (seorang muslim) akan berkata: bisa jadi suatu hari nanti orang itu akan masuk Islam, sehingga meraih husnul khatimah di akhir hidupnya. Sebaliknya, bisa jadi suatu hari nanti aku kafir dan hidupku berujung su’ul khatimah.”

Petuah di atas seperti hendak meyindir tajam sikap mereka yang beragama dengan jubah kesombongan, merasa benar sendiri, dan selalu memandang eksistensi orang yang tidak seiman dengan premis sinis: seburuk-buruk orang Islam masih punya jatah surga, dan sebaik-baik orang kafir tak punya jatah surga.

Sekilas Futuhul Ghaib

Kitab ini sejatinya merupakan kumpulan materi pengajian atau majelis ilmu yang diampu oleh Syekh Abdul Qadir sendiri semasa ia berada di Bagdad, Irak, yang terekam dengan baik di hati dan lembar-lembar catatan murid-muridnya.

Zain al-Marshafi ash-Shayyad-lah yang kemudian mentranskripnya menjadi sebuah kitab legendaris yang menjadi rujukan sufisme Islam ini. Ada sejumlah alasan mengapa bukan Syekh Abdul Qadir sendiri yang menulis isi kitab ini, juga beberapa kitab lainnya seperti kitab al-Fath ar-Rabbani wa al-Faidh ar-Rahmani yang pembahasan dan temanya hampir serupa.

Kesibukannya memberi pengajaran dan bimbingan masyarakat membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk menulis kitab. Alih-alih menulis, kondisi masyarakat yang ruhaninya kering kerontang kala itu mendesaknya untuk menempuh jalan dakwah (baca: mengajar) sebagai prioritas.

Di tengah gelimangnya Bagdad sebagai pusat peradaban dan tempat berkumpulnya ulama-ulama syariat, mulai dari fikih, ushul fikih, hingga ahli bahasa, Syekh Abdul Qadir melihat tidak ada seorang ulama pun yang menggembleng sisi ruhani mereka. Ditambah lagi kebobrokan masayarakat yang tengah mewabah kala itu, semakin membuatnya memancangkan niat untuk melakukan “revolusi spiritual” (tsaurah ruhiyyah) di tengah mereka.

Cetak biru revolusi spiritual yang dia galakkan itu, sebagaimana terpapar dalam kitab ini, sangatlah berbeda dari apa yang sementara itu ditawarkan oleh ulama-ulama syariat. Bukan dalam arti menyimpang, tetapi justru merupakan tawaran paradigma yang lebih substantif dalam melihat kebenaran.

Misalnya saja penafsiran dia soal syirik (menyekutukan Allah). Menurutnya, syirik bukan hanya menyembah berhala. Mengikuti hawa nafsu, menambatkan hati pada sesuatu selain Allah dari dunia—bahkan akhirat—beserta isinya, juga syirik. Sebab, selain Allah adalah bukan Tuhan. “Bila kau tenggelamkan dirimu dalam sesuatu selain Allah, berarti kau telah menyekutukan-Nya,” demikian ujarnya.

Dari sini kita bisa melihat sisi yang lebih substansial dari konsep “memurnikan tauhid” yang selama ini banyak didengungkan, bahkan menjadi semacam tagline kelompok tertentu, yang hanya berfokus pada hal-hal kasat mata seperti tidak menyembah berhala, meninggalkan perdukunan, tidak mempercayai ramalan, meminta ke kuburan, dan lain-lain.

Konsep “memurnikan tauhid” menurut Abdul Qadir harus pula menyentuh hal-hal yang tak kasat mata, seperti ketergantungan terhadap makhluk, bahkan terhadap diri sendiri. Ia membahasakan hal ini dengan kata fana` (lenyap). Lenyap dari makhluk, lenyap dari hawa nafsu, lenyap dari segala keinginan, dan hanya merasa tenang dengan Allah semata.

Ketika seseorang telah dapat mencapai titik ini, dia akan dikarunia kemampuan “mencipta” dan dapat melakukan hal-hal luar biasa, di mana segala sesuatu yang dia inginkan pasti terjadi, karena kehendaknya telah selaras dengan kehendak dan perbuatan Tuhan.

Artinya, kehendak dan perbuatannya sejatinya juga merupakan kehendak dan perbuatan Tuhan. Inilah yang menjelaskan mengapa Syekh Abdul Qadir al-Jailani bisa melakukan hal-hal di luar adat kebiasaan, seperti telah kita singgung di atas.

Kitab Futuhul Ghaib ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam banyak versi. Salah satunya buku dengan judul terjemahan Revelations of The Unseen: Jalan Rahasia Menuju Allah.

Buku ini diterjemahkan dari naskah asli kitab Futuhul Ghaib dalam bahasa Arab, bukan dari naskah terjemahan bahasa asing lainnya. Ini penting, mengingat banyak literatur-literatur Arab/Islam di Indonesia yang diterjemahkan bukan dari naskah dan bahasa aslinya, melainkan dari naskah hasil terjemahan pula, seperti Inggris, Belanda, dan lain-lain.

Saya sendiri lebih suka membaca naskah asli versi bahasa Arab dibanding naskah “terjemahan dari terjemahan”. Sebab, kemungkinan terjadinya pergeseran makna dan konteks dari yang diinginkan teks aslinya lebih besar. Hal itu karena konteks bahasa Arab bisa jadi berbeda dengan konteks bahasa lain (selain Indonesia), Inggris misalnya. Konteks bahasa Inggris terkadang tidak bisa mengakomodir apa yang diinginkan oleh teks bahasa Arab.

Sekadar contoh, dalam bahasa Inggris, kata “tawakkal” diterjemahkan menjadi “trust” (percaya). Ini kurang tepat, karena kata tawakkal artinya bukan sekadar percaya, melainkan berserah diri dan pasrah. Sementara kata trust atau percaya dalam bahasa Arab punya istilah tersendiri, yaitu amana.

Belum lagi kalau kita bicara soal “citarasa bahasa” atau dzauq. Dibanding bahasa Inggris, citarasa bahasa Indonesia lebih dekat dengan bahasa Arab, karena banyak sekali istilah Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Sehingga, tidak terlalu sulit menyelaraskan teks Arab dengan konteks keindonesiaan.

Silahkan nilai tulisan ini