Home » Aksara » Endo Suanda: “Tak Semua Seni Bertujuan Luhur”
Endo Suanda (Foto: indonesiaproud.wordpress.com)

Endo Suanda: “Tak Semua Seni Bertujuan Luhur”

5/5 (1)

IslamLib – Keluasan dan komplekstitas ekspresi seni tidak semestinya dihukumi dan dininai dengan satu sisi sudut pandang saja. Sudut pandang agama saja, misalnya, tidaklah memadai untuk menentukan hitam-putihnya nilai kesenian. Mengapa demikian? Berikut paparan Endo Suanda, pakar etnomusikologi, tentang hubungan agama dan kesenian kepada Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (24/8, lalu.

 

Mas Endo, kita tahu, ekspresi seni itu sudah berumur setua peradaban manusia sendiri. Pertanyaannya: mungkinkah manusia melepaskan diri dari kesenian, misalnya dengan larangan-larangan agama?

Jawabannya adalah mungkin dan tidak mungkin. Mungkin bagi orang per orang dari sekian milyar orang, tapi sangat tidak mungkin untuk semua orang. Tapi, apakah agama selalu menghalangi-halangi kesenian ataukah antara agama dan kesenian saling membantu?

Kalau kita melihat sejarah, kita akan tahu bahwa kesenian juga punya banyak peran di dalam agama. Hampir tidak ada agama yang tidak punya ekspresi seni, mulai tembangannya, nadanya, mantranya, sampai adzan dan qira’at-qira’atnya.

Artinya, di situ kesenian berperan di dalam agama dan sebaliknya juga terjadi: agama berperan di dalam kesenian. Saya kira ekspresi mendalam yang masuk ke batin seorang seniman itu juga tidak lepas dari unsur-unsur keagamaan.

Makin ada kekuatan batin, biasanya ekspresi seni seseorang juga akan makin kuat. Karena itu, dari awal sejarahnya, kesenian juga hampir tidak bisa lepas dari agama. Kalau Anda mengatakan bahwa kesenian sudah lahir bersamaan dengan lahirnya manusia, saya kira ia juga lahir seiring dengan adanya kepercayaan.

JIL: Hubungannya tentu tidak selamanya simbiosis mutualistis, sebab kadang juga terjadi banyak ketenganan. Seperti apa ketegangan itu terjadi?

Saya kira tegangannya ada pada penentuan nilai. Orang yang beragama itu kantidak pernah bisa lepas dari lingkungan dan norma-norma masyarakatnya sendiri-sendiri. Tapi kita juga tahu bahwa masyarakat di dunia ini amat beragam, dengan jutaan macam kultur.

Karena itu, ketika agama apapun diturunkan kepada sekelompok manusia, ia akan ditafsirkan, dimaknai sendiri-sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan. Jadi suatu agama, katakan Islam atau Katolik, yang di Minangkabau akan berbeda dengan yang di Jawa pesisiran atau di Jawa pegunungan.

Beda ekpresi seninya?

Benar, karena ia menyatu dengan kultur, budaya, dan situasi manusia setempat. Nah, kalau saya katakan beda-beda, itu bukan berarti tiada yang sama. Itu sama juga kalau kita bilang sama; tidak berarti tidak ada yang berbeda sama sekali. Jadi di dalam persamaannya, baik kultur atau ekspresi budaya apapun, selalu terdapat perbedaan. Dan di dalam perbedaan selalu terselip persamaan.

Bisakah agama mematikan ekspresi seni tertentu dengan cara melarang atau memfatwa haram?

Saya kira ruang lingkup ekspresi seni manusia itu tidak bisa dibendung, baik secara fisik maupun batin. Dibendung sekarang, mungkin bedol besoknya. Sebab, semua lini kehidupan manusia itu kan berproses. Sekarang harus tiarap, tiaraplah! Sekarang harus diam, diamlah!

Tapi manusia tidak ada yang bisa bungkam seluruhnya. Kuncinya di situ adalah proses. Kultur keagamaan masyarat Islam Minangkabau di tahun 1920-an sudah berbeda dengan masyarakat Minangkabau sekarang. Ini juga akan berkaitan dengan tingkat keterikatan mereka pada norma-norma dan hukum-hukum yang faktanya juga berkembang.

Karena itu, jangankan ekspresi kesenian, produk hukum pun berkembang dan berubah-ubah. Hukum juga berkembang dari waktu ke waktu. Ganti kepala dareah akan ganti pula peraturan daerahnya. Itu salah satu contoh yang paling gampang.

Tapi, dalam proses kebudayaan, kadang-kadang kita tidak bisa melihat perkembangan yang gamblang dari hari ke hari. Mungkin sekian tahun baru kelihatan timbul ini dan timbul itu. Tapi antara satu masa, satu periode dengan periode lainnya, akan selalu ada perbedaan.

Itu mungkin juga berhubungan dengan perkembangan teknologi kebudayaan. Zaman dulu, warna yang cerah-cerah dan kontras mungkin tidak ada, khususnya ketika orang hanya menumpahkan ekspresi seninya lewat warna-warna yang alamiah. Tapi sekarang, teknologinya sudah berbeda dengan adanya warna-warna sintesis dan segala macamnya. Sehingga warna pun berubah-ubah.

Lalu perlukah ekspresi seni itu dianggap kebablasan dan tidak kebablasan oleh agama atau norma tertentu?

Kebablasan dan tidak kebablasan itu selalu menurut pandangan tertentu. Menurut persepsi ini kebablasan, tapi menurut persepsi itu belum tentu kebablasan. Jadi itu sangat terkait dengan perbedaan pemaknaan dari orang ke orang, individu per individu, kelompok per kelompok. Artinya tidak hitam-putih; tidak tajam.

Misalnya soal hukum membuat patung tiga dimensi di dalam Islam. Ayatnya memang melarang. Dan yang menarik justru adanya ayat itu. Tapi dalam praktek, ayat itu tidak selalu bisa berjalan. Seorang kyai yang teman saya di Lombok pernah mengatakan begini: ”Kyai sekarang, kalau pergi kemana-mana, misalnya ke luar kota, saat pulang kadang tetap saja membawa boneka sebagai oleh-oleh untuk anak atau cucunya. Padahal, boneka itu kan bagian dari patung tiga dimensi?!”

Itu artinya, bagaimana mendefinisikan larangan seni tiga dimensi yang berbentuk patung berwujud manusia itu? Kadang, sadar atau tidak, kita melakukan itu juga. Tapi yang perlu juga dipahami, di sini yang dilarang bukan wujud patungnya itu sendiri, bukan pula masalah tiga dimensinya. Tapi bagaimana kita menyikapi itu. Yang dilarang adalah ketika patung ini jadi sesembahan. Intinya, menurut saya yang diharamkan agama itu adalah agar kita tidak menduakan Tuhan.

Tapi dalam sejarah seni dan kebudayaan Islam, larangan pembuatan patung tiga dimensi itu memang telah membuat seni patung tidak berkembang di dunia Islam. Namun kemudian tetap muncul substitusinya dalam bentuk arsitektur, arabes, seni menulis indah atau kaligrafi, dan lain-lain. Jadi sebetulnya, ekspresi seni itu memang tidak terbatas, ya?

Itu betul. Ketika ada kekangan seperti air yang dibendung, dia akan mengalir ke aliran lainnya yang memungkinkan. Umpamanya, larangan seni patung diganti dengan seni kaligrafi. Dan kita tahu, paling tidak, ada tiga jenis kaligrafi yang paling menonjol di dunia ini: kaligrafi Islam, Cina, dan Jepang. Tapi di Islam, memang yang paling menonjol seni berbentuk geometris; hiasan-hiasan ruwet yang umumnya tidak menghasilkan bentuk makhluk hidup.

Tapi, kalau kita melihat kaligrafi-kaligrafi Islam, tetap saja ada yang berbentuk binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kaligrafi-kaligrafi Islam dari Turki dan Persia misalnya, banyak sekali yang berbentuk manusia, tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya. Bahkan sebelum ada tulisan seperti sekarang, orang telah menggunakan simbol-simbol makhluk hidup sebagai tulisan, seperti tulisan Mesir kuno, hieroglif.

Kadang kita mengidentikkan lagu-lagu dan musik Arab sebagai lagu dan musik islami, padahal isinya tak jauh beda dengan lagu-lagu kita kebanyakan. Perlukah musik misalnya diasosiasikan dengan agama tertentu?

Kalau kita mengerti bahasanya, dalam lagu-lagu Arab kadang kita memang menemukan lirik-lirik cinta. Tapi di sini itu justru disanjung-sanjung, dipuja-puja, seolah-olah menjadi icon musik agama. Soalnya saya kira, memang antara teks dan nuansa bunyi itu berbeda.

Sehingga ketika seseorang menyanyikan sesuatu, apalagi kalau ia tidak tahu bahasanya, ia bisa menginterpretasikannya dengan caranya sendiri. Nah, yang ironis adalah ketika ada orang yang paham isinya;kok yang beginian dianggap relegius, padahal isinya tidak relegius?!

Ini sangat menarik dan fenomena ini sangat umum di kita. Memang, masyarakatlah yang membuat nada-nada gurun pasir itu religius dan terus diasosiasikan dengan relegiusitas Islam. Apapun yang datang dari Timur Tengah dianggap relegius.

Mungkin contoh yang baik untuk soal ini adalah fenomena musik gambus. Dari penelusuran sejarah, musik gambus itu mungkin termasuk musik tertua yang pernah ada. Gambar alat-alatnya yang saya punya menunjukkan kalau ia sudah ada sejak abad ke-9 sebelum masehi, tepatnya dari zaman Mesir kuno.

Setelah lahirnya Islam, alat-alat musik itu diadopsi atau diambil. Musik gambusnya kemudian dibawa dan diperkenalkan ke tanah Arab, lalu diolah isinya dengan muatan nilai-nilai Islam. Kemudian, itu disebarkan lagi ke tanah Persia dan ke seluruh dunia. Ia diadopsi ke mana-mana dari bentuk yang asalnya.

Itu menunjukkan, kebudayaan itu berkembang dan kadang lari-lari. Pada satu sisi, kesenian itu ada yang spesifik atau khas wilayah, daerah, dan kelompok tertentu, tapi di sisi lain ia juga sangat terbuka. Artinya, dalam berkesenian, sebetulnya kita selalu mengadopsi dan menerima unsur-unsur keindahan dari mana saja.

Katakanlah salah satu budaya yang cukup solid di Indonesia adalah budaya Jawa. Di Jawa, kita punya wayang. Kalau bicara soal wayang, asosiasi kita langsung akan tertuju ke Jawa. Padahal, kalau kita cermati betul, ceritanya berasal dari India, dan kadang juga mengadopsi cerita Amir Hamzah yang datang dari Timur Tengah.

Jadi, kebudayaan itu tidak bisa didasarkan atas pemetaan yang hitam-putih. Ia selalu bersifat campuran dan mengalami perubahan-perubahan. Seni dan budaya itu pada dasarnya selalu mengalami proses akulturasi.

Apakah seni harus selalu mengabdi untuk kepentingan-kepentingan yang dianggap luhur seperti agama?

Antara ”ya” dan ”tidak”. Kita perlu realistis juga dalam memandang kehidupan ini. Yang namanya kesenian itu terkadang memang diperuntukkan bagi kepuasan rohani. Tapi itu bukan satu-satunya tujuan seni. Bisa saja seni diperuntukkan sebagai alat mencari uang.

Kesenian juga menjadi alat ekspresi estetika, ekspresi sosial politik, dan lain sebagainya. Banyak sekali tujuan masing-masing orang dalam berkesenian. Kesenian juga bisa jadi sarana berekspresi untuk mewujudkan keharmonisan antara diri kita dengan masyarakat. Misalnya seni berbentuk pesta sawah ketika panen madu, panen tebu, gula, dan lain sebagainya.

Karena itu setiap orang punya pemaknaan sendiri tentang agama dan hubungannya dengan kesenian. Agama kan bukan hanya berbentuk salat atau ibadah tertentu saja. Agama juga perlu diperlukan guna membantu orang; tak pandang dari kalangan mana. Artinya, kita tidak bisa mengklaim bahwa sesuatu (seperti kesenian) hanya untuk sesuatu (kepentingan agama). Sesuatu, selalu untuk banyak hal; dan banyak hal untuk sesuatu. Jadi antara sesuatu dengan tujuannya, menurut saya selalu berinteraksi.

Kalau kita mendengar tembang-tembang Gambus dan pementasan wayag suket Slamet Gundono, kita tahu bahwa ekspresi seninya dipengaruhi oleh lingkungan santri tempat ia berasal dan tumbuh. Tapi kita tidak merasakan apa yang ia suguhkan hanya untuk Islam saja, ya…

Ya. Kita bisa melihat sosok Slamet Gundono sebagai orang Islam jebolan pesantren, sekaligus seorang seniman yang hebat. Bagi dia, saya kira tidak ada batasan yang jelas antara keduanya. Dirinya itu satu; Slamet Gundono, ya Slamet Gundono.

Ketika dia main musik, yang keluar adalah nuansa pesantren dan gaya Jawa pesisirannya. Semuanya terhimpun di dalam dirinya. Ekspresinya kompleks, karena diri manusia itu memang sangat kompleks. Ketika dia manggung, nilai ekonominya dapat, nilai hiburannya ada, nilai ekpresinya juga tertuang. Semua ada di situ.

Itu yang menarik dari Slamet Gundono. Dia pandai main musik, belajar kebudayaan Jawa, dan datang dari kalangan pesantren. Dia juga dalang. Artinya, dia telah belajar pakem-pakem dari dua dunia sekaligus, baik itu pakem pesantren maupun pakem kesenian. Menurut saya, pemahaman tentang pakem itulah yang lengkap diketahui Slamet. Pada dirinya, tidak ada pakem yang mengungkung seluruhnya, sehingga dengan pakem, dia tetap punya kebebasan.

Saya kira, orang hidup memang selalu berada di antara dua karang: ikut pakem, sekaligus ikut kebebasan. Persoalannya hanyalah seberapa batasan batasan antara pakem dan kebebasan berekspresi itu ada pada dirinya.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.