Apa yang disebut sebagai sinetron religius terus memenuhi tabung televisi publik Indonesia. Rasanya tidak satu pun televisi yang alpa dari penayangan jenis sinetron itu. Kemanapun kita hendak memindah channel, di sana kita akan menemukan sinteron tersebut. Sehingga hampir tidak mungkin rasanya kita menghindar dari hidangan kisah yang dianggap bernuansa agama itu.
Komentar para ustad muda yang meminta pemirsa untuk menyaksikan sinetron tersebut semakin menambah pekatnya aroma keagamaan dalam tayangan itu. Terlebih dalam bulan Ramadan kemarin. Suka tidak suka, para pemirsa seakan dipaksa menonton sinetron itu.
Konon, beberapa sinetron itu benar-benar digali dari kisah nyata kehidupan. Ia bukan hasil rekayasa yang fiktif. Bukan hasil olah imajinasi sang penulis naskah dan sang sutradara.
Dan memang, ada banyak kisah yang dituturkan dalam sinetron tersebut. Mulai dari kisah tragis kematian seorang anak yang durhaka kepada orang tuanya, hingga kisah kegetiran hidup seseorang yang membangkang Tuhan.
Dimensi tragis kematian orang-orang durjana itu ditunjukkan dengan beragam cara, seperti jenazahnya tertolak bumi; dari kuping mereka keluar jangkrik; mati muda tersambar petir; dan meninggal dunia lalu menjadi pocong atau hantu yang menakutkan.
Sinteron religius itu seakan hendak mempertontonkan bahwa demikianlah siksa yang akan diterima orang-orang yang menyangkal orang tua dan memprotes titah Tuhan.
Salah satu motif atau tujuan yang hendak dicapai penayangan sinetron itu adalah menyemarakkan dan melebarkan syiar Islam. Pertanyannya, apakah tujuan itu dengan mudah dapat dicapai? Alih-alih mencapai tujuan, ada problem krusial dari sinetron seperti ini.
Sinetron-sinetron itu telah terjebak dalam tindak pembanalan terhadap ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam versi Nabi Muhammad SAW, tiba-tiba menjadi identik dengan pocong dan demit. Sinetron-sinetron itu telah berhasil menjadikan Islam sebagai agama yang penuh aura magis dan agama yang tidak rasional.
Padahal, kanjeng Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa al-dîn `aqlun lâ dîna liman la `aqla lah. Agama itu rasional; bukanlah orang beragama orang yang tidak bisa memungsikan akalnya secara optimal. Islam hadir di tanah Arab pertama-tama untuk mengoreksi ajaran-ajaran yang irasional tersebut.
Karena itu, ada saatnya kita perlu mendengarkan anjuran dari beberapa ulama MUI. Merancang ulang apa yang disebut sebagai sinteron religius itu adalah cara terbaik yang bisa dilakukan. Dan seyogyanya, para ustad dan mubalig yang mendukung penayangan sinetron itu mulai mengevaluasi diri, karena dukungan beliau-beliau itu akan mempengaruhi opini publik; seakan Islam adalah agama yang mengajarkan hal-hal magis yang tidak rasional.