Home » Aksara » Film » “The Curious Case of Benjamin Button”

“The Curious Case of Benjamin Button” Tentang Sekularisasi atas Kitab Suci

4.5/5 (12)

IslamLib – Kisah yang ditulis oleh novelis Amerika F. Scott Fitzgerald (1896-1940) ini memang menarik sekali. Judulnya: The Curious Case of Benjamin Button. Secara bebas, judul ini bisa diterjemahkan sebagai: Kisah Aneh Benjamin Button. Semula merupakan cerita pendek, kisah ini kemudian diangkat sebagai film dengan judul yang sama, tetapi dengan plot cerita yang sama sekali berbeda. Beberapa hari terakhir ini, kanal HBO menyiarkan film yang dirilis tahun 2008 itu, dibintangi oleh Brad Pitt (sebagai Benjamin Button) dan Cate Blanchett (sebagai Daisy).

Secara garis besar, kisah ini bercerita tentang Benjamin Button, anak seorang pengusaha kancing (button) Roger Button (dalam versi film: Thomas Button) yang lahir dalam kondisi sangat aneh. Ia lahir sebagai bayi yang secara fisik tampak seperti seorang tua yang berumur sekitar 70 tahun. Wajahnya keriput, mirip monster yang menakutkan. Dalam versi aslinya, bayi itu bahkan digambarkan telah mampu berbicara.

Ayah Benjamin (dalam versi film yang agak sedikit berbeda dengan versi aslinya) tak tahan melihat anaknya yang berwajah mengerikan itu. Ia kemudian membuang bayi Benjamin di depan sebuah rumah jompo. Bayi Benjamin kemudian dipungut dan dirawat oleh seorang perempuan berkulit hitam bernama Queenie dan suaminya, Mr. Tizzy. Queenie kemudian menjadikan Benjamin sebagai anaknya sendiri.

Jika manusia pada umumnya lahir sebagai bayi yang berkembang pelan-pelan menjadi kanak-kanak, lalu tumbuh sebagai remaja, dewasa, dan kemudian menua, bayi Benjamin justru melalui proses yang berkebalikan. Ia lahir sebagai seorang yang tua-renta, kemudian pelan-pelan beranjak makin muda dan muda dan muda. Pada umur 70 tahun, Benjamin meninggal dalam keadaan sebagai seorang tua yang secara fisik tampak sebagai bayi yang baru lahir. Benjamin menjalani proses “reverse aging”, penuaan yang terbalik. Aneh, tetapi juga “curious”!

Sementara itu, Benjamin mengalami sebuah perjalanan hidup yang sangat menarik. Ia, dalam versi film, memulai karirnya sebagai seorang pekerja di kapal-derek (fungsinya menderek kapal-kapal yang mogok di tengah laut). Pemandangan sosok Benjamin yang tampak tua renta dan bekerja di kapal tentu menimbulkan daya tarik sendiri, sekaligus juga pemandangan yang aneh. Biasanya, pekerjaan di kapal-derek mengandaikan fisik yang kuat dan usia yang relatif muda. Tetapi kasus Benjamin berbeda: ia, secara fisik, sudah tampak sangat tua, tetapi ia justru bekerja di kapal.

Pada saat Benjamin berumur belasan tahun ia berkenalan dengan Daisy, seorang anak perempuan yang masih berumur sepuluh tahun. Nenek Daisy tinggal di rumah jompo di mana Queenie, “ibu” Benjamin, bekerja. Daisy dan Benjamin kemudian terlibat dalam persahabatan yang akrab, meskipun tampak sebagai sebuah pemandangan yang lagi-lagi janggal: Benjamin yang meski masih berumur belasan tahun sudah tampak tua renta, dan Daisy yang masih kanak-kanak.

Hubungan Benjamin dan Daisy bertahan terus hingga, pada suatu titik, akhirnya mereka menikah. Dari pasangan ini kemudian lahir seorang puteri bernama Caroline (diperankan oleh Julia Ormond). Hubungan kedua manusia ini tentu saja sangat janggal. Sementara kian lama Benjamin kian bertambah muda dan berwajah tampan, Daisy justru menjalani proses sebaliknya: ia makin tua, makin keriput, dan makin tampak “minder” di depan suaminya yang, secara fisik, kian belia, ganteng, dan menarik.

Menyadari bahwa dirinya mengalami proses penuaan yang mundur, Benjamin akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Daisy. Benjamin sadar, pada suatu saat, dirinya akan pelan-pelan, secara fisik, menjadi kanak-kanak. Dan itu artinya, Daisy, isterinya, harus merawat dua tanggungan: Caroline, anak mereka, dan dirinya sendiri. Setelah mereka berpisah, Daisy kemudian menikah dengan laki-laki lain. Sementara itu, Benjamin, dengan menggunakan harta warisan peninggalan ayahnya yang kaya raya, melakukan petualangan ke dunia timur, ke India.

Ini tentu saja kisah tentang romans/percintaan, petualangan, dalam cara yang mirip dengan roman-roman Balai Pustaka dulu. Kisah ini ditulis oleh Scott Fitzgerald pada 1922, persis ketika Balai Pustaka menerbitkan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Keduanya adalah roman atau kisah percintaan. Tetapi kisah Benjamin Button jelas bukan roman a la Balai Pustaka yang biasanya bercerita tentang cinta yang tak sampai dan berakhir dengan tragis — tokoh utama meninggal dalam keadaan menanggung derita cinta.

Kisah Benjamin justru memiliki tendensi yang berbeda. Di sana, kisah cinta berakhir tidak dengan tragis, tetapi menggembirakan. Benjamin dan Daisy terlibat dalam hubungan romans, percintaan. Mereka akhirnya menikah dan memiliki seorang puteri, meskipun akhirnya mereka berpisah. Benjamin meninggal dalam keadaan yang mengharukan tetapi sekaligus menggembirakan: ia mati sebagai seorang sepuh yang secara fisik tampak sebagai bayi, di pangkuan kekasihnya, Daisy. What a wonderful death!

Kisah karya Fitzgerald ini bisa kita baca sebagai semacam “pembelaan” terhadap orang-orang kulit hitam dan kritik terhadap bangsa kulit putih, bangsa dari mana Fitzgerald sendiri berasal. Tindakan Thomas Button, seorang pengusaha kulit putih yang membuang anaknya sendiri, dan kemudian dipungut serta dirawat oleh Queenie, seorang wanita berkulit hitam, jelas menampakkan motif pembelaan ini. Setting kisah ini pun (dalam versi film) berlangsung di kawasan New Orleans, tempat di mana orang-orang kulit hitam tinggal di Amerika (dalam versi asli, setting-nya berlangsung di Baltimore).

Tetapi yang lebih menarik dari kisah ini ialah plotnya yang membuat kita berpikir kembali tentang proses menua. Pada saat seorang manusia lahir sebagai seorang bayi yang secara fisik lemah, apakah bedanya ia dengan seorang tua-renta yang pikun? Ada sejumlah kesamaan antara seorang bayi dan orang tua yang telah pikun: mereka lemah baik secara fisik maupun mental. Mereka membutuhkan seorang “pengasuh” yang mendampingi setiap saat.

Penampilan fisik jelas bisa menipu: seorang bayi yang tampaknya menjanjikan pertumbuhan menjadi manusia dewsa yang kokoh secara fisik, ternyata sama dengan seorang tua yang pikun; sementara seorang tua renta yang akan segera mati tetapi nyatanya justeru mirip seorang bayi. Usia menjadi begitu relatif!

Ya, penampakan fisik memang bisa sangat menipu. Orang bisa tampak sepuh secara fisik, tetapi memiliki jiwa muda, atau bahkan kanak-kanak, seperti Benjamin Button yang berusia belasan tahun, tampak sepuh, tetapi merasa nyaman bermain dengan seorang anak ingusan bernama Daisy. Penampilan fisik yang tampak belia dan muda juga bisa menimbulkan teror dan ketakutan terhadap orang-orang yang mulai menua, seperti dialami oleh Daisy yang berhadapan dengan suaminya, Benjamin, yang kian hari kian bertambah muda dan tampan, sementara dirinya makin keriput dan jelek.

Kisah ini ditulis oleh Fitzgerald pada tahun 1922, pada saat kapitalisme sedang tumbuh dan memulai geliatnya di Amerika; pada saat ia memiliki vitalitas yang luar biasa sebelum akhirnya terhempas oleh Great Depression atau krisis besar pada tahun 30an.

Saya membayangkan, era itu menyakiskan sebuah optimisme besar atas ikhtiar manusia memperbaiki kualitas hidupnya, entah melalui perkembangan teknologi yang pesat, atau pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan tanpa batas. Tetapi pada saat yang sama juga ada kecemasan tentang manusia yang pada akhirnya menua dan kalah oleh umur. Manusia bisa merawat fisiknya dan terus tampak muda, tetapi pada akhirnya ia toh tumbang juga ke tanah.

Tetapi, sekali lagi, kisah Benjamin ini bukan kisah kematian yang sedih. Kematian Benjamin adalah kematian yang menyenangkan, meskipun ada kesedihan dan kebingungan di dalamnya. Benjamin meninggal dengan damai di pangkuan kekasinya, Daisy. Tetapi ia juga meninggal dalam keadaan yang secara mental kacau-balau. Beberapa tahun menjelang meninggal, Benjamin digambarkan sebagai seorang tua renta yang secara fisik tampak seperti seorang remaja yang pikun. Ia tak ingat siapa dirinya, walau ia kelihatan sangat belia – sebuah pemandangan yang aneh tentunya.

Saya kira, ada tendensi romantik dalam kisah Scott Fitzgerald ini – perasaan tak nyaman dengan kemajuan sains dan teknologi modern yang menjauhkan manusia dari alam, yang membuatnya bingung dan kacau-balau secara mental. Scott Fitzgerald lahir dan besar dalam era yang disebut dengan “Lost Generation”, yakni generasi di Barat yang mengalami kekecewaan besar karena trauma Perang Dunia I. Inilah generasi yang semula lahir dengan harapan besar atas teknologi sebagai “mesiah modern”, tetapi juga sekaligus dikecewakan olehnya.

Roman-roman Balai Pustakan juga mengandung motif serupa – kekecewaan. Bedanya, di sana obyek kekecewaan bukanah teknologi, sebab barang ini belum berkembang di Indonesia pada awal abad ke-20. Kekecewaan dalam roman-roman Balai Pustakan diarahkan lebih kepada adat yang konservatif, mengekang, membelenggu.

Sementara itu, ada motif lain dalam roman-roman Balai Pustka — perlawanan dan optimisme, sebagaimana dalam kisah Benjamin. Dalam roman-roman Balai Pustaka kita selalu berjumpa dengan sosok-sosok seperti Samsul Bahri (dalam Sitti Nurbaya) yang dengan optimisme besar merasa bisa mengalahkan adat yang membelenggu. Tetapi akhirnya tokoh-tokoh  heroik ini kalah dan mati. Sebab adat terlalu kuat. Dalam kisah Benjamin, kematian bukanlah kekalahan yang tragis, tetapi sebuah kritik atas optimisme masyarakat kapitalis yang sedang tumbuh dan merawat harapan akan kemudaan (novelty) yang tanpa batas.

The Curious Case of Benjamin Button pada akhirnya bukan saja kisah aneh tentang Benjamin Button, tetapi juga kisah aneh tentang masyarakat kapitalis modern. Inilah masyarakat yang, dalam konteks Amerika dan Barat pada umumnya, lahir dan tumbuh atas sebuah asumsi mengenai “bangsa kulit putih” yang unggul dan merasa memikul tugas “mission civilisatrice” (memeradabkan bangsa-bangsa lain yang bukan putih), tetapi akhirnya justru terjebak dalam irrasionalitasnya sendiri yang gelap (digambarkan melalui pembuangan bayi Benjamin).

Ini, tentu saja, hanya salah satu cara saja untuk membaca dan menafsir kisah Bejamin Button,  baik dalam versi asli maupun film. Kisah ini bisa dibaca dengan cara berbeda. Seperti sebuah Kitab Suci, kisah-kisah “sekular” juga membuka diri pada tafsir yang beragam. Sebab, dalam pandangan saya, novel-novel modern pada akhirnya bisa dipandang sebagai semacam sekularisasi atas Kitab Suci.[]

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.