Karakteristik Ulama Nusantara dan Konteks Sosial Budaya. Diakui atau tidak, sejak Islam berkembang di Nusantara, terutama sejak abad ke-15 hingga ke-21, para ulama Nusantara melalui karya-karya dan pengaruhnya dalam kehidupan sosial politik, dapat dibuat kategorisasi karakteristiknya.
Kategorisasi itu sekurangnya terbagi dalam tiga karakter ulama, yaitu kerakyatan/perjuangan, ulama kerajaan/birokrat, dan ulama yang hanya menulis dan sebagai pemikir, cenderung independen. Walaupun, sebenarnya untuk menempatkan satu ulama pada karakteristik tertentu juga tidak serta merta dapat dibenarkan, karena seringkali ulama Nusantara itu ulama yang moderat, dan hal itu tidak mudah untuk disebut hanya satu kategori karakteristik.
Ulama pejuang atau yang berpikir untuk kerakyatan (umat) ini pernah terjadi dalam sejarah kelahiran kerajaan Islam di Cirebon pada abad ke-14/15. Saat itu, setidaknya diawali dari beberapa ulama yang sangat terkenal, seperti Syaikh Nurjati dan Syaikh Quro. Pada masa kerajaan Sunda, salah satu isteri Prabu Siliwangi pernah belajar kepada Syaikh Quro di Karawang.
Di beberapa daerah lain juga dikenal karakter ulama demikian, seperti Kiai Mutamakkin, dan Kiai Ahmad Rifai Kali Salak. Beberapa karya ulama rakyat ini, pada masa kolonial, isinya melawan kebijakan-kebijakan kolonial, seperti Nazham Tarekat Kiai Ahmad Rifa’i.
Kiai Rifa’i ini dapat juga disebut ulama penulis/pemikir, karena karyanya dalam aksara pegon dan bahasa Jawa dengan model nazham (puisi) merupakan satu kelebihan tersendiri. Ulama kategori pejuang atau kerakyatan ini memang akan terasa independensinya dibandingkan dengan ulama jenis karakter yang dekat dengan keraton atau pemerintahan.
Ulama keraton/birokrat dapat dijumpai pada beberapa ulama yang berdekatan dengan keraton atau saat ini ulama birokrat atau politisi. Di Cirebon, misalnya, dapat disebut beberapa ulama, antara lain Kiai Muqayyim sebagai penghulu di keraton Kasepuhan, dan Kiai Anwarudin Kriyani, penghulu keraton Kanoman.
Adapun di daerah lain, dapat disebut seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf As-Sinkili dan Nuruddin ar-Raniri pernah menjadi mufti kerajaan Aceh, dan Abdullah bin Abdul Qahhar yang dikenal sebagai penasehat kesultanan Banten. Di antara karya-karya yang mendapat dukungan kerajaan adalah perdebatan tentang gagasan wujudiyah dari Hamzah Fansuri dan Syamsuddin lalu dibantah ar-Raniri.
Adapun karya Abdullah bin Abdul Qahhar antara lain Fath al-Muluk Liyasila ila Malik al-Muluk ‘ala Qa’idat Ahl as-Suluk. Abdullah bin Abdul Qahhar juga dikenal sebagai mursyid tarekat Syatariyah yang berkembang di keraton Cirebon.
Tarekat Syatariyah Abdullah bin Abdul Qahhar di Cirebon memiliki keunikan tersendiri, antara lain, Syatariyah Muhammadiyah, Syatariyah Rifaiyah dan Syatariyah Qadiriyah. Ulama keraton ini nampaknya jauh lebih berkembang dibandingkan dengan kategori ulama-ulama lainnya, terutama ulama yang independen atau lebih dikenal sebagai ulama penulis atau pemikir.
Adapun ulama dengan kategori penulis/pemikir, atau dalam istilah lainnya adalah ulama independen, merupakan para ulama yang mempunyai prinsip untuk tetap tegaknya ajaran Islam, keadilan, dan kemaslahatan manusia, baik ikut aktif berorganisasi, maupun tidak berorganisasi.
Ciri-ciri independensi ulama itu, antara lain tidak bergantung pada pemerintah, tetapi, juga tidak menutup kerja sama dengan pemerintah, atau lembaga apapun, asalkan tetap menjaga prinsip dan konsistensinya sebagai pewaris para Nabi Allah Swt.
Di antara ulama kategori demikian antara lain Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Muhammad Mahfudh at-Turmusi, Syaikh Muhammad Yasin al-Fadani, Kiai Saleh Darat, Kiai Hasyim Asy’ari, dst. Ulama independen ini, seperti disebut di muka, dapat pula masuk pada ulama pejuang/merakyat.
Karakteristik Teks Ulama Nusantara dan Pengaruh Budaya Lokal. Sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, teks hadir tidak dapat dilepaskan dari pengarang dan konteksnya. Teks ulama Nusantara hadir di setiap daerah sebagian besar disesuaikan dengan konteksnya, terutama teks dalam naskah-naskah kuno.[4] Secara singkat karakteristik teks ulama Nusantara dapat dilihat pada tiga bagian; aksara dan bahasa, jenis teks, dan kandungan isi teks.
Bagian pertama aksara dan bahasa. Selain aksara dan bahasa Arab, dalam karya-karya ulama Nusantara, terdapat pula aksara Jawa, Pegon, Jawi, Latin, dan Lontaraq. Dari aneka aksara tersebut, ternyata beraneka pula bahasanya, mulai dari bahasa Arab, Jawa, Sunda, Melayu, Inggris/Belanda, dan bahasa Bugis. Namun, dari semua bahasa tersebut, bahasa Arab tetap menjadi bahasa utama ulama Nusantara.
Karya-karya dalam bahasa Arab itu pula yang diakui oleh umat Islam di dunia. Dengan mempertimbangkan konteks budaya lokal, ulama Nusantara sebagian menggunakan bahasa daerah supaya dimengerti umat di daerah tersebut. Bahkan, bukan hanya dengan aksara dan bahasa lokal semata, tetapi juga jenis (genre) teks tersebut disesuaikan dengan kebutuhan umat.
Karakteristik kedua, genre teks ulama Nusantara beraneka ragam pula, mulai dari pantun, syair, puisi, tembang, nazham, serat, babad, hikayat, wawacan, dan primbon. Penamaan semacam itu ternyata sesuai dengan tradisi dan budaya masyarakat setempat. Jika dalam bahasa Melayu menggunakan istilah “hikayat”, maka berbeda lagi dalam bahasa Jawa, dengan istilah “serat” yang digunakan, dan bahasa Sunda dengan istilah “wawacan”.
Begitu juga ketika istilah puisi digunakan, disesuaikan dengan bahasa Arab, yaitu nazham, syair (syiir) sebuah istilah yang lazim digunakan di pesantren. Perbedaan-perbedaan istilah tersebut, senyatanya tidaklah mengubah pesan dari pengarang, sekalipun dengan istilah-istilah itu dapat pula menunjukkan identitas dari konteks kebudayaan tertentu. Braginsky (1998: 435-437) menyebut beberapa istilah untuk naskah-naskah tasawuf, seperti sastra kitab, sastra tasawuf, tasawuf kitab, dan tasawuf puitik.
Karakteristik ketiga, teks ulama Nusantara berisi tentang berbagai hal dalam kehidupan, baik dalam beragama Islam, maupun kehidupan sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Sesuai dengan genre di atas, pengarang boleh saja menyampaikannya dalam bahasa lokal, tetapi unsur-unsur keislaman atau pandangan keislamannya tidak dapat dihindari, seperti Hikayat Nur Muhammad. Dari nama teksnya dapat diketahui, berbahasa Melayu, dalam bentuk prosa dan penjelasan tentang asal usul Muhammad dengan perspektif tasawuf.
Pemberian unsur atau nilai lokal serupa diberikan dalam naskah Mushaf kuno Al-Qur’an melalui ilustrasi pada beberapa tempat dalam lembaran mushafnya. Karakteristik teks dari para illustrator mushaf kuno Al-Quran Nusantara sangat kentara perbedaannya dengan mushaf kuno Al-Qur’an di dunia Islam lainnya, termasuk jika ada ilustrasi yang terpengaruh oleh budaya Persi ataupun lainnya.
Ketiga karakteristik di atas, nampaknya tidak akan terlihat dengan jelas kekhasannya, bila dilihat pada beberapa karya ulama Nusantara dalam bahasa Arab dan sudah berkembang di dunia Islam, kecuali beberapa istilah yang digunakan memang khas Nusantara, seperti kitab tentang belut. Kitab ini sebagai respon dari ulama Timur Tengah yang menganggapnya sebagai binatang ular dan haram hukumnya jika dimakan.[5]
Anggapan bahwa teks-teks ulama Nusantara dianggap “teks lokal” dengan karakteristik semacam itu, semestinya terlewati dengan sendirinya ketika kita dapat mengaitkannya dengan teks-teks ulama Arab lainnya sebagai pembeda dan penciri Nusantara. Terlebih dengan adanya 26 ulama Nusantara yang berpengaruh di Hijaz.
Dalam kajian Islam kontemporer, teks ulama Nusantara yang terkesan klasik dan lokal itu, ternyata juga masih dikaji secara rutin hingga saat ini di beberapa pesantren.
Salah satu kitab yang sangat popular dikaji dalam pendidikan pondok pesantren di Indonesia adalah kitab karya Syaikh Nawawi Banten, Syarh Uqud al-Lujjain fi Bayan Huquq az-Zawjain setelah dilakukan kajian ta’liq dan takhrij atau “filologi Arab” oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) Ciganjur Jakarta Selatan, ternyata direspon berbeda oleh para ulama lainnya, antara lain Forum Kajian Islam Tradisional (FKIT) Pasuruan dan Lajnah Bahtsul Masa’il (LBM) PP Lirboyo, Jombang Jawa Timur.
Kenyataan semacam ini, dapat dikatakan telah terjadi pemahaman ulang atas teks ulama Nusantara. Untuk melihat analisis singkatnya, sebagaimana ulasan berikut ini.