Teks Ulama Nusantara Pasca Reformasi Indonesia. Pasca Orde Baru, era reformasi Indonesia, tahun 1998 sampai dengan sekarang, nampaknya masih memberi kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti amanat UU. Salah satu buktinya adalah para ulama di Indonesia melalui FK3 di atas telah berani melakukan “koreksi” atas kitab fenomenal di kalangan pesantren, terutama saat pengajian di bulan Ramadan, yaitu kitab Uqud al-Lujjayyn.
Koreksi itu selesai pada tahun 2001, Wajah Baru Relasi Suami-Isteri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Karena itu, oleh FKIT apa yang sudah dilakukan FK3 “pasti” dibantahnya, dengan judul Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3 dalam buku Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah kitab ‘Uqud al-Lujjan (2004).
Hal serupa dilakukan pula oleh LBM PP Lirboyo Jawa Timur, Potret Ideal Hubungan Suami Isteri: Uqud al-Lujjayn dalam Disharmoni Modernitas dan Teks-teks Religius (2006).
Dengan demikian, satu kitab hasil kerjaan “filologi Arab” terhadap kitab Uqud al-Lujjayn telah dibantah atau dikritisi ulang oleh 2 (dua) lembaga. Sementara itu FK3 dengan tanpa menafikan kritikan tersebut, sudah melanjutkan kajian Uqud al-Lujjayn-nya dengan analisis kritisnya berjudul Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis ‘Uqud al-Lujjayn (2005).
Tradisi saling membantah atau mendebat semacam itu, sesungguhnya masih dalam batas normal akademik, seperti terjadi perdebatan kritis Imam al-Ghazali dengan Ibn Rusyd terkait dengan kefilsafatan dalam Islam. Sekalipun, masih terlalu jauh jika dikiaskan pada perdebatan soal Uqud al-Lujjayn ini.
Beberapa alasan perdebatan masih dianggap normal itu antara lain: Pertama, kedua/ketiga belah pihak masih tetap menghargai satu karya master piece Syaikh Nawawi al-Bantani. Kerja-kerja akademik terhadap hasil karya ulama Nusantara sudah seharusnya dibangun nuansa dialektis.
Kedua, kajian atas karya Syaikh Nawawi di atas masih belum satu perspektif, terutama terkait dengan wacana “kemanusiaan, keadilan, dan relasi lelaki-perempuan”, sebab bisa jadi, pada saat karya Syaikh Nawawi ditulis, hal-hal itu belum menjadi diskursus ilmu pengetahuan. Tetapi, kelompok lain menganggapnya hal-hal itu sudah terlampaui.
Ketiga, sekalipun berbeda pandangan tentang konteks karya Syaikh Nawawi, para pengkaji tetap mengedepankan nilai-nilai keilmuan dalam Islam yang ingin menunjukkan keadaban suatu karya ulama.
Keempat, perbedaan-perbedaan yang dimunculkan dari ketiga “kritikus” kitab Uqud al-Lujjayn masih cenderung emosional ketika melakukan kerja-kerja filologis plus tersebut. Sekalipun, hal itu sebenarnya berkait kelindan dengan nuansa atau mazhab pemikiran masing-masing pihak.
Berangkat dari pengalaman di atas, oleh karenanya, perlu dipikirkan ada lembaga yang dapat mempersatukan para masyayikh, pecinta teks ulama Nusantara, sehingga tidak saling bantah di depan publik secara tertulis, dan bersedia duduk bersama untuk bermusyawarah pada saat terjadi ikhtilaf.
Belum lama ini, ada satu lembaga yang bernama Turats Ulama Nusantara (TUN). Penggagasnya masih muda-muda. Di antara mereka sudah memiliki karya, seperti Amirul Ulum, The Life & Works of Musnid al-Dunya Syaykh Muhammad Yasin al-Fadani (1916-1990), Muhammad Afifudin Dimyati, Majma’ al-Bahrain fi Ahadis at-Tafsir min as-Sahihain, dst.
Saat ini, aktivitas bersama di TUN masih sebatas WA dan SMS, tetapi diskusinya luar biasa. Salah satu contohnya rencana penerbitan berseri karya-karya ulama Nusantara kerja sama dengan penerbit Beirut.
Dengan adanya TUN, dinamika kajian teks ulama Nusantara yang cenderung bersifat “ideologis” di atas, nampaknya bisa ditutupi TUN dengan harapan baru ke depan, bahwa anak-anak muda dari pesantren dan pecinta naskah kuno atau karya ulama Nusantara tetap giat melakukan berbagai kajian Islam (kontemporer).
Dengan demikian, TUN dapat menjadi “bayangan” lembaga Khazanah Fataniah di Kuala Lumpur Malaysia yang secara rutin melakukan kajian dan penerbitan karya-karya ulama Jawi. Tokoh yang gandrung melakukan itu adalah almarhum Mohd. Wan Shagir Abdullah.
Sekalipun, terlepas dari TUN, sebenarnya sudah ada para peneliti yang secara personal juga melakukan kajian serius tentang teks ulama Nusantara, baik yang tergabung dalam Manassa, perguruan tinggi, ataupun lainnya.
Penutup. Dari paparan singkat di atas, tampak jelas bahwa kajian atas teks ulama Nusantara sesungguhnya masih sangat terbuka luas. Keluasan kajian itu sepanjang asal usul naskah kuno di Nusantara. Karya ulama Nusantara tidak hanya dalam bahasa dan aksara lokal semata, tetapi juga dengan aksara dan bahasa Arab, baik yang masih dalam bentuk naskah kuno, ataupun terbitan cetak di Indonesia dan luar negeri.
Peluang kajian ulama Nusantara ini lebih didukung lagi dengan wacana Islam Nusantara yang sudah ditabuh beduknya oleh PBNU, baik melalui Muktamar NU ke-33 maupun pertemuan ulama/intelektual Islam tingkat internasional.
Karakteristik ulama Nusantara identik dengan karakteristik teks ulama Nusantara yang cenderung moderat dan dapat bekerja sama dengan siapa saja dan di mana saja. Keragaman genre adalah contoh teks ulama Nusantara yang moderat. Sekalipun, belakangan ada beberapa kelompok pecinta turats Nusantara yang berbeda ideologinya.
Akhirnya, karakteristik teks ulama Nusantara ini diharapkan bisa mewarnai teks-teks ulama di Indonesia dan dunia saat ini, yang moderat, toleran, dan demi kemaslahatan bersama. []
Wallahu a’lam bish Shawab
Catatan:
[1] Tulisan ini sebagai bahan diskusi pada “Tadarus Ramadlan”, MENGKAJI TEKS-TEKS ULAMA NUSANTARA oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu Jakarta, 17 Juni 2016.
[2] Tokoh-tokoh yang dikaji Rinkes adalah Syaikh Abdul Muhyi, Syaikh Siti Jenar, Sunan Geseng, Ki Pandan Arang at-Tembayat, dan Pangeran Panggung. Sunan Gunung Jati dan Sunan Kali Jaga menjadi bagian penjelasan singkat pada bagian terakhir tentang makam dan system kewalian yang semakin pudar.
[3] A. Ginanjar menjelaskan bahwa dalam juz I, disebutkan 26 tokoh ulama Nusantara yang berpengaruh di Timur Tengah: 1. Ibrahim ibn Dawud al-Fatani al-Makki (1320-1413 H), dari Patani, Thailand; 2. Ahmad Marzuki ibn Ahmad Mirshad al-Batawi (1293-1353 H), dari Batavia (Jakarta); 3. Baqir ibn Nur al-Jukjawi al-Makki (1306-1367 H), dari Jogja; 4. Bidlawi ibn Abdul Aziz al-Lasami (?-1390 H), dari Lasem, Jawa Tengah; 5. Jami’ ibn Abdur Rasyid ar-Rifa’i al-Buqisi (1255-1361 H), dari Bugis; 6. Jamaluddin ibn Abdul Khaliq al-Fatani (1278-1355 H), dari Patani, Thailand; 7. Sulaiman ibn Muhammad Husain al-Falambani (1295-1376 H), dari Palembang; 8. Salih ibn Muhammad ibn Abdillah al-Kalantani al-Makki (1315-1379 H), dari Kelantan, Malaysia; 9. Salih ibn Mujian al-Batawi al-Tanqarani (1297-1353 H), dari Betawi-Tangerang; 10. Abdur Rasyid ibn Aslam al-Buqisi (?-1356 H), dari Bugis; 11. Abdul Karim ibn Ahmad al-Khatib al-Minankabawi al-Makki (1301-1357 H), dari Minang; 12. Abdullah ibn Azhuri al-Falambani al-Makki (1279-1357 H), dari Palembang; 13. Abdullah ibn Hasan Bella al-Andunisi al-Makki (1296-1357); 14. Abdul Muhit ibn Ya’qub ibn Panji as-Surabawi (1311-1388 H), dari Surabaya, Jawa Timur; 15. Abdul Muhaimin al-Lasami (1313-1365 H), dari Lasem, Jawa Tengah. Dalam juz II: 16. Alawi ibn Tahir al-Haddad Mufti Johor (1301-1382 H); 17. Ali ibn Abdul Hamid Qudus as-Samarani (1310-1363 H), dari Semarang, Jawa Tengah; 18. Muhsin ibn Muhammad ibn Hasan as-Surabawi (1316-1366 H), dari Surabaya, Jawa Timur; 19. Muhsin ibn Muhammad ibn Abdillah as-Sairani al-Bantani (1277-1359 H), dari Serang, Banten; 20. Muhammad Ahid ibn Idris al-Buquri al-Makki (1302-1372 H), dari Bogor, Jawa Barat; 21. Muhammad Mukhtar ibn Atarid al-Buquri al-Jawi (1287-1349 H), dari Bogor, Jawa Barat; 22. Muhammad Mansur ibn Abdul Hamid al-Falaki al-Batawi (1290-1387 H), dari Batavia (Jakarta); 23. Ma’sum ibn Ahmad ibn Abdul Karim al-Lasami al-Jawi (1290-1392 H), dari Lasem, Jawa Tengah; 24. Mansur ibn Mujahid Basyaiban as-Surabawi (1302-1360 H), dari Surabaya, Jawa Timur. 25. Hasyim Asy’ari al-Jaumbanji al-Jawi (1282-1366 H), dari Jombang, Jawa Timur; 26. Wahyuddin ibn Abdul Ghani al-Falambani (1288-1360 H), dari Palembang. Lihat www.nu.or.id (29 April 2016)
[4]Teks (nas) dan naskah (makhtutat) mempunyai arti sendiri dalam filologi. Secara singkat, teks adalah apa yang terdapat di dalam suatu naskah. Naskah merupakan bahan tulisan tangan terkandung di dalamnya ungkapan pikiran dan perasaan hasil budaya masa lampau, dan mengandung unsur sejarah. Dalam bahasa bahasa belanda, naskah dikenal dengan handscrift (hs) dan dalam bahasa Inggris disebut manuscript (ms). Dengan kalimat yang berbeda, teks adalah isi naskah atau kandungan naskah, sedangkan naskah itu wujud fisiknya. Dalam satu naskah bisa saja lebih dari satu teks.
[5] Seperti dituturkan A. Ginanjar Sya’ban dalam Public Lecture di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 29 Maret 2016, penulis kitab itu Syaikh Mukhtar ibn Atharid al-Bugur, Ash-Shawa’iq al-Muhriqah li al-Awham al-Kazibah.