IslamLib – Semasa duduk di bangku SMP, saya terkesan dengan penggal kalimat “cinta abadi” yang muncrat dari mulut para pecinta cengengesan, penyair plastik, dan pujangga picisan. Picisan? Ya, begitulah saya tak kurang mengesankan mereka yang menggunakan istilah itu.
Oleh pelajaran fisika, saya paham, tak ada yang abadi kecuali enerji. Hukum kekekalan massa keluaran kertas kerja Lomonov dan Lavoisier membenturkan saya ke satu-satunya yang tak lekang: massa dapat berubah bentuk namun tidak dapat diciptakan dan tak juga bisa dimusnahkan.
Apakah cinta adalah sejenis massa? Atau pemuisian atas enerji? Pertanyaan lain, apakah abadi sama dengan kekal?
Abadi ternyata berasal dari kata ‘abad,’ seperti dunia menjadi duniawi, ruh menjadi ruhani, surga menjadi surgawi, dan banyak lagi. Nggak percaya? Mari ikut saya ke penjelajahan berikut ini:
Di masa lalu, bahasa Indonesia bergaul akrab dengan bahasa Belanda. Pengaruh mungkin datang dari sana. Saya telusur pembentukan ‘abadi’ pada bahasa bekas penjajah Nusantara itu.
Abad padan dengan eeuw.
Abadi? Eeuwig.
Kenapa begitu?
Dugaan saya, saat itu kita tak punya kebutuhan akan kata yang menggambarkan keadaan abadi. Tapi percakapan orang Indonesia dengan tuan-tuan Belanda mengajak kita menemukan gagasan yang padan dengan eeuwig. Kalau tidak, bagaimana kita mendudukkan eeuwig setiap kali para londo mengucapkannya?
Karena kata dasar eeuw padan dengan abad, kitapun dengan tenang memberikan imbuhan ‘i’ kepada abad sebagaimana orang Belanda membubuhkan ‘ig’ kepada eeuw. Dan jadilah, eeuwig. Jadilah abadi.
Tapi apa sebetulnya yang dimaksud orang Belanda dengan eeuwig? Tentu saja berabad-abad –sedemikian lama seolah tak bakal berakhir namun berakhir juga. Begonya, kita terima ‘abadi’ sebagai keadaan yang tak bakal berakhir. Kalau begitu ia juga tak pernah berawal. Sebab jika hanya ‘tak bakal berakhir’ tapi ‘pernah berawal,’ berarti ia ‘pernah tidak ada.’ Dan kalau ‘pernah tidak ada,’ ia pasti bakal ‘tidak ada’ lagi di suatu saat sebagaimana perkara lain di jagad-raya ini.
Lalu apa kata dalam bahasa Belanda bagi sebuah perkara yang tak pernah berawal juga tak bakal berakhir? Tijdloos; terdiri dari dua kata dasar: tijd, waktu; dan loos, palsu. Maksudnya?
Tijdloos menggambarkan keadaan atas satu perkara yang seolah berada dalam dimensi waktu padahal tidak. Kalau sesuatu tak pernah berawal dan tak bakal berakhir berarti ia tak ada dalam waktu sekaligus tak ada dalam ruang –semua yang di dalam ruang berada di dalam waktu dan sebaliknya; itu sebab istilah terbaru dalam fisika adalah kontinuum ruang-waktu.
Tijdloos padan dengan kekal, dengan timeless, dengan ageless. Sayangnya KBBI mencampur-aduk abadi dengan kekal, seolah abadi padan dengan kekal. Padahal kekal, sekali lagi, ingin menggambarkan sesuatu, yang ketika alam-raya berakhir, tetap ada. –sementara abadi menggambarkan sesuatu yang seolah tak bakal berakhir namun ketika jagad-semesta musnah, iapun binasa.
Apa yang kekal? Fisika dan kimia menyebutnya enerji, juga massa. Pertanyaan: masih adakah massa ketika alam-raya musnah? Karena sumber enerji adalah tata-surya, hampir bisa kita katakan enerji tiada bersama kemusnahan jagad-raya. Dengan demikian, istilah yang tepat untuk kemenerusan enerji adalah abadi; sebaiknya kita gunakan ‘Hukum Keabadian Massa’ bagi karya Lavoisier itu.
Kalau ‘kekal’ tak berada di kontinuum ruang-waktu, adakah kondisi yang digambarkannya?
Frasa ‘hidup yang kekal’ bertebaran dalam kitab Injil. Saya telusur itu ke bahasa Gerika, bahasa asli kitab agama Kristen ini. Kekal ternyata padan dengan ‘aeon.’ Saya selidik lebih jauh ke bahasa Ibrani, ia padan dengan ‘olam.’
Semua kamus menampilkan uraian yang hampir sama. Aeon adalah kurun waktu yang panjang dan tak terkira. Beberapa mencoba lebih tajam: aeon sama dengan satu milyar tahun. Oala, ia ternyata padan dengan abadi.
Bagaimana dengan olam?
Lema itu hadir dalam ungkapan Yahudi yang sangat mashur: tikkun olam, memulihkan dunia. Tikkun: restorasi; olam: dunia, alam. Bagaimana olam padan dengan kekal? Tidak. Olam padan dengan abadi. Olam berarti segala sesuatu yang ada di jagad raya yang durasinya seolah tak pernah berakhir namun bakal lenyap bersama kemusnahan dunia. Olam adalah jagad-raya itu sendiri.
Anjrit! Selama ini kita ditipu mentah-mentah, dibegoin para rohaniman, para teologiman, para ahli kitab, para ulama, para ustadz, dan para agamawan. Kitab suci, setidaknya Alkitab, tidak pernah bicara tentang hidup yang kekal. Lagipula istilah ‘hidup kekal’ itu sendiri sangat menyesatkan. ‘Hidup’ berada di kontinuum ruang-waktu; ‘kekal’ adalah sebuah keadaan di luar itu semua. Kenapa dicampur-aduk?
Para agamawan kayaknya menyimpan dendam sampai ke ubun-ubun terhadap kejahatan dunia. Mereka melansir ganjaran yang bakal diterima orang-orang baik: surga, hidup yang kekal; dan siksaan bagi orang-orang jahat: neraka, nestapa yang kekal.
Bagaimana anda membayangkan hidup di kekekalan? Tertawa, bersukacita, makan sekenyang-kenyangnya tanpa bayar, meniduri Henry Cavill berulang-ulang tanpa kuatir dituding zinah? Lho, bukankah itu semua adalah kegiatan yang memerlukan ruang? Juga berawal dan berakhir? –paling tidak saya perlu menggerayang tangan Henry sebelum membelai dadanya, dan menerus hingga puncak untuk berakhir di keterengahan.
Katakanlah semua yang menggiurkan dan mendebarkan itu bakal terjadi. Tapi mereka berselenggara di ruang dan waktu. Meskipun berlangsung dalam kurun waktu panjang, itu semua bakal berujung.
Lalu, setelah itu apa?
Kalau surga adalah ‘tempat’ Allah mukim dan karenanya kekal, di alam mana Anda mencium Angelina Jolie bermilenium lamanya tanpa cemas didogo Brad Pitt? Pasti bukan surga. Lalu di mana? Tanyakan itu kepada para agamawan, mereka pasti gagu dan blo’on.
Kitab suci, setidaknya Alkitab, rupanya berkisah tentang hidup damai dan bersejahtera yang menerus ketika Kerajaan Allah bertahta. Menerus dalam arti berlangsung terus selama jagad-raya eksis, dan musnah ketika alam-raya menciut hngga senoktah debu lalu akhirnya meledak.
Dengan demikian, hidup abadi –bukan kekal—itu di sini, di planet ini, di bumi, dan, mungkin, di planet lain, ketika manusia membangun koloni baru.
Tapi, kata Alkitab lagi, hanya satu yang ada setelah segala tiada:
“…segala sesuatu bakal lenyap, tapi kasih tinggal tetap.” (1 Korintus 13: 8)
Imanmu kepada Allah lenyap ketika buana tiada. Syahadatmu, kredomu, agamamu bakal binasa. Hanya kasih yang kekal.
Kalau begitu, ucapkanlah, tindakkanlah, hingga kau rebah. Bukan hanya kepada kaummu tapi meluas hingga ke musuh-musuhmu. Sebab kasih percaya kepada segala sesuatu.