Home » Aksara » Media » Asrori S. Karni: “Masyarakat Sudah Cerdas dan Perlu Pilihan”
Asrori S. Karni (kanan), bersama Yasraf Amir Piliang (kiri), didampingi moderator Saidiman Ahcmad (tengah), pada acara diskusi bertema "Ekspresi Keislaman: Komersialisasi Agama dan Budaya Pop", di Serambi Salihara (Foto: antarafoto.com)

Asrori S. Karni: “Masyarakat Sudah Cerdas dan Perlu Pilihan”

5/5 (3)

IslamLib – Media massa tak selamanya mampu mendikte corak keagamaan masyarakat. Saat tingkat kecerdasan bermedia suatu masyarakat makin tinggi, opini mereka akan makin sulit untuk digiring ke corak pemikiran dan sikap beragama tertentu. Demikian pendapat Asrori S. Karni, praktisi media, tentang bentuk-bentuk media keagamaan Indonesia dan perannya dalam menentukan corak keberagamaan masyarakat, kepada Novriantoni Kahar dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

 

Bung Asrori, sebagai wartawan yang banyak meliput isu-isu keislaman, apa pendapat Anda tentang hubungan antara media massa dengan corak keagamaan masyarakat Indonesia?

Saya ingin memulai dari fakta lapangan dalam mengkaitkan antara peranan media dengan corak keagamaan masyarakat. Di situ ada dua trend yang menarik diamati. Pertama, sikap keagamaan mainstreammasyarakat kita yang dapat diukur dari hasil-hasil penelitian, atau pernyataan-pernyataan terbuka sejumlah pemimpin simbol-simbol Islam berbasis massa besar seperti NU dan Muhammadiyah. Kedua, soal akseptabilitas media penyampai gagasan keislaman, baik berupa media massa cetak maupun tayangan-tayangan elektronik yang punya misi untuk menyampaikan gagasan keislaman.

Dari hasil pengamatan terhadap statemen pemimpin-pemimpin ormas Islam, kita dapat menyaksikan fakta bahwa semakin berjaraknya mereka kini dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islam di era 1970 dan 1980-an. Polemik tentang 11 fatwa MUI merupakan salah satu milestone terbaru dalam melihat bagaimana sikap mainstream tokoh agama kita. Dan dari situ pula kita dapat melihat bagaimana NU dan Muhammadiyah berbeda statemen dan sikap dengan kalangan anak muda yang selama ini dikenal sebagai motor gerakan pembaruan Islam. Itu satu.

Yang kedua, dari sisi akseptabilitasnya, media-media bercorak pembaruan juga sulit berkembang dibanding media-media yang menawarkan pandangan keislaman non-pergulatan. Bentuk media yang kedua ini tidak selalu bercorak fundamentalis atau konservatif, tetapi memang mereka memilih bidikan lain dalam menyajikan agama.

Misalnya, di situ dibahas bagaimana agama memberi kontribusi pada penyelesaian problem riil di masyarakat, seperti membantu penyelesaian kesulitan ekonomi, mengatasi problem pengangguran, membantu mencarikan jodoh, melunasi utang, dan lain sebagainya. Nah, kedua tren ini tampaknya tetap berjalan berdampingan.

Dari situ saya melihat, ada proses interaksi juga antara visi dan misi media Islam dengan selera pasar. Jadi, media tidak sepenuhnya mampu mendikte selera pasar, dan sebaliknya, pasar juga tidak sepenuhnya mampu mengendalikan opini media. Jadi ada proses interaktif. Realitas seperti itulah yang terjadi saat ini, sehingga gagasan-gagasan keislaman yang sifatnya berbeda dengan kalangan mainstrem atau mendobrak kemapanan, cenderung lebih susah diterima.

Faktor apa yang membuat media-media Islam moderat yang pro-pembaruan pemikiran keagamaan seakan-akan susah mendapat tempat?

Saya melihat, itu karena media-media Islam moderat mulai mengusung atau merintis tema-tema yang berbeda sama sekali dengan kalangan mainstream.Jadi, tema-temanya bersifat rintisan. Polemik tentang perkawinan antaragama, kewarisan bidang agama, regulasi berpakaian di ruang publik, saya pandang sebagai agenda rintisan, dan karena itu tingkat resistensinya lebih kuat. Memang betul, pada periode akhir 1980-an atau awal 1990-an, gagasan-gagasan Islam moderat sudah relatif mendapatkan tempat.

Gagasan-gagasan seperti tidak relevannya lagi partai Islam dan negara teokratis, dan sudah tidak zamannya Islam menjadi dasar negara dan asas partai, sudah dibicarakan waktu itu. Semua gagasan-gagasan besar itu relatif lebih mudah diterima publik.

Buku-buku seperti Membumikan Alqur’an karangan Prof. Quraish Shihab, yang relatif menawarkan gagasan pencerahan, pada periode-periode itu sudah diterima secara luas di masyarakat dan dicetak ulang berkali-kali. Bahkan bukunya almarhum Cak Nur, Islam, Doktrin, dan Peradaban, yang begitu tebal dan serius, juga sudah mendapat penerimaan yang luas.

Nah, saat itu media sudah tampil dengan gagasan-gagasan keislaman yang mengusung isu-isu pembaruan, dan relatif sudah dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Saya membayangkan, posisinya akan berbeda ketika isu-isu itu ditampilkan media pada awal tahun 1970-an, saat Cak Nur baru menggulirkan isu Islam, Yes! Partai Islam, No Rintisan proyek pembaharuan pemikiran tentang hubungan antara agama dan negara pada tahun 1980-an, menjadihal yang biasa. Padahal di awal 1970-an, gagasan-gagasan tersebut mengalami penolakan yang sangat keras.

Kita tahu, ketika Cak Nur mengusung isu desakralisasi di tahun 1970-an, ia berhadapan langsung dengan keluarga besar Masyumi yang sempat mengidamkan Cak Nur menjadi Moh. Natsir muda yang akan meneruskan cita-cita politik Masyumi.

Jadi saya berkesimpulan, setiap gagasan pembaharuan yang masih berada pada tahap permulaan, tetap akan mengalami penolakan yang kuat dari kalangan mainstream. Tetapi, melalui proses dialog yang rutin dan proses pemahaman yang berkelanjutan, lama-lama ia akan dapat diserap publik.

Anda mengandaikan media punya peran besar dalam mengusung jengkal per jengkal tahap kesadaran intelektual sebuah masyarakat?

Ya, betul. Media memainkan peranan penting, lebih-lebih pada masa di saat teknologi multimedia sudah begitu canggih sekarang ini. Dulu, polemik keagamaan yang menggunakan instrumen media baru tampil lewat versi cetak atau buku. Tapi sekarang, semuanya bisa tampil lewat berbagai bentuk. Kini, Anda bisa berpolemik lewat milis, internet, radio, TV, koran, dan seterusnya. Dan itu juga memberi warna tersendiri dalam bentuk polemik antar kelompok moderat dengan kalangan konservatif.

Saya menangkap adanya nuansa polemik yang berbeda antara kini—ketika teknologi seperti email, milis, dan lain-lain sudah berkembang—dengan masa sebelumnya. Kini, konsolidasi gagasan dan aspirasi masing-masing kelompok lebih kuat dan terorganisir. Proses pematangan, pengayaan, dan konsolidasi gagasan menjadi lebih intensif, karena tingkat komunikasi juga lebih intensif. Tapi di sisi lain, itu juga membuat pola interaksi antarkelompok sekarang ini lebih reaktif.

Apakah dengan begitu proses penyebaran gagasan lewat media-media yang tidak resmi seperti kelompok pengajian, perkumpulan majlis taklim, dan lain sebagainya, masih relevan?

Itu juga catatan yang sangat menarik. Perlu diingat, pangsa pembeli media atau buku dalam masarakat kita, sebenarnya datang dari kalangan yang sudah mapan. Harga buku kita tergolong mahal, dan karena itu yang bisa membeli relatif terbatas.

Karena itu, peran media-media yang tidak resmi itu juga sangat penting. Namun itu tidak berarti para penyebar gagasan-gagasan pembaharuan yang serapan pasaranya rendah itu, perlu buru-buru pesimis. Sebab, lemahnya pangsa pasar seperti itu tidak selalu berarti masyarakat sedang tidak berminat pada gagasan Islam pro-pembaruan, karena bisa jadi mereka hanya tak mampu membeli buku saja.

Karena itu, gagasan-gagasan pembaruan, bisa juga disebarkan melalui perantara, yaitu komunikasi tokoh-tokoh lokal yang punya jemaah, seperti mereka yang biasa berceramah, berkhotbah, dan seterusnya. Saya pernah punya pengalaman wawancara dengan sejumlah Kyai di Cirebon dan Situbondo di awal 1990-an.

Di situ saya menyaksikan betapa pahamnya mereka dengan gagasan-gagasan Gus Dur. Itu juga karena mereka punya kemampuan untuk membeli buku-buku Gus Dur atau media-media yang mengangkat tema-tema pembaruan Islam seperti yang dimuat di Jurnal Prisma saat itu.

Nah, gagasan-gagasan itu kemudian, dengan cara mereka sendiri, disampaikan pada komunitas masing-masing. Gagasan tidak masalahnya negara dipimpin oleh perempuan; partai Islam bukan bagian dari Islam, dan karena itu kita tidak berdosa kalau tidak berpartai Islam, sudah mereka ketahui juga. Jadi kalangan akar rumput bisa menyerap gagasan-gagasan pembaruan, meski mereka tidak membeli buku atau media cetak lainnya, tetapi lewat perantara-perantara.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.