Kebebasan memperoleh informasi yang beragam dan tidak sepihak merupakan bagian dari kebebasan manusia untuk memilih baik-buruk, seperti yang pernah ditawarkan Tuhan sejak zaman azali. Melalui kebebasan memilih itulah –dengan segenap konsekuensinya– manusia justru menjadi makhluk lebih mulia daripada iblis maupun malaikat.
Ketika kebebasan itu dianulir atau direnggut dari tangan manusia, maka inti kemuliaan manusia akan raib, dan dengan begitu manusia telah terdegradasi ke posisi yang lebih rendah dari yang semula ditakdirkan.
Demikian sekelumit refleksi Pimpinan Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti, tentang iman dan kebebasan pers. Refleksi tersebut ia tuturkan kepada Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (2/9/2004). Berikut petikannya.
Mas Bambang, bagaimana agama disosialisasikan kepada Anda sejak kecil?
Saya belajar agama pertama kali dari orang tua, terutama ibu. Lalu mengaji bersama tetangga di Menteng Dalam, Jakarta, pada tahun 1960-an. Waktu itu kami mesti membayar dengan imbalan minyak tanah. Kebetulan ayah saya punya jatah minyak tanah. Ketika itu minyak tanah langka dan sulit didapat, sementara guru mengaji butuh minyak tanah.
Belajar agama waktu itu betul-betul bersifat top down. Ketika itu, kita diminta percaya saja. Pada awalnya, saya memang menerima saja apa yang dikatakan guru mengaji. Disuruh mengaji selama bulan puasa satu juz semalam saya jalankan saja.
Apakah Anda punya pengalaman keagamaan yang unik ketika itu?
Ya. Saya tidak tahu itu bisa disebut unik atau tidak. Waktu itu saya merasa kenikmatan beragama yang agak menyandu. Kalau lagi sendirian mengaji, rasanya tidak ada yang lain kecuali saya dengan Tuhan. Perasaan itu memberi rasa kegirangan luar biasa. Besoknya, mungkin ingin mengulang pengalaman itu lagi, meski tidak tidur semalam suntuk.
Di kemudian hari, saya bertemu dosen, dan dia mengatakan itu belum tentu bagian dari sinaran Ilahi. Mungkin saja itu justru godaan jin. Saya terperangah mendengar omongan seperti itu.
Tapi Karl Marx pernah mengkritik agama dengan setengah bercanda: agama itu candu masyarakat. Saya pikir, kritiknya keras sekali, tapi ada betulnya. Kalau kita hanya belajar agama dari segi ritualnya, kita bisa saja tersesat dengan keasyikan ritual.
Mas Bambang, di mana Anda menempuh sekolah menengah?
Saya sekolah di SMP 13 Jakarta. Dari sinilah barangkali ciri pemberontakan mulai muncul. Karena orang tua saya cukup sekuler, barangkali wujud pemberontakannya menjadi antisekuler.
Tapi ketika mahasiswa, saya mulai terpengaruh buku, misalnya Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib yang dikarang Ahmad Wahib sendiri. Sebelumnya saya sudah terpengaruh buku Atheis karangan Achdiat Karta Mihardja. Buku-buku itu serasa mengena pada diri saya.
Seperti Ahmad Wahib, saya juga diajari guru mengaji dengan doktrin-doktrin agama yang di kemudian hari saya pikirkan ulang. Misalnya, apa betul orang baik seperti teman saya, karena bukan beragama Islam harus otomatis masuk neraka? Pergulatan semacam itu sudah mulai ada.
Ketika pertama membaca roman Achdiyat dan buku Ahmad Wahib, apa Anda merasa mendapat pelapangan wawasan keagamaan?
Ya. Saya merasa kita harus memberi artian pada Islam secara lebih luas. Islam kelihatan hanya dibatasi segi ritualnya. Mestinya dia lebih luas lagi dari itu.
O ya, saya juga sangat terpengaruh oleh cerpen Robohnya Surau Kami, karangan AA Navis. Cerpen itu betul-betul menganggu, karena dulu saya sok tahu. Karena sudah belajar agama, saya berpikir sayalah yang paling benar tentang agama.
Apakah Anda termasuk pembaca sastra yang cukup rajin?
Kebetulan ibu saya penggemar sastra. Rumah saya penuh dengan buku-buku sastra. Maka kalau lagi tidak ada kerjaan, saya mulai baca-baca. Makanya, cerpen AA Navis itu ikut mengguncangkan saya. Saya lalu mulai berpikir tentang agama.
Jadi ada tiga buku yang cukup berpengaruh bagi saya:Robohnya Surau Kami (kumpulan cerpen), Atheis (roman), dan yang paling mengguncangkan, Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib (kumpulan catatan harian).
Apa kesan Anda pertama kali membaca Wahib?
Awalnya jengkel. Tapi lama-lama saya berpikir bahwa kejengkelan saya itu seperti terlalu defensif. Setelah tuntas membaca Ahmad Wahib, saya tidak percaya lagi dengan Tuhan yang akan menerakakan orang-orang yang baik hanya karena sejak lahir dia telah menganut agama tertentu yang notabene berbeda dengan saya.
Keyakinan itu lama-lama mengental. Sebelumnya, saya sok tahu dan yakin betul; pokoknya kalau bukan Islam, pasti masuk neraka!
Sekitar tahun 1970-an, Anda kuliah di ITB Bandung. Apakah ketika itu sudah mulai ramai gerakan dakwah kampus?
O, ya. Dulu Haidar Baqir itu teman saya satu angkatan. Bahkan temannya Haidar, Zainal Abidin, yang mendirikan toko buku Mizan, satu kelas dengan saya di SMA. Dulu kami berkelakar kalau Zainal akan masuk surga dengan sandal-sandalnya. Sebab, orangnya memang saleh, dan baiknya tidak kebayang.
Apakah Anda juga pernah aktif di Majlis Salman?
Tidak. Saya hanya ikut salat tarawihnya. Ketika itu saya sudah banyak terpengaruh oleh pemikiran yang lebih liberal. Wawasan Salman sudah terasa terlalu sempit.
Di ITB itu kebanyakan mahasiswanya belajar engineering. Salah satu watak orang yang belajar engineering ketika menghadapi persoalan, jawabnya hanya satu, dan pasti cuma itu.
Saya merasa, orang-orang itu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Suasana itu bagi saya mengungkung. Makanya, saya tertarik ikut ritualnya saja, tidak kegiatan kampusnya.
Apa bacaan dalam bidang keislaman atau sastra pada masa-masa di kampus yang turut berpengaruh setelah Ahmad Wahib?
Dulu ibu dan ayah suka sekali bukunya al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmid Dîn. Waktu pertama membacanya, terutama setelah bergaul dengan temen-temen Mizan, saya merasa sudah top sekali.
Dalam perkembangannya, saya justru merasa sebaliknya. Bagi saya, buku Ihyâ membuat pemikiran berhenti. Saya berpikir, teman-teman seperti Haidar itu, wacana dan debatnya lebih hidup.
Saya sering tidak setuju dengan beberapa pemikiran mereka. Tapi di situ saya merasa ada proses belajar, paling tidak mencoba melihat persoalan dari sudut yang lain.
Anda juga membaca buku-buku terbitan Mizan?
Ya, saya terpengaruh juga oleh Haidar Baqir. Meski sering berbeda pendapat, saya tetap tertarik dengan buku-bukunya. Kebetulan saya dan Haidar melanjutkan studi di Harvard, Amerika Serikat. Dia sempat menjadi guru pengajian di Boston.
Yang menarik bagi saya, pengajian Haidar juga dihadiri nonmuslim. Pada awalnya, pengajian itu diperuntukkan bagi orang Islam. Tapi karena menarik, teman-teman nonmuslim bertanya, “Boleh ikutan, nggak?” Kita jawab: “Boleh aja!”
Apa pengalaman keberagamaan yang menarik bagi Anda ketika di Amerika?
Yang menarik ketika kita mencari tempat untuk salat Jum’at, karena orang Islamnya waktu itu sedikit. Kami menemukan suatu tempat. Belakangan saya tahu, tempat itu pada hari Jum’at dipakai salat Jum’at, Sabtu menjadi sinagog, dan Minggu dipakai umat Kristiani.
Rupanya tempat itu semacam ruang ibadah publik yang menerima bantuan dari pemerintah. Jadi tidak boleh dipakai oleh satu agama saja. Tempat itu milik kampus.
Dalam soal keagamaan, saya merasa lingkungan Harvard lebih sejuk. Tapi sesudah pindah ke Massasuschett Institute of Technology (MIT), di mana berhimpun para insinyur, hawa keberagamaan menjadi lebih keras, seakan-akan siap tempur.
Panas di kalangan teman-teman Indonesia di MIT?
Tidak hanya teman-teman Indonesia. Saya melihat, teman-teman engineering agak sulit menerima macam-macam variasi kebenaran. Sekarang saya paham, gerakan Islamic Brotherhood (al-Ikhwanul Muslimun) sering juga disebut gerakan the engineers.
Saya mengerti, orang yang berpikir serba insinyur akan cenderung berparadigma insinyur. Mereka cenderung berpandangan tentang (hanya) ada satu solusi ketika berhadapan dengan masalah-masalah sosial. Bagi seorang insinyur, soal mesin adalah persoalan jalan atau tidak jalan.
Mas Bambang, sebagai pekerja pers, apa ada kaitan antara penghayatan keberagamaan Anda dengan perjuangan kebebasan pers?
Saya kira sangat terkait. Keterkaitan itu tidak hanya bagi saya seorang muslim, tapi juga bagi orang-orang Kristen atau Yahudi. Saya selalu mengingat momentum ketika Nabi Adam baru diciptakan.
Kisahnya, jin diciptakan dari api, malaikat dari cahaya, dan manusia dari tanah. Tuhan lalu memerintahkan malaikat dan jin tunduk kepada Adam. Ini menunjukkan bahwa di mata Tuhan, manusia adalah makhluk paling mulia.
Malaikat langsung tunduk perintah, tapi jin yang menjadi iblis menolak. Dia bilang, “Saya dibuat dari api, sementara dia (Adam) dari tanah. Saya lebih baik, kenapa harus tunduk!?” Karena pembangkangan itu, dia dikutuk menjadi setan pengisi neraka yang abadi.
Tapi dasar setan, tetap saja dia menawar. “Boleh saja tetap menghuni neraka, tapi saya harus punya hak menggoda, sehingga manusia ikut menemani saya!” Kisah ini sama versinya baik di Kristen, Yahudi maupun Islam. Hanya namanya saja yang sedikit berbeda.
Apa yang menarik dari cerita itu?
Yang menarik, Tuhan tetap mengatakan manusia makhluk yang paling mulia. Lantas, apa beda manusia, setan dan malaikat? Saya berpendapat, malaikat seolah-olah secara genetik pasti menurut perintah Tuhan. Dia diciptakan hanya untuk berbuat baik.
Sebaliknya setan hanya bisa berbuat jahat. Dia mau baik, jadinya tetap kejahatan juga. Manusia lain. Dia punya power, diberi rahmat untuk memilih: kebaikan dengan konsekuensi masuk surga, atau kejahatan dengan reisiko neraka.
Kalau dilihat dari konstruksi itu, saya berkesimpulan bahwa yang menjadikan manusia makhluk paling mulia adalah haknya untuk memilih hidup dengan segala konsekuensinya. Kalau kita ingin membuat manusia seperti syetan, jelas akan mendegrade, atau merendahkan kualitas kemanusiaannya.
Kelompok agamawan banyak juga yang coba mengusahakan manusia menjadi malaikat dengan kekuatan negara atau kekuasaan. Saya pikir, niatnya baik, tapi kalau kembali ke intisari cerita Adam tadi, sebetulnya melawan ketentuan Tuhan.
Kalau semua manusia menjadi malaikat, tentu tidak semulia manusia. Makanya, kebebasan untuk memilih merupakan bagian dari iman yang paling penting; yang membuat kita menjadi makhluk termulia.
Bagaimana hubungan antara kebebasan memilih dengan konsep takdir yang konon sudah ditentukan?
Soal Qadariyyah dan Jabariyah pernah menjadi perdebatan saya waktu masih mahasiswa. Saya menganggap, kalau memilih kejahatan, kita pasti masuk neraka. Sebaliknya, kalau memilih kebajikan, kita pasti masuk surga. Konsekuensi itulah yang disebut takdir. Jadi tidak berarti sebagai makhluk kita tak bisa apa-apa. Setiap pilihan kita sudah ada takdirnya.
Apa kaitannya dengan kebebasan pers?
Intinya, karena kita harus menjaga manusia agar tetap mulia, maka hak untuk memilih harus tetap terjaga. Persoalannya, bagaimana bisa menggunakan hak pilih dengan baik.
Kalau mau mengambil keputusan, orang perlu sebanyak mungkin informasi supaya pilihan menjadi benar. Saya kira, informasi yang melimpah hanya bisa didapatkan dalam suasana yang bebas. Kalau tidak bebas, pilihan akan terbatas karena didikte oleh orang yang mengatur kita.
Dan akan mengalami distorsi!
Lama-lama, iya. Sebagai manusia, kita bisa didegrade menjadi malaikat atau syetan. Kalau informasi yang didapat sepihak, proses pengambilan keputusan bisa dimanipulasi sesuai kepentingan yang mengatur.
Dengan kebebasan memilih informasi, kita tahu takdirnya itu apa, sehingga bisa lebih menguak apa yang kita sebut misteri takdir.
Kalau begitu, perjuangan kebebasan pers terkait dengan pengalaman keagamaan Anda?
Ya. Dapat dikatakan, perjuangan itu untuk menjaga hak dan kebebasan memilih yang diberikan Tuhan sehingga manusia jadi mulia. Sebab pada akhirnya, yang menentukan kita di surga atau neraka adalah kita sendiri; bukan guru mengaji, orang tua, atau siapapun.
Menurut Anda, dari mana datangnya ancaman kebebasan informasi?
Asal-usulnya dari kalangan yang sudah merasa punya kebenaran absolut. Akibatnya dia takut pada informaasi yang tidak menunjang kebenaran absolut yang dia anut. Saya kira, itulah godaan syetan yang terkutuk.
Saya tertarik pada kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Kisah itu memberitahu bahwa, seorang nabi seperti Musa saja terkadang tidak punya informasi yang lengkap, sehingga bingung..
Saya kira, kelebihan Khidir dari Musa adalah karena dia lebih well-inform. Karena kurang well-inform, apa yang dilakukan Khidir dianggap Musa sesuatu yang salah.
Padahal kalau informasiya lebih lengkap, tentu tidak akan begitu. Jadi derajat akses terhadap informasi bisa membawa kita pada tingkat kebenaran yang lebih tinggi.
Anda mengatakan ancaman kebebasan informasi datang dari orang yang merasa mencapai kebenaran absolut. Pihak-pihak mana saja itu?
Itu hanya cerminan dari sifat setan. Dia merasa terbuat dari api, lalu merasa hebat dari yang lain. Ketika disuruh tunduk pada Tuhan pun dia melawan.
Saya kira, orang-orang seperti itu akan merasa guncang kalau ternyata kebenaran absolut yang mereka yakini terbukti tidak benar. Makanya informasi menjadi ancaman.
Saya membayangkan betapa sedihnya Nabi Muhammad ketika pamannya Abu Thalib tidak sempat masuk Islam sebelum wafat. Tapi itu juga menunjukkan bahwa pilihan orang untuk percaya atau tidak percaya, dengan segala kosekuensinya, memang tidak bisa dipaksakan. Nabi pun tidak bisa memaksa pamannya yang begitu baik untuk percaya.