Seseorang dapat menjadi Muslim tanpa harus membuang identitas lokalnya. Seseorang bisa menjadi Muslim yang utuh tanpa harus membuang kejawaannya, kemelayuannya, kesundaannya, kebanjarannya, kebugisannya, dan seterusnya.
Demikianlah kalimat yang tertera pada halaman 185 dari buku ini. Buku yang ditulis oleh Ali Masykur Musa ini hadir di waktu yang tepat, di saat bangsa ini diancam oleh menggeliatnya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, suku dan ras. Tindakan diskriminasi pun sudah mulai terang-terangan dilakukan oleh kelompok Islam radikal, FPI, yang tak rela bila Jakarta dipimpin oleh Gubernur yang berlatar belakang etnis Cina.
Sedangkan di luar sana, tepatnya di Pakistan, publik dikejutkan oleh aksi keji kelompok Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP) yang menewaskan 148 orang tak berdosa melalui serangan berdarah mematikan. Islam, akhir-akhir ini selalu muncul di berbagai media massa dengan wajahnya yang terkesan sangar dan angker.
Dari itu, buku ini menjadi layak untuk diketengahkan di hadapan para pembaca. Selain mengupas berbagai tantangan yang akan dihadapi oleh Islam, ia juga menawarkan satu gagasan tentang pentingnya umat Islam bersikap terbuka terhadap perbedaan.
Buku ini dimulai dengan membahas bab Islam sebagai sebuah doktrin kemanusiaan. Penulis buku ini yang juga mantan anggota BPK RI periode 2009-2014, berupaya untuk mendeskripsikan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya sangat selaras dengan HAM, demokrasi, pluralisme, kesetaraan gender, nasionalisme dan kebebasan beragama. Bagi penulis buku ini, pada tataran normatif, semua nilai-nilai itu sesungguhnya inheren dalam Islam.
Adapun tantangan yang dihadapi Islam di masa kini adalah bagaimana sebenarnya sikap Islam terhadap globalisasi, modernitas, terorisme, krisis ekonomi global, etika politik dan patologi sosial.
Menghadapi problematika dan persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat modern itulah, umat Islam seringkali gagap dalam menghadapinya. Kegagapan ini tak jarang dibarengi dengan melakukan tindakan anarkis dan kekerasan terhadap orang lain yang berbeda.
Padahal, sebagaimana penuturan penulis buku ini, Islam sampai di Indonesia tidaklah dilakukan dengan jalan kekerasan. Tapi dengan jalan damai dan menghargai budaya lokal.
Saat di negara-negara lain proses islamisasi dilakukan dengan menggunakan ekspansi politik dan militer secara besar-besaran, para penyebar Islam di Indonesia mengambil jalan yang berbeda. Yaitu, menyebarkan Islam dengan jalan damai, kemudian menyelusup pelan-pelan ke sendi-sendi budaya masyarakat Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan tidak disisihkannya kearifan Hindu-Budha yang telah menyelimuti Indonesia selama tiga ratus tahun, melainkan menyusupinya dan mengisinya dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Diterimanya Islam sebagai agama yang hingga kini meluas di masyarakat, menjadi bukti bahwa pendekatan budaya dan peradaban ternyata lebih efektif dalam mendakwahkan ajaran Islam ketimbang pendekatan politik dan militer.
Wajah Islam Nusantara yang sejuk, damai dan anti kekerasan pun lantas menjadi ciri khas Indonesia selama beberapa tahun lamanya. Namun, kini keberadaan Islam menjadi dipertanyakan di tengah gempuran aksi teror yang dilakukan sekelompok umat Islam yang menatasnamakan agama.
Aksi teror ini membuat Islam menjadi tertuduh, disorot, dikritik, dikecam hingga mendapat stigma sebagai agama teroris. Sikap curiga, benci serta ketakutan yang berlebihan terhadap Islam kemudian memunculkan apa yang disebut dengan istilah Islamophobia. (Hal 127).
Penulis yang juga Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatu Ulama’ ini menawarkan solusi tentang pentingnya menumbuhkan kembali kesadaran tasawuf madzhab cintanya Jalaluddin Rumi dan Rabiah Al-Adawiyyah.
Hal ini dirasa penting, mengingat hubb atau cinta suci sufi akan membebaskan manusia dari segala nafsu setan, kekuasaan, hasrat ingin menguasai orang lain, dan kuasa pembenaran atas diri yang dibungkus dengan kepatuhan terhadap Tuhan.
Selain itu, penulis juga mengajak pembaca untuk terus menerus mengupayakan sebuah tindakan konkret berupa sosialisasi tentang Islam yang benar ke masyarakat Internasional.
Upaya menafsirkan kembali konsep jihad dalam Islam, bagi penulis, nampak sebagai upaya penting untuk dilakukan. Sebab pada prinsipnya, Jihad berkonotasi pada upaya pengekangan hawa nafsu yang dimulai dari individu kemudian meluas dan mengkristal secara kolektif pada masyarakat.
Jihad di masa kini adalah upaya untuk memerangi tindak pidana, korupsi, mengentaskan kemiskinan dan memerangi kebodohan. Dengan tafsir baru atas konsep jihad inilah, Islam dipandang akan meraih kembali kejayaannya yang sudah sekian lama terkubur dalam kerak sejarah umat manusia.
Sebab, sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil ‘alamiin, rahmat bagi semesta alam, Islam tentunya akan selalu mendapat pertanyaan akan peran dan fungsinya bagi masyarakat modern. Misi tersebut menyiratkan pandangan bahwa keberadaan Islam akan diakui kala ia mampu menjawab setiap persoalan yang melingkupi kehidupan masyarakat.
Karena itu, wajah Islam selayaknya ditampilkan dengan penuh kesejukan, kedamaian dan keselamatan. Bukannya dimunculkan dengan wajahnya yang terkesan garang serta menakutkan.
Sayangnya, dari sekian banyak kelebihannya, dua halaman dari buku ini terdapat kekosongan isi, tepatnya pada halaman terakhir dari bab kesimpulan. Kekosongan ini menyebabkan proses membaca jadi terganggu karena poin kesimpulan dari beberapa tulisan dalam bab sebelumnya tidak terangkum secara utuh.
Namun di luar itu, buku ini layak untuk dibaca dan disebarkan seluas-luasnya, agar semakin banyak masyarakat yang memahami Islam dengan model seperti apa yang selayaknya diterapkan di Indonesia. Selamat membaca buku yang menarik ini.