Home » Aksara » Sastra » “A Passion for the Sacred”: Tentang Bahasa Arab
Manuskrip Sibawaih, linguis besar dari Persia. (Foto: Blog Al-Sirat Al-Mustaqeem)

“A Passion for the Sacred”: Tentang Bahasa Arab

4.43/5 (40)

IslamLib – Sebuah peribahasa Ceko mengatakan: pour chaque nouvelle langue que tu parles, tu vis une nouvelle vie. Qui ne parle qu’une langue ne vit qu’une fois. Setiap bahasa baru yang kita kuasai, berarti suatu tambahan kehidupan baru bagi kita. Sesiapa yang dalam hidupnya hanya menguasai satu bahasa, ia hanya hidup sekali saja.

Peribahasa ini hanya mau mengatakan bahwa bahasa adalah kehidupan. Satu bahasa adalah satu kehidupan. Jika kita menguasai tiga bahasa, misalnya, maknanya kita hidup tiga kali. Jika bahasa kita merosot, kehidupan kita pun berkurang kualitas dan mutunya. Sebaliknya, makin baik bahasa kita kuasai, makin baik pula mutu kehidupan yang kita jalani.

Tetapi tak ada bahasa yang membuat saya merasa bersyukur luar biasa dalam kehidupan ini kecuali bahasa Arab. Saya menghabiskan puluhan tahun untuk mempelajari bahasa ini. Sejak saya masuk ke sekolah dasar di kampung, hingga menempuh pendidikan lanjut di Amerika Serikat, saya tanpa henti mempelajari bahasa ini, dan tak habis-habisnya saya mengaguminya.

Waktu kecil dulu, kami diajarkan bahwa bahasa Arab bukan sekedar bahasa manusia biasa. Dia adalah bahasa “ahl al-jannah”, orang-orang di surga kelak. Ia adalah bahasa suci. Di antara sekian bahasa yang ada, demikian saya diberi tahu oleh guru-guru saya waktu kecil dulu, hanya bahasa Arablah yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan “kalam” dan firman-Nya kepada manusia yang kemudian dibukukan menjadi Quran.

Tentu saja, waktu kecil dulu, saya belum tahu bahwa ternyata ada wahyu-wahyu “langit” lain yang bertebaran di muka bumi ini dan menggunakan bahasa lain di luar Arab.

Walau belakangan akhirnya saya tahu bahwa ada bahasa-bahasa lain di luar Arab yang menjadi medium pewahyuan Tuhan, tetapi saya tetap berpandangan: ada sesuatu yang “istimewa” pada bahasa ini, bahasa Arab. Di antara bahasa-bahasa yang dulu pernah menjadi “lingua franca” atau bahasa pergaulan, bahasa pemikiran dan bahasa “suci” di masa lampau, hanya bahasa Arablah satu di antara yang sedikit yang masih bertahan sebagai “la langue vivante”, bahasa yang hidup dan digunakan baik sebagai alat ungkap pikiran di kalangan akademis dan percakapan sehari-hari.

Bahasa Yunani, pada masanya, pernah menjadi bahasa peradaban, bahkan bahasa “suci”, karena dipakai untuk menerjemahkan Tanakh (dalam Kristen dikenal sebagai Perjanjian Lama), Kitab Suci orang Yahudi. Versi Tanakh dalam bahasa Yunani kuno dulu dikenal sebagai Septuaginta. Bahasa Yunani juga menjadi bahasa pengetahuan dan pemikiran pada zamannya. Dalam bahasa inilah karya-karya besar Socrates, Plato, Aristoteles, dan Homeros diabadikan. Meskipun masih dipakai hingga sekarang, bahasa Yunani sudah merosot kedudukannya sebagai bahasa peradaban.

Sementara itu bahasa Latin dan Sanskerta, –keduanya pernah menjadi bahasa pemikiran dan bahasa Kitab Suci,– sudah tak lagi menjadi bahasa yang hidup dan dipakai sebagai bahasa pecakapan sehari-hari, meskipun masih dipelajari di lingkungan akademis atau dipakai sebagai bahasa ibadah/liturgi dalam sebagian kelompok agama (Hindu untuk Sanskerta dan Katolik untuk Latin).

Sementara itu, bahasa Arab masih terus bertahan terus hingga sekarang pada pelbagai level sekaligus: level akademis, dunia pemikiran, ibadah/Kitab Suci, artikulasi artistik, dan percakapan sehari-hari. Pada semua level itu, bahasa Arab masih hidup sebagai bahasa yang aktif dipakai, dipercakapkan, dan digunakan untuk alat ungkap bagi gagasan-gagasan yang abstrak. Hingga sekarang, bahasa Arab bukan saja menjadi bahasa liturgi dalam ibadah umat Islam, tetapi juga bahasa para penulis dan pemikir Arab modern.

Dari dalam bahasa ini masih terus lahir karya-karya kesarjanaan baru yang sangat bermutu nilainya. Juga karya-karya sastra yang sebagian bahkan berhasil memenangkan Hadiah Nobel. (Ingat karya-karya novelis Mesir Naguib Mahfouz). Dari dalam bahasa ini masih terus lahir puisi-puisi yang hebat seperti karya-karya Adonis, penyair Syria yang sekarang tinggal di Paris.

Menguasai bahasa ini benar-benar menambahkan kehidupan yang sangat kaya bagi saya, seperti dikatakan oleh peribahasa Cekoslovakia itu. Menguasai bahasa ini sama saja dengan memegang sebuah kunci untuk memasuki gudang raksasa yang berisi timbunan harta karun berharga.

Di dalam gudang ini, terdapat jutaan karya dari masa klasik dalam beragam bidang keilmuan, baik ilmu-ilmu yang disebut ‘ulum naqliyyah, ilmu-ilmu tradisional yang mengabdi untuk tujuan keagamaan (baca: Islam), maupun ‘ulum ‘aqliyyah, ilmu-ilmu rasional yang sebagian besar diilhami oleh karya-karya filsafat dari Yunani.

Pertanyaan yang menggelitik kita adalah: Apa yang membuat bahasa Arab bisa terus bertahan hingga sekarang sebagai bahasa yang hidup? Sekurang-kurangnya, bahasa Arab telah berumur empat belas abad, jika kita menjadikan kemunculan Islam sebagai periode dimulainya standardisasi bahasa Arab sebagai “Arab koine” atau bahasa standar yang dipakai untuk alat percakapan lintas-wilayah. (Sebetulnya, apa yang disebut “Arab koine” sudah muncul sebelum Islam datang, seperti tercermin dalam syair-syair “jahiliyyah” pra-Islam).

Apa penjelasan di balik “keabadian” bahasa Arab ini sehingga terus bertahan sebagai bahasa yang hidup? Tak ada penjelasan lain yang meyakinkan kecuali faktor agama. Islam lah yang menjadikan bahasa Arab bukan saja menjadi bahasa ibadah, tetapi juga bahasa peradaban dengan cakupan wilayah yang begitu luas. Tanpa kehadiran Islam, bahasa ini mungkin hanya menjadi bahasa provinsial yang dipakai di Hijaz dan sekitarnya.

Kajian atas bahasa Arab muncul sebagai bidang studi yang berdiri sendiri dan sangat kreatif sejak abad ke-2 Hijriyah/ke-8 Masehi, terutama melalui tokoh-tokoh seperti Khalil al-Farahidi (w. 785) dan muridnya Sibawaih (w. 796). Kedua orang inilah yang meletakkan fondasi utama bagi kajian linguistik atas bahasa Arab. Khalil al-Farahidi adalah orang yang pertama kali menyusun kamus Arab Kitab al-‘Ain. Sementara muridnya, yaitu Sibawaih, adalah tokoh yang meletakkan landasan bagi ilmu yang belakangan disebut dengan nahw dan sharf atau Arabic grammar.

Kemunculan dua tokoh ini, bagi saya, benar-benar menakjubkan. Mereka bisa disetarakan dengan Kopernikus dalam perkembangan astronomi modern. Baik Khalil dan Sibawaih, keduanya memulai untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa Arab suatu kajian yang ilmiah atas bahasa Arab, jauh mendahului kelahiran lingustik modern. Selama ratusan tahun bahasa Arab dipakai sebagai bahasa percakapan. Tetapi fenomena pengkajian yang sifatnya ilmiah atas bahasa ini baru muncul setelah Islam datang.

Sejak kemunculan dua sosok penting itu, kajian bahasa Arab dengan berbagai aspeknya (sintaks, morfologi, semantik, pragmatik, retorik, prosodi, leksikografi) berkembang cepat, dan masih berlangsung hingga sekarang. Ribuan karya lahir dalam khazanah Islam klasik yang berkenaan dengan studi-studi ini.

Motif di balik kegiatan ilmiah yang luar biasa kaya ini adalah sederhana: karena bahasa Arab adalah bahasa Quran. Orbit dari kegiatan intelektual di sekitar bahasa Arab itu adalah Quran sebagai firman Tuhan. Tanpa dorongan “suci” ini, rasanya sulit membayangkan usaha yang luar biasa yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Islam klasik untuk mengkaji bahasa Arab.

Dedikasi sarjana Islam klasik yang berlangsung ratusan tahun untuk mengkaji bahasa Arab, dan melahirkan karya-karya monumental itu, bisa kita setarakan dengan pengabdian serupa yang ditunjukkan oleh para arsitek dan artisan Eropa pada abad pertengahan untuk membangun gereja-gereja besar seperti Katedral Notre Dame di Paris. Konon dibutuhkan waktu lebih dari satu abad untuk membangun katedral ini.

Apa yang membuat orang Katolik memiliki stamina begitu panjang untuk membangun sebuah bangunan dengan rentang waktu yang begitu lama? Jawabannya: a passion for The Sacred. Kecintaan dan antusiasme yang begitu besar untuk Yang Suci. Hal yang sama bisa kita katakan untuk para linguis Arab klasik yang menulis karya ribuan jilid untuk mengkaji bahasa Arab: pengabdian kepada Yang Suci, yaitu Quran.

Di sini, sebetulnya kita menyaksikan pengaruh yang luar biasa yang ditimbulkan oleh fenomena Yang Suci. Lepas dari pandangan skeptik yang selalu ada dalam setiap sejarah agama, kenyataan yang tak bisa kita tolak ialah bahwa Yang Suci melahirkan hal-hal yang menakjubkan, baik dalam bentuk karya arsitektur yang material-fisikal, maupun karya-karya mental dalam bentuk gagasan, teori, teologi, filsafat, mistik, kebijaksanaan, dll.

Kehadiran Yang Suci (dalam bentuk agama dan wahyu) dalam sejarah manusia telah memantik api dalam diri manusia yang menjadi daya dorong yang begitu hebat untuk melakukan hal-hal besar, heroik, dan mengagumkan. Jika agama hanya melahirkan ini saja, kita sudah patut memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya, lepas dari kekerasan-kekerasan yang juga kerap disulut oleh ajaran-ajarannya.

Tanpa “passion for the sacred” ini, kita mungkin tak akan melihat bahasa Arab sebagai bahasa yang terus hidup hingga sekarang, melalui peran sosok-sosok besar seperti Khalil al-Farahidi dan Sibawaih.[]

Catatan: Bacaan lebih lanjut yang cukup informatif dan terstruktur tentang kemunculan dan perkembangan bahasa Arab adalah buku tulisan sarjana Belanda Kees Versteegh, The Arabic Language (1997).

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.