Home » Aksara » Sastra » Hilang di Pelupuk Mata

Hilang di Pelupuk Mata

4.21/5 (14)

Kata orang-orang aku hilang. Mereka meributkan hal itu di warung kopi, di emperan toko, di los-los ikan, di halte bus dan di pelataran rumah sakit. Sial! Kenapa aku dikabarkan telah menghilang? Ini aku! Ini! Lihat!

Ini sudah seminggu, dan orang-orang masih saja membicarakan hilangnya aku. Kenapa? Apa yang salah? Ini aku! Ini lihat! Hey.. Ini aku sedang melihat kalian!

*****

Ratusan sepeda motor berpacu menerobos jejeran mobil yang kalut dalam kemacetan. Mereka juga sedang mencariku. Ngebut, bercarut, mengerut dan larut. Kenapa? Apa yang salah?! Aku berdiri di pinggir jalan. Aku berteriak-teriak, “Ini aku.. Ini aku!!” Merek tiada peduli. Pilu!

Aku berjalan ke arah pasar. Ini senin, dan pastinya ramai. Apalagi ini bulan baru. Ibu-ibu muda tampak berlinang liur menatap pajangan di etalase. Niatnya masih sama. Ya, mencari aku. Aku mendekati mereka, tapi mereka tak melihatku. Aku tetap hilang di mata mereka. Ah!

Aku mendekati puluhan ibu-ibu yang menawar pengganjal perut. Masih sama, tiada yang memperdulikan aku. Ini aku! Ini! Semakin aku berteriak, semakin tertutup lubang telinganya. Ah! Ini aku, ini aku! Kemana lagi kalian akan mencari??!

Matahari beranjak naik. Ibu-ibu dan para remaja tanggung berlarian menuju gerbang swalayan yang baru buka. Aku berdiri di sisi pintu masuk. Ini aku..ini aku! Ah, sama saja. Mereka tidak juga melihatku. Padahal mereka satu tujuan, mencari aku.

Aku duduk bersandar di dinding luar swalayan. Menatap geliat manusia. Ada yang penuh amarah, ada yang penuh ambisi, ada yang dilamun mimpi, ada yang bertengkar, dan ada yang gusar. Ya, semuanya sama. Sama-sama mencari aku. Tapi kenapa? Aku di sini, dan tak kemana-mana. Kenapa mereka sibuk mencari hingga lupa tentang apa yang harusnya dicari?

*****

Sore ini keramaian kian menumpuk di pusat kota. Maklum akhir minggu. Ribuan manusia berlomba mencari senang. Mereka ingin melupakan penat setelah satu minggu ditekan pekerjaan. Tak ada sedikitpun ragu, mereka menghamburkan uang agar dapat menemukanku. Kenapa? Aku di sini saja kok!

Aku terus berteriak! Lantang dan tajam. Ah, tapi percuma. Mereka tak juga menemukanku.

“Ini aku!!” Sambil berteriak, aku memukul keras jalan raya dengan sebuah palu besar. Tanah retak bergetar. Mereka panik. Mereka menatap ke arahku. Oh, sepertinya berhasil.

“Itu!” seseorang menunjuk ke arahku. Ribuan orang berlari tunggang langgang. Mereka berlari ke arahku. Ah, sepertinya mereka telah bisa menemukanku.

Ribuan berlari ke arahku. Berjarak beberapa jengkal saja. Aku tersenyum. Aku mengembangkan tangan dan siap menyambut mereka. Tapi,

“Ayo cepat lari ke tempat yang tinggi. Selamatkan diri!” ujar seorang pria paruh baya.

Mereka begitu saja melewatiku. Aku sedih. Ternyata aku masih hilang di mata mereka.

Saat semua telah berlari ke tempat tinggi, aku tertunduk sendiri. Begitu sepi. Bagaimana cara agar mereka bisa melihatku??

Dari sekian banyak manusia berlarian menuju ketinggian, tiba-tiba seseorang berjalan melawan arah. Ia tersenyum padaku. Lirih ia berkata, “Aku telah menemukanku untuk menemukanmu.”

*****

(Note: Buat pembaca Islamlib yang berminat dengan cerpen-cerpen saya lainnya, bisa pesan/kirim e-mail ke [email protected]. Terima kasih.)

Silahkan nilai tulisan ini