Cakra duduk menepi di pinggir sungai yang mengalir di sebuah kota kecil yang mulai ramai dicabik zaman. Ia sendirian, tanpa ada suara yang sudi mengajaknya bersandar dengan gurau. Tiba-tiba saja terlintas sebuah keinginan yang mencuat dari dalam benaknya. Ia ingin menjadi ateis. Setidaknya dalam waktu satu minggu saja.
Cakra melangkah dengan pasti. Ya, ia rasa apa yang baru saja ia pikirkan adalah sebuah ide gila yang sekiranya menyimpan permata penuh arti. Ia tersenyum, entah menyunggingkan bibir untuk apa, ia sendiri tak tahu. Satu hal yang terlihat jelas, Cakra ingin menjadi ateis selama satu minggu.
“Kau gila!” ujar Herna menanggapi rencana yang ingin dijalani oleh Cakra. “Kau kira main-main. Sadarlah kawan. Ah, kau benar-benar sesat,” lanjutnya.
Cakra hanya tersenyum. Nyaris tak ada pembelaan dari pria kurus ini untuk tanggapan yang dilayangkan oleh Herna.
“Kita sudah berteman lama, Cak. Hentikan kegilaanmu, atau apakah engkau sudah benar-benar gila?” Kata Herna sembari menatap lekat-lekat bola mata Cakra. “Aku tidak mau ikut-ikutan, Cak. Untuk keinginanmu seperti itu, aku tidak bisa menolerir. Jika kau tetap nekad, aku akan menjauh,” lanjutnya.
“Satu minggu saja. Tidak lebih kok. Setidaknya ini akan menciptakan pengalaman yang berarti untukku,” ujar Cakra membela diri.
“Silakan. Tapi aku akan menjauh selama satu minggu itu.”
Malam menikam saat bulan bersembunyi dalam kegelapan. Cakra bersandar dalam kepastian diri. Kepastian untuk menjadi ateis, walau itu hanya untuk satu minggu ke depan. Setiap gumpalan asap dari rokok kretek yang ia hisap, setiap itu pula bayangan-bayangan mulai ia susun menjadi sebuah rencana demi rencana.
Hampir setengah malam ia memutar keras otaknya untuk merumuskan keinginan satu minggu itu. Satu pertanyaan awal yang melompat dari dalam kepalanya, apa langkah pertama untuk menjadi ateis? Setelah itu ia terlelap. Lelap dalam pola-pola rencana yang belum tersusun rapi. Tapi itu tiada masalah. Niatnya telah mantap untuk menjadi ateis.
***
“Aku ateis,” ujar Cakra guna menolak ajakan temannya untuk melakukan ritual di rumah ibadah yang terletak di belakang kampus.
“Lelucon apa ini, Cak? Kamu gila?!” kata si teman.
“Lah, memangnya kenapa?”
“Kau sudah sesat,” ujar si teman sambil berlalu.
Dalam diam Cakra berpikir bahwa status ateis ini memang harus diketahui oleh teman-teman dan orang banyak. Ya, karena jika tidak disampaikan pada orang-orang, maka ateis pun percuma. Jika orang-orang berpikir bahwa Cakra masih berbalut agama dan percaya Tuhan, maka akan sangat terlihat ganjil ketika ia tiada sedikit pun mengerjakan syariat. Apalagi ia adalah mahasiswa sebuah perguruan tinggi agama.
Kabar bahwa Cakra telah menjadi ateis mulai tersiar dari mulut ke mulut. Di hari pertama, teman-teman dekatnya telah membicarakan kesesatan yang dijalani oleh Cakra. Hari kedua, satu kelas telah memandang Cakra dengan tatapan jijik. Hari ketiga, kampus geger. Hari ke empat, Cakra dipanggil oleh rektor guna menjelaskan kabar yang telah tersiar seantero kampus tentang dirinya yang mengklaim diri sebagai ateis.
“Apa benar itu?! Kamu mahasiswa perguruan tinggi agama. Ingat itu! Jangan bikin malu kampus ini,” kata rektor yang memiliki jenggot lebat sedikit beruban.
“Iya, Pak,” jawab Cakra. Tidak hanya rektor yang berada di ruang sidang tersebut, tetapi juga ada wakil rektor, dosen dan beberapa teman dekat rektor yang tertarik mengetahui sikap Cakra yang memilih menjadi ateis.
“Lihat, di sini juga ada teman-teman saya. Mereka adalah para ulama yang memiliki posisi kuat di berbagai lembaga keagamaan. Mari kita selesaikan di sini. Jangan sampai hal ini menjadi momok bagi kampus kita. Sekarang berceritalah kepada kami. Apa yang membuatmu memilih jadi seorang ateis?” kata rektor.
“Cerita apa, Pak?” tanya Cakra dengan ekspresi sedikit bingung.
“Hei, kamu itu mahasiswa atau bukan? Ya tentang pilihan kamu untuk jadi ateis lah. Apa buku yang kamu baca, atau setan apa yang membisikimu sehingga kamu tergerak untuk menjadi manusia tak bertuhan?” Sela teman rektor yang mulai terlihat emosi melihat tingkah Cakra.
“Memangnya kenapa jika saya ateis, Pak? Salahkah?” Sanggah cakra.
“Salah? Ya, iyalah salah!” Kata rektor.
“Pak, saya memilih untuk menjadi ateis ini karena saya tidak mau terbebani oleh pandangan orang-orang. Saya adalah mahasiswa perguruan tinggi agama, dan saya pun tidak merasa bebas. Lebih baik saya lepaskan agama dan tentang Tuhan itu. Saya mencoba menjadi jujur. Saya ateis, maka saya pun bebas untuk tidak beribadah. Jadi tidak perlu ada paksaan atau penilaian lagi terhadap saya. Kita tahu sendiri di luar sana banyak yang beragama, tetapi mereka tidak berprilaku dan beribadah sesuai agama yang ia anut. Daripada saya begitu, mending saya ateis. Jelas, jujur dan bebas dari pandangan masyarakat. Tidak ada fitnah juga kan, Pak? Saya mau main ke mana atau berbuat apa saja, saya bebas. Toh saya ateis kan!”
“Anda benar-benar sesat! Keluar dari ruangan ini!” Bentak rektor. Ruangan pun nyaris seperti sarang lebah. Berdengung penuh persepsi.
Hari kelima, kabar Cakra menjadi ateis tercium media. Seketika ia menjadi buah bibir masyarakat. Nyaris tidak ada yang pro atas sikap yang diambil Cakra. Kota tempat Cakra menetap pun panas terbakar emosi. Sebagian besar masyarakat mulai menyuarakan sikap untuk mengusir Cakra dari kota itu.
“Cak, kamu sudah dibenci oleh masyarakat kota ini. Aku juga enggan untuk berteman denganmu lagi. Engkau sudah terjebak. Katamu seminggu kan? Tapi percuma, seumur hidup engkau akan tetap dicap ateis,” terdengar suara Herna dari speaker handphone milik Cakra. Tanpa sempat membalas kata, komunikasi melalui seluler itu terputus.
Tak butuh waktu lama, hari keenam, suasana kota benar-benar memanas akibat ulah Cakra. Maklum saja, isu soal agama memang begitu sensitif. Singkat cerita, keateisan Cakra telah menjadi isu nasional. Ia dihujat dan dianggap sesat. Tak ada kata lagi selain ‘Usir Cakra dari negara ini!’
“Nak, apa yang kau lakukan? Apa kau sadar hal tersebut akan membunuhmu? Ibu tak punya pilihan. Angkat barang-barangmu. Pergilah kemana pun kau ingin. Kau sudah jadi buah bibir masyarakat sekitar. Ibu malu, Nak. Pergilah dari kota ini. Pergilah sejauh-jauhnya, tetapi tetaplah memberi kabar pada ibu tentang keadaanmu di mana pun nanti engkau berada,” ujar ibu Cakra berlinang airmata.
Cakra pasrah. Ia pergi sebelum ada kejadian buruk yang menimpa diri dan keluarganya. Hujatan dan caci maki mengiringi langkahnya menuju terminal. Warga kota sangat ingin melihat Cakra enyah dari muka bumi. Cakra tak lagi mempunyai tempat untuk disinggahi hanya karena dirinya memilih untuk menjadi ateis. Terpaksalah pulau yang sunyi tak berpenghuni menjadi arah tujuannya.
Di satu sisi, Cakra begitu sedih melihat situasi chaos yang terjadi dalam kehidupan sosialnya. Ia ditinggalkan keluarga, teman dan masyarakat. Namun, di sisi lain ia tersenyum puas. Puas karena misinya untuk menjadi ateis telah dinilai sukses oleh semua orang. Saking suksesnya, Cakra diusir dari peradaban manusia.
Ini hari ketujuh. Hari terakhir untuk dirinya menjadi seorang ateis. Telah satu minggu ia meninggalkan ibadah dan segala tata cara masyarakat beragama, serta telah satu minggu pula ia hidup tanpa pikiran tentang Tuhan, sedetikpun tidak. Dalam hati Cakra bertanya, beginikah rasanya jika kita memilih untuk menjadi ateis? Pantaslah jika banyak orang yang sebenarnya ateis tetapi tetap berusaha menutupi ateisnya dengan mengaku sebagai pemeluk salah satu agama yang diakui negara. Jadi, agama telah menjadi tameng?
Di pulau tak berpenghuni, Cakra duduk menghadap lautan. Ia masih merasa ada yang kurang dari misi satu minggu menjadi ateis ini. Masyarakat telah mengakui, dan ia pun begitu. Siapa lagi yang harus mengakui keateisannya ini?
Sambil menepuk pasir, Cakra berujar kesal, “Ah! Aku lupa. Ada satu sosok yang mesti mengakui ateisku ini.” Sejenak Cakra bangkit berdiri, ia memandang langit dan kemudian berujar, “Tuhan, maaf aku lupa. Aku lupa memberitahukan padaMu bahwa saat ini aku ateis. Bagaimana Tuhan? Jawablah…”