IslamLib – Ini adalah kisah tentang salah satu episode kecil dalam kehidupan saya, saat masih di madrasah pada akhir 70an dan awal 80an. Ketika itu saya berumur sekitar empat belas tahun. Saat itulah, untuk pertama kalinya, saya berkenalan dengan sejumlah istilah dan kata yang, di mata kami waktu itu, tampak cukup wah dan mentereng.
Entah bagaimana asal-usulnya, ada semacam anggapan saat itu bahwa seseorang akan merasa mentereng jika pidato atau tulisannya disela-selai dengan satu-dua istilah serapan yang berasal dari bahasa asing. Misalnya, seorang santri akan merasa mentereng jika menggunakan kata eksistensi, atau realitas. Dia lebih memilih realitas tinimbang kenyataan, sebab ada rasa yang beda: mentereng!
Saya kira ini bukan gejala yang khas di lingkungan pesantren saya. Saya menduga, ini adalah gejala yang umum di Indonesia pada tahun-tahun itu. Saya bisa mengatakan demikian karena pada saat itu, ada sejumlah kamus yang cukup laris. Kami menyebutnya saat itu: Kamus Populer.
Istilah “populer” pada masa itu memiliki pengertian yang khas, sekurang-kurangnya di lingkungan pesantren di mana saya belajar. Maksud istilah itu bukan sekedar sesuatu yang disukai banyak orang. (Ingat: kata popular erat kaitannya dengan people). Istilah itu, di mata kami dulu, berarti istilah-istilah serapan yang berasal dari bahasa asing yang, jika dipakai, akan mendatangkan rasa kementerengan.
Efek kementerengan ini penting, sebab memakai istilah populer bukan sekedar dilakukan untuk menyampaikan pengertian kepada orang lain, sebagaimana menjadi tujuan pemakaian bahasa pada umumnya. Istilah populer memiliki fungsi sosial yang lebih penting: perasaan bahwa seseorang memiliki kelas sosial yang lebih tinggi dibanding orang lain.
Ketika seorang santri di madrasah saya dulu memakai istilah “de facto”, misalnya, dia tidak sekedar ingin menyampaikan pengertian saja, tetapi ingin memberi tahu kepada lawan bicara bahwa dia mengerti istilah yang dipakai oleh orang-orang modern di kota, walau secara fisik dia berada di desa, di pesantren.
Akan lebih mentereng lagi jika istilah-istilah populer itu dipakai oleh seorang santri, lalu lawan bicara tampak bengong, seperti terkena sawan atau guna-guna, karena tak paham. Pada saat itu, si santri bersangkutan akan merasa bahwa dirinya telah menang karena berhasil menguasai istilah yang tak dimengerti oleh temannya. Dia seperti mau bilang: Kenak elo!
Tentu saja si santri yang menjadi lawan bicara tak mau membiarkan dirinya dipermalukan seperti itu. Dia akan melakukan segala usaha untuk mencari tahu apa makna kata magis yang baru saja ia dengar itu. Pertolongan pertama yang bisa dia peroleh tak lain adalah kamus populer.
Mungkin inilah yang menjelaskan kenapa, pada zaman itu, kamus populer begitu laris dan populer di kalangan para santri. Ini membawa saya kepada sebuah kesimpulan: Jika ada kamus populer, berarti ada kebutuhan untuk literatur semacam ini. Berarti ada sejumlah orang di luar sana, bukan di pesantren saya saja, yang merasa butuh menggunakan istilah-istilah semacam ini, entah untuk meraih efek kementerengan atau tujuan lain.
Ada istilah yang kerap dipakai saat saya masih di madrasah dulu, dan tampaknya inilah istilah populer yang sudah tak populer lagi. Sebab, semua santri sudah tahu maknanya, sehingga tak lagi memiliki magic lagi. Artinya, dia sudah tak populer lagi. Sebab kepopuleran ditentukan oleh apakah sebuah istilah masih terasa misterius atau tidak.
Istilah yang saya maksud adalah “all-round”. Saya, waktu masih santri ingusan di madrasah dulu, seringkali mendengar istilah ini dipakai oleh kiai, ustaz dan santri. Sebelum melihat istilah itu di kamus, saya mengira ejaan istilah itu adalah “olron”. Saya pun menulisnya demikian. Belakangan saya baru tahu, ternyata istilah itu adalah: all-round. Saya curiga, jangan-jangan santri lain memiliki kesalah-pahaman serupa.
Meski tak tahu bagaimana istilah itu mesti dieja, tetapi kami semua tahu arti istilah tersebut: orang yang memiliki banyak kemampuan. Saya masih ingat, saat itu ada seorang ustaz yang memiliki kemampuan akademis yang kami anggap luar biasa. Dia tak hanya mengajar ilmu-ilmu khas pesantren seperti nahwu, sharaf, tafsir, dan hadis. Dia juga mengajar ilmu-ilmu umum seperti matematika dan fisika. Kami lalu menyebutnya: Ustaz Olron. Ya, olron, bukan all-round!
Dari mana asal-usul obsesi atas kementerengan dengan menggunakan istilah asing seperti ini? Kenapa kami dulu merasa wah ketika memakai istilah realitas dan eksistensi? Bahkan kami dulu tak merasa mendapat gengsi apapun saat menggunakan istilah-istilah berbahasa Arab. Mungkin karena kami setiap hari sudah bergelimang dengan istilah Arab. Bahasa Arab sudah bukan sesuatu yang mengandung daya magnet lagi. Bahasa Arab sudah menjadi banal.
Saya menduga, perasaan mentereng dengan memakai istilah asing ini berasal dari efek generasi Bung Karno.
Suatu hari, seorang teman santri menemui saya dan membisikkan pesan ini, “Hei, aku punya buku warisan dari kakek. Aku yakin kamu pasti suka!” Saya pun penasaran. Beberapa hari kemudian, dia membawa buku yang sudah lusuh, bersampul putih, dengan judul besar yang ditulis tangan, kursif, berwarna merah: Sarinah. Ya, karya Bung Karno. Saya menduga, keluarga teman saya itu pastilah pengagum Sang Proklamator.
Buku itu ia hadiahkan kepada saya. Mungkin karena ia tahu saya gila membaca waktu di pesantren dulu. Membaca segala sesuatu yang bukan kitab kuning yang berbahasa Arab itu. Sudah bosan. Saya butuh penyegaran dengan membaca buku-buku yang non-Arab. Dalam waktu sekejap, buku karangan Bung Karno itu saya selesaikan.
Saya terkesima dengan buku Bung Karno itu. Terkesima oleh isinya, tetapi juga oleh istilah-istilah asing yang berhamburan di dalamnya. Sebagian besar istilah-istilah itu berasal dari bahasa Jerman dan Belanda. Kamus Populer yang ada di tangan saya saat itu tak kuasa menerangkan istilah-istilah itu. Saya pasrah. Istilah-istilah asing di buku itu saya biarkan saja berlalu, tanpa saya pahami.
Belakangan saya baru tahu, generasi Bung Karno terdiri dari anak-anak muda Indonesia yang terdidik di sekolah-sekolah Barat. Mereka sangat akrab dengan sejumlah bahasa Eropa: Belanda, Perancis, Jerman, Inggris. Tak heran, saat menulispun mereka masih menggunakan kutipan dari bahasa atau istilah asing.
Bahkan M. Natsir yang belakangan kita kenal anti-Barat itupun, saat masih mudah dulu, banyak menulis esei dan gemar menggunakan istila-istilah dalam bahasa Belanda. Munculnya genre kamus populer pada tahun 70an dulu mungkin berasal dari sini: Untuk membantu pembaca awam seperti saya memahami tulisan-tulisan generasi Bung Karno yang belepotan dengan istilah asing.
Terus terang, waktu membaca buku Sarinah di pesanren dulu, saya merasa betapa menterengnya Bung Karno ini: Dia mampu membuat kutipan dari banyak bahasa, dan menggunakan istilah-istilah asing yang tak mampu saya cerna. Tetapi, saya kira, kehendak untuk mentereng ini berasal dari sumber yang lain.
Ia mungkin bersumber dari sindrom modernitas. Segala hal yang modern dianggap lebih unggul ketimbang yang tradisional. Modernitas itu, di mata para santri di madrasah saya dulu, diwakili oleh istilah-istilah asing yang banyak saya jumpai di kamus-kamus populer itu: quo vadis, de facto, de jure, das sein, das sollen, realitas, all-round, domisili, mekanisasi, rekonstruksi, identitas, refleksi, proyeksi, dll.
Saat ini, menggunakan istilah “realitas” sudah tak lagi membawa efek mentereng di madrasah saya. Waktu pulang kemaren untuk liburan akhir tahun, saya berjumpa dengan banyak santri yang memakai istilah-istilah asing itu dengan santai, tanpa merasa bahwa dirinya mentereng. Sebab istilah itu sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Kamus populer juga sudah tak dijual di toko-toko buku di lingkungan pesantren.
Tetapi, saya kira, kebiasaan dari generasi Bung Karno ini tidak hilang sepenuhnya sekarang, meski kamus populer sudah tak ada lagi. Perasaan mentereng dengan menggunakan istilah asing, saya duga, juga belum hilang sepenuhnya. Generasi sekarang memang sudah tak lagi memakai istilah-istilah serapan dari bahasa Belanda dan Jerman seperti generasi Bung Karno dulu. Generasi sekarang masih memakai istilah dan kutipan asing, tetapi asing di sini artinya adalah bahasa Inggris.
Sejujurnya, kebiasaan ini bukan khas Indonesia. Saya membaca literatur berbahasa Inggris, dan saya juga menjumpai hal yang kurang lebih serupa. Di lingkungan penulis berbahasa Inggris, efek kementerengan ini tampaknya dicapai bukan dengan mengutip istilah dalam bahasa Inggris. Ya, buat apa. Tetapi mereka mengutip istilah-istilah dari bahasa yang sudah antik, seperti Latin dan Yunani.
Demikianlah, dalam buku-buku berbahasa Inggris, terutama buku-buku akademis, masih kerap kita jumpai istilah-istilah Latin: ipso facto, in toto, in extenso, ad infinitum, ad homimen, ab initio, dsb. Saya menduga, mungkin penggunaan istilah ini bukan sekedar untuk meraih efek kementerengan, melainkan memberikan rasa antik. Bahasa Latin pernah berjaya sebagai bahasa pemikiran dan peradaban di masa antik dahulu. Memakai satu-dua istilah dari bahasa ini bisa memberikan rasa kekunoan kepada sebuah tulisan.
Lebih dari itu semua, ini sebetulnya memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa memiliki dimensi yang sangat kompleks. Ada konteks kebudayaan tertentu yang membuat sebuah istilah bukan saja bermakna secara linguistik, tetapi juga secara sosial dan kultural. Bahasa adalah seperti nebula yang di dalamnya terkandung banyak elemen yang kompleks, campur aduk. Sebab bahasa dipakai oleh manusia — makhluk yang kompleks dan rumit![]