Home » Aksara » Seandainya Tak Ada Kitab Suci

Seandainya Tak Ada Kitab Suci Resensi Film: The Book of Eli

3.5/5 (14)

IslamLib – Bagaimana jika tak ada kitab suci di dunia? Apakah manusia dapat hidup dengan aman, damai dan sentosa atau sebaliknya di mana polemik silang-sengkarut antarmanusia menjadi parah dan tak terhindarkan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang berusaha dijawab dalam The Book of Eli (2010), film garapan Hughes bersaudara (Allen dan Albert) yang begitu apik dibintangi (Denzel Washington) beberapa tahun lalu setelah The Taking of Pelham 123 (2009) dan American Gangster (2007).

Meski tak sepenuhnya mirip dengan usaha Tong Sam Cong mencari kitab suci ke Barat, kepandaian Denzel dalam setting plot dengan adegan berdarah-darah cukup memengaruhi jalan cerita dan karenanya menjadi menarik ditonton. Namun, bukan kepiawaian bertarung Eli yang patut diapresiasi melainkan usahanya menyelamatkan the last one Bibel hasil peninggalan perang nuklir. Hal ini berhasil membuat kita berhadapan dengan satu premis: bahwa kitab suci menyelamatkan manusia.

Memang agak basi, menulis kembali tentang film yang dirilis pada lima tahun lalu. Meski demikian, ada hal menarik dari film yang berhasil meraup 157 juta dolar ini. Khususnya karena soal hadirnya kitab suci bagi peradaban dunia.

Paradoks Hadirnya Kitab Suci. Peradaban manusia sejak abad ke-20 telah dilengkapi dengan ragam kitab suci sebagai pedoman seperti Injil, Alquran, Taurat dan lain-lain—yang berfungsi sebagai petunjuk untuk bertuhan, terlepas dari makna konsep ketuhanan itu sendiri. Namun, yang masih menjadi kegelisahan kita, dengan banyaknya kitab suci dari berbagai agama itu, kehidupan kita malah semakin sulit didamaikan.

Di antaranya, tumbuh semacam sensitivitas teologis akut yang membuat kehidupan beragama semakin sulit seiring. Kita lihat betapa maraknya peristiwa sentimen keagamaan dan intoleransi yang dianggap sebagai doktrin kitab suci itu sendiri.

Di sinilah paradoks kehadiran kitab suci di dunia. Di satu sisi, ia hadir sebagai “manual book” bagi setiap umat untuk berhubungan secara vertikal maupun horizontal dengan sesuatu di luar dirinya. Di sisi lain, tanpa melebih-lebihkan, ia senantiasa hadir di tengah gejolak konflik sebagai legitimasi perbuatan brutal dan amoral sebagian orang.

Kalau demikian adanya, kita sulit terhindar dari adagium bahwa semakin sering orang mendaras kitab suci, semakin sering pula perang dikobarkan, pembantaian dibenarkan. Bahkan, sesama penganut kitab suci pun keranjingan saling sikut.

Kontekstualisasi “The Book of Eli”. Lalu bagaimana membuat kitab suci dapat berguna sebagai fondasi perdamaian dunia? Dari sinilah kontektualisasi The Book of Eli yang menunjukkan bahwa bukan kitab suci yang kita kumpulkan secara fisik di rumah-rumah, di gereja atau masjid yang akan membawa perdamaian bagi dunia, tapi esensi, dan pengamalan berkitabsucilah yang menjadi penting dipraktikkan.

Konteks ini paralel dengan kisah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ketika ia menyangkal santri yang mengaku telah menghafal surat al-Ma’un tapi tak berusaha mengamalkannya. Karena itu, perbuatannya menjadi sia-sia. Ia berkali-kali menolak hafalan sang murid karena tidak diiringi usaha mengamalkan apa hasil pelajarannya.

Dengan senada, di akhir film kita “ditampar” dengan contoh begitu ciamik ketika Eli dengan rela menyerahkan kitab suci yang hanya tinggal satu-satunya itu kepada gerombolan Carnegie (Gary Oldman) demi menyelamatkan nyawa Solara (Mila Kunis) yang disandra dengan tragis. Konflik batin mulai membawa “kewarasan” Eli bahwa kitab suci hanya berguna sebagai pendamai dan bukan sebaliknya.

Apakah dengan demikian kitab suci segera berakhir masanya? Ternyata tidak. Eli yang hidup kembali sebagai karomah penjaga kitab suci setelah ditembak mati, telah menghafal seluruh isi kitab suci yang ia bawa sebelum direnggut Carnegie untuk ditulis kembali sebagai pedoman di masa depan.

Yang cukup disayangkan, alur film yang berlatar tahun 2043 di mana terjadi perang nuklir terlihat buyar menggambarkan kehidupan agama manusia modern. Rinaldi (2010) salah seorang reviewer mengakui bahwa “terlalu aneh membawa sebongkah kitab klasik berbalut kain kumal. Apalagi untuk ukuran ‘utusan tuhan’ (Eli) yang gemar mendengarkan musik melalui iPod, setidaknya lebih pantas yang dibawanya semacam e-book sekaligus gadget portabel bertenaga matahari.”

Meski demikian, makna di balik cerita selalu lebih penting dibanding latar dan tempat di mana ia berada. Sebuah film dapat disebut berhasil bila menunjukkan bahwa selalu terdapat konvergensi antara satu masa dan masa yang lain. Artinya, ada jeda waktu antara satu dan yang lain dalam sebuah kisah yang berdifusi menjelaskan makna di balik setiap cerita.

Dari film ini kita belajar tentang Eli yang berhasil menunjukkan bahwa kitab suci tak akan berguna tanpa fungsi asalnya sebagai penyelamat manusia. Dalam pembacaan lebih luas, ia berguna sebagai pedoman manusia untuk hidup berdampingan tanpa memandang latar apa saja di belakangnya. Esensi kitab suci untuk diamalkan, bukan hanya dilafalkan. Semoga kitab suci tidak benar-benar raib fungsinya karena hanya “dipepes” indahnya suara pendaras saja.[]

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.