IslamLib – Pandangan negatif terhadap anjing bukanlah khas Islam. Hal serupa juga kita jumpai dalam agama-agama semitik lain: Yahudi dan Kristen. Sikap Islam yang negatif pada anjing sejatinya hanyalah refleksi dari pengaruh bias kultural yang dominan pada zamannya.
Marilah kita lihat bagaimana sikap negatif terhadap anjing ini dalam agama-agama semitik di luar Islam. Referensi utama esei ini adalah dua artikel tulisan sarjana Israel yang ahli mengenai Kristen Abad Pertengahan di Eropa, Sophia Menache. Dia menulis dua artikel panjang di jurnal Society and Animals. Dua artikel itu ialah: “Dogs: God’s Worst Enemies?” dan “Dogs and Human Beings: A Story of Friendship.”
Pandangan Yahudi dan Kristen mengenai anjing pada khusunya, dan binatang secara umum, dibentuk oleh sebuah statemen teologis dalam Kitab Kejadian 1:28. Ayat itu berbunyi demikian: Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Huruf miring dari saya).
Manusia, dalam konsepsi Alkitab, dipandang sebagai Tuan yang berkuasa atas alam. Sementara alam adalah obyek yang menjadi sasaran eksplotasi. Gagasan ini juga dipinjam oleh Quran yang menggunakan istilah “sahhara” dalam menggambarkan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Istilah itu secara harafiah artinya adalah “menaklukkan”, sama persis dengan istilah yang dipakai oleh Alkitab. (Bdk. QS 22: 65; 45: 13).
Binatang, termasuk anjing, diposisikan sebagai objek eksploitasi. Hubungan yang bersifat afektif yang berbasis rasa suka atau sayang seperti dalam “animal petting” tak tampak di sini. Sebagaimana diulas cukup baik oleh Robert Delort dalam “La saga du chien” (L’Histoire, 1983), pandangan teologis ini menumbuhkan suatu hubungan instrumental antara manusia dan binatang: binatang hanyalah alat belaka, instrumen.
Dalam Torah, Kitab Suci orang Yahudi, beberapa kali anjing disebut dengan nada negatif. Kitab Keluaran 22:31, misalnya, berbicara tentang anjing dengan konotasi yang negatif: “Haruslah kamu menjadi orang-orang kudus bagi-Ku; daging ternak yang diterkam di padang oleh binatang buas, janganlah kamu makan, tetapi haruslah kamu lemparkan kepada anjing.”
Dalam Kitab 1 Samuel 17:43, ada kisah tentang Daud dan orang Filistin. Di sana, dikisahkan sebagai berikut. “Orang Filistin itu berkata kepada Daud: “Anjingkah aku, maka engkau mendatangi aku dengan tongkat?” Lalu demi para allahnya orang Filistin itu mengutuki Daud.”
Ada sebuah tradisi rabbinik dalam Talmud seperti berikut: “Barangsiapa memelihara anjing di rumahnya, dia telah menjauhkan kasih-sayang dari rumahnya.” Merujuk kepada Kitab Ayub 6: 14, Rabbi Nahman ben Isaac (w. 356 M) memberikan komentar sebagai berikuat: Ia yang memelihara anjing akan “… melalaikan takut akan Yang Mahakuasa.” Dengan kata lain, rasa takut (taqwa) pada Tuhan akan hilang dari hati para pemiara anjing.
Dalam Talmud juga disebut: Shekinah (hadrah ilahiyyah, roh Tuhan) akan terhalang kedatangannya oleh keberadaan anjing di sekitar. “Jika ada dua puluh dua ribu orang Israel, kurang satu, dan ada di antara mereka seorang perempuan hamil yang bisa menggenapkan bilangan itu, tetapi kemudian ada anjing yang menyalak, lalu perempuan itu mengalami keguguran, maka anjing itu telah menyebabkan Shekinah pergi meninggalkan orang Israel.”
Bandingkan hal ini dengan sebuah hadis riwayat Aisyah yang mengisahkan tentang kekesalan Nabi karena malaikat Jibril yang batal datang membawa wahyu. Setelah diusut, ternyata ada anak anjing (jirw kalb) yang bersembunyi di bawah tempat tidur Nabi. Di sini, kita melihat pengaruh tradisi rabbinik Yahudi dalam persepsi Islam mengenai anjing.
Tradisi rabbinik Yahudi juga menyebut kebiasaan memelihara anjing adalah khas pada orang-orang yang tak disunat, kaum gentile, orang-orang non-Yahudi. Dalam bahasa Quran: ummiyyun.
Bagaimana dengan kekristenan? Dalam sejarah Kristen awal, anjing juga cenderung dipandang secara negatif. Kita jumpai, misalnya, dalam Injil Matius 7: 6 ayat ini: “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing.” Atau Matius 15: 26: “Tetapi Yesus menjawab: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”
Dalam Kristen Abad Pertengahan, sosok anjing mendapatkan penggambaran yang buruk. Ini berkait dengan mitos mengenati makhluk berbadan manusia dan berkepala anjing: Sinosefalus. St. Agustinus (w. 430 M) dalam City of God menyinggung juga keberadaan sosok ini.
St. Jerome, salah seorang Bapak Gereja dari Abad ke-4, menggambarkan sosok Sinosefalus ini sebagai berikut: “Ia berkepala anjing, tetapi anggota badan selebihnya seperti manusia. Saat tenang dan damai, ia berlaku seperti manusia. Tetapi saat marah, ia mendadak menjadi ganas dan melawan manusia.” Sosok anjing kerap dikatikan dengan mitos Sinosefalus yang jahat ini.
Di berbagai belahan dunia, ada mitos tentang anjing hitam sebagai sosok setan. Mitos ini tampaknya juga populer di kawasan Timur Tengah. Sebuah hadis riwayat Abdullah Ibn Umar menyebutkan bahwa Nabi memerintahkan untuk membunuh anjing yang berkeliaran di kota Madinah. Nabi, belakangan, mengoreksi perintah itu dan hanya memerintahkan untuk membunuh anjing hitam legam (al-aswad al-bahim). Anjing hitam adalah setan.
Pandangan negatif terhadap anjing ini memang aneh. Sebab agama-agama semitik (Yahudi, Kristen, Islam) lahir dalam masyarakat agraris di mana kebutuhan akan anjing sangat besar sebagai binatang yang menolong para petani dan perternak.
Zend Avesta, Kitab Suci agama Zoroaster, menggambarkan hal ini, sebagaimana diulas oleh Robert Delort: “Le monde ne subsiste que par l’intelligence du chien”. Dunia hanya bisa tegak karena kecerdasan anjing. Ini menggambarkan pengalaman peradaban agraris di kawasan Mesopotamia.
Sikap agama terhadap anjing memang ambigu. Di satu pihak ia dibutuhkan sebagai penolong para petani. Di lain pihak, ia menggambarkan makhluk yang aneh: anjing ada di perbatasan antara manusia yang cerdas dan binatang yang bodoh. Ini membangkitkan rasa takut.
Selain itu, seperti disebut oleh Sophia Menace, anjing juga menerbitkan rasa cemas di kalangan kaum agamawan. Kesenangan pada anjing mereka khawatirkan akan memalingkan manusia dari cinta yang utuh kepada Tuhan. Karena itu, Islam melarang memelihara anjing sekedar sebagai “pet animal”, binatang senang-senang. Sebab, itu masuk dalam kategori “lahw”, tindakan senang-senang, yang dilarang agama.
Sebagaimana akan saya jelaskan dalam esei mendatang, sikap negatif pada anjing pelan-pelan mulai melunak, terutama setelah modernisasi berlangsung di Barat. Anjing adalah semacam “obat penawar”. Ia menolong manusia modern mengobati perasaan teralienasi karena tercerabut dari pesona dunia dan komunitas tradisional. (Bandingkan dengan konsep Weber mengenai “the disenchantment of the world,” hilangnya pesona dunia).
Yang terang, sikap negatif, atau malahan fobia pada anjing tidaklah khas pada Islam. Bias itu juga kita jumpai dalam agama-agama semitik yang lain. Islam hanyalah mewarisi bias itu dan meneruskannya.
Yang menjadi soal memang: Sementara sikap negatif itu sudah berubah di Kristen, di Islam tetap seperti sedia kala. Kenapa? Penjelasannya sebagian ada dalam esei yang pertama, tetapi akan saya ulas lebih jauh lagi dalam tulisan mendatang. Stay tuned![]