IslamLib – Waktu kecil dulu, bersama anak-anak lain, saya kerap mengejar anjing dan melemparinya dengan batu. Anjing, bagi kami dulu, adalah binatang najis yang harus diusir dari kampung. Dulu, hanya orang-orang Tionghoa saja yang memiliki anjing. Keluarga Muslim tak mungkin memelihara anjing di kampung kami, dari dulu hingga sekarang.
Waktu musim hujan tiba, kami biasa berjalan dengan sangat hati-hati, agar jangan sampai kaki kami menginjak bekas kaki anjing. Yang celaka adalah saat kami secara tak sengaja menginjak kotoran anjing. Bukan main risaunya kami jika hal itu terjadi. Kami akan segera mencari air, membasuh sandal kami tujuh kali. Salah satu tuangan air itu harus dicampur dengan tanah. Begitu lah ritual pencucian “najis” anjing yang kami lakukan saat itu.
Dan begitulah kami tumbuh hingga dewasa dalam lingkungan budaya yang memandang anjing sebagai binatang kotor. Bahkan menyentuh bulu anjing pun bagi kami harus lah dihindarkan sebisa mungkin.
Kenapa umat Islam memandang anjing sebagai binatang kotor dan najis? Apa alasan-alasannya? Apakah sikap permusuhan terhadap anjing ini hanyalah khas pada Islam saja? Ataukah Islam hanya mewarisi sikap serupa yang ada pada agama-agama semitik lain di kawasan Timur Tengah saat itu?
Saat ini, anjing dipandang sebagai “men’s best friend”, begitulah ungkapan yang kerap dipakai dalam bahasa Inggris. Bagaimana anjing bisa berevolusi menjadi binatang kesayangan di era modern sekarang? Dan kenapa umat Islam masih belum mengalami “evolusi” hingga saat ini dan tetap memiliki pandangan negatif terhadap binatang cerdas dan loyal ini? Apakah pandangan para sarjana Muslim seragam mengenai masalah ini?
Saya akan membahas soal ini dalam serangkaian tulisan mulai Senin minggu depan (31/8) di situs ini. Stay tuned!