IslamLib – Mu’tazilah adalah salah satu sekte yang muncul paling awal dalam sejarah Islam, setelah Syiah dan Khawarij. Sekte ini dikenal karena memakai pendekatan rasional dalam memahami agama. Mereka dikenal karena pandangannya tentang manusia yang memiliki kebebasan kehendak (free will). Mereka juga berpendapat bahwa Quran adalah makhluq, sesuatu yang diciptakan; bukan sesuatu yang qadim, identik dengan Tuhan, sebagaimana dianut oleh sekte Sunni.
Oleh sarjana Barat, sekte ini biasa disebut sebagai “Muslim rationalist”, atau “defenders of reason” (pembela akal). Yang terakhir ini adalah judul buku suntingan Richard C. Martin dkk (1997).
Saya tak akan membahas sejarah sekte ini. Saya hanya mau mengulas pandangan salah satu tokoh besar dalam Mu’tazilah yang pendapatnya banyak direkam dalam literatur mengenai sejarah sekte-sekte Islam, seperti Maqalat al-Islamiyyin karya Abu ‘l-Hasan al-Asy’ari (w. 936 M) atau Al-Milal wa al-Nihal karya Al-Syahrastani (w. 1153 M). Tokoh itu ialah Ibrahim ibn Sayyar al-Nazzam (w. circa 845 M).
Al-Nazzam dikenal sebagai rasionalis besar yang muncul dalam fase awal sejarah perkembangan pemikiran Islam. Dia hidup sezaman dengan Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii yang banyak diikuti di Indonesia. Berbeda dengan Imam Syafii yang sangat hadith-oriented, Al-Nazzam adalah sosok yang berpikir rasional. Ia bahkan tak segan-segan menolak hadis jika berlawanan dengan akal.
Saya menulis esei ini sebagai sebuah obituari post-humous dan sekaligus penghormatan untuk tokoh besar Islam yang kerap dikutip dengan nada negatif dalam banyak literatur Islam itu.
Penulis modern yang mengungkap kembali informasi mengenai sosok besar ini adalah Ahmad Amin (1886-1954) dari Mesir. Dia menulis buku berseri mengenai sejarah Islam: Fajr al-Islam, Dhuha al-Islam, Dhuhr al-Islam. Dalam seri Dhuhr al-Islam dia mengungkap sebuah data yang menarik mengenai Al-Nazzam dan pandangannya tentang anjing.
Tulisan Ahmad Amin itu bersumber pada sebuah karya klasik yang ditulis oleh murid Al-Nazzam, yaitu Al-Jahiz (w. 868), berjudul Kitab al-Hayawan (Kitab Tentang Hewan). Oleh para pengamat sastra Arab klasik, Al-Jahiz dianggap sebagai perintis awal genre prosa Arab di era klasik. Buku-bukunya menjadi best-seller pada zamannya, dan merupakan bacaan populer. Dia benar-benar bisa kita sebut sebagai belles-lettrist. Dalam bahasa kita: pujangga.
Mari kita ikuti penuturan Al-Jahiz mengenai pandangan gurunya, Al-Nazzam, perihal anjing.
Al-Nazzam tidak percaya pada hadis yang memuji kucing, seraya menistakan anjing. Hadis yang memuji kucing dan populer di kalangan umat Islam adalah riwayat Kabsyah, isteri seorang sahabat Ansar bernama Abu Qatadah. Dalam hadis itu, kucing dipuji sebagai binatang yang suka “ngglendot” dan melekat pada manusia (innaha min al-thawwafin ‘alaikum wa al-thawwafat).
Sementara, anjing dikutuk dalam sebuah hadis sebagai binatang yang harus dibunuh. Dalam hadis riwayat Abdullah Ibn Umar, anjing hitam (al-aswad al-bahim) bahkan digambarkan oleh Nabi sebagai reinkarnasi setan. Karena itu, harus dibunuh. Sebagaimana saya tunjukkan dalam esei sebelumnya, ini merefleksikan mitos kuno yang populer di beberapa masyarakat di luar Arab tentang anjing sebagai penampakan setan. (Bdk. Barbara Allen Woods, The Devil in Dog Form, 1959).
Al-Nazzam, dengan menggunakan penalaran rasional, menolak kedua hadis tersebut. Mari kita dengar pendapat dia yang direkam oleh oleh Al-Jahiz dalam Kitab al-Hayawan (vol. 2. hal. 153).
Kalian mengunggulkan kucing atas anjing, dan meriwayatkan hadis yang memerintahkan untuk membunuh anjing dan, sebaliknya, merawat kucing. Padahal, kata Al-Nazzam dengan nada sinis, kalian tahu, keahlian kucing paling-paling hanya menangkap tikus. Bahkan tikus pun jarang ditangkap kucing. Alih-alih memburu tikus, kucing malah suka mengejar burung pipit yang biasa menjadi mainan anak-anak kalian.
Kata Al-Nazzam lebih lanjut: Kalau pun kucing tak mengganggu barang-barang kalian, dia pasti akan mengganggu barang-barang milik tetangga kalian. (Tambahan dari saya: orang Jawa sering menyebut kucing cluthak atau kucing garong). Sementara, keahlian dan manfaat anjing tak bisa diungkap oleh satu dua-buku, saking banyaknya.
Kucing, lanjut Al-Nazzam, suka memangsa kalajengking, kadal, kecoa, belalang, tikus, ular, dan segala macam serangga yang kotor dan berbisa. Pokoknya, kucing itu gemar menyantap makanan-makanan kotor yang menjijikkan. Dengan ini semua, kalian menganggap kucing lebih unggul dari anjing dan mengutip hadis untuk mendukungnya. Jelas tak bisa diterima akal sehat!
Singkatnya, Al-Nazzam tidak percaya pada hadis kucing dan anjing. Sebab tak rasional. Dia berpandangan bahwa hadis-hadis yang berlawanan dengan akal harus ditolak.
Setahu saya, Al-Nazzam adalah satu-satunya pemikir dalam sejarah klasik Islam yang berani dengan tegas mengemukakan prinsip rasionalitas untuk menimbang hadis. Saya bayangkan, jika Al-Nazzam mengemukakan gagasannya itu sekarang, sudah pasti dia akan di-bully seantero dunia Islam.
Dengan menuturkan pandangan Al-Nazzam ini, bukan berarti saya mengampanyekan sentimen anti-kucing. Bukan. Saya kira, maksud Al-Nazzam juga bukan demikian. Dia hanya jengkel pada sentimen anti-anjing di zamannya yang dijustifikasi dengan hadis. Sekaligus menggambarkan kekesalannya pada cara berpikir orang-orang yang melulu merujuk pada hadis, seraya mengabaikan akal. Seolah-olah hadis adalah “conversation stopper“.
Kitab Al-Hayawan karya Al-Jahiz, murid Al-Nazzam itu, berisi banyak ulasan menarik tentang keunggulan dan keistimewaan anjing, dengan nada yang kadang nyinyir, kadang jenaka. Al-Jahiz memang seorang satiris dan sekaligus komedian. Sayang sekali, karya ini sudah jarang dikenal dan dibaca oleh publik Islam sekarang.[]