IslamLib – Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan melakukan liputan di suatu acara yang dihadiri oleh Menkopulhukam Luhut B Panjaitan. Dalam kesempatan itu Luhut menyatakan bahwa terdapat sebuah ancaman yang lebih serius terhadap bangsa ini selain terorisme, ancaman tersebut adalah narkoba.
Saya setuju dengan pendapat itu,terorisme memang sangat berbahaya karena ia dapat mencerabut otak dari kepala. Bayangan tentang bidadari-bidadari seksi di surga juga telah membutakan sebagian orang untuk anti berbuat baik terhadap sesama.
Namun di sisi lain narkoba juga sangat berbahaya. Tidak perlu embel-embel agama untuk menyebarkan kegilaannya, ia bisa mengangkangi siapa saja tak peduli agama, suku, usia, dll. Tetapi harus dipahami bahwa narkoba berbahaya bukan karena bentuk dan efeknya, namun karena penyalahgunaannya. Artinya, jika digunakan sesuai dengan keperluan dan dengan takaran dosis yang tepat, narkoba tidak memberikan efek buruk.
Hal ini dapat dilihat dari penggunaan narkoba pada dunia kedokteran misalnya, di mana narkoba justru digunakan untuk berbgaai keperluan pengobatan. Karenanya, yang menjadi masalah bukan narkobanya, tetapi penyalahgunaan terhadap narkoba.
Di waktu yang bersamaan saya menyadari bahwa segala bentuk penyalahgunaan tidak akan pernah ada baiknya, termasuk penyalahgunaan terhadap fungsi dan hakikat agama. Karena itu terdapat satu hal lagi yang jauh lebih berbahaya dari narkoba, dan itu sedang menjadi ancaman besar untuk bangsa ini, yakni penyalahgunaan agama.
Sama halnya dengan perkara narkoba, jika digunakan sesuai dengan takaran yang tepat, agama akan menjadi sesuatu yang mujarab. Sebaliknya, jika digunakan dengan dosis yang tidak tepat, agama justru bisa menjadi faktor pendorong seseorang untuk menjadi penjahat.
Sikap berlebihan dan dominasi terhadap klaim kebenaran merupakan bentuk nyata dari penyalahgunaan agama. Dalam konteks ini agama tidak lagi digunakan untuk menunjukkan jalan kebenaran, melainkan lebih banyak dilacurkan untuk menumbuhkan kebencian dan permusuhan.
Munculnya kelompok intoleran dengan bermodal semangat anti belajar merupakan efek nyata dari penyalahgunaan agama. Akibatnya, agama kian disesaki oleh orang-orang bebal yang terlalu ringan membahasakan pesan tuhan melalui berbagai aksi kekerasan. Seolah kekerasan pasti dapat menyenangkan Tuhan. Belajar pun sepertinya tak pernah masuk dalam agenda mereka. Buat apa? Toh, klaim kebenaran sudah lama menempel di jidat mereka.
Kelompok intoleran ini gemar mencari-cari kesalahan orang atau kelompok lain, katanya sih karena kewajiban untuk berdakwah. Padahal kita semua tahu mereka hanya nyampah.
Setelah isu untuk memerangi kelompok dari agama berbeda tidak lagi laku di pasaran, para penyalahguna agama tampak mulai menyibukkan diri dengan menjejalkan derita kepada kelompok yang justru berasal dari agama yang sama. Ahmadiyah, Syiah, Gafatar dan terbaru LGBT menjadi sasaran berbagai aksi kekerasan.
Lupakan urusan dialog atau diskusi terbuka, itu hanya akan menghabiskan waktu mereka.
Dalam berbagai kajian dikemukakan bahwa agama memang sangat rawan untuk disalahgunakan, selain karena klaim-klaim kebenaran pada agama sulit untuk dibuktikan secara kasat mata, agama juga telah lama diseret keluar dari yang semula urusan personal menjadi kepentingan komunal (atau bahkan global?) Publik pun lantas seakan memiliki kewajiban untuk mengurusi agama orang lain; apa yang dianggap salah harus dibenarkan, sekalipun dengan kekerasan.
Lebih parah lagi, negara juga tidak ketinggalan untuk turut memainkan peran dalam kepentingan ini. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya kriteria aneh bernama ‘agama resmi’ versi negara serta menjamurnya berbagai lembaga agama yang seolah memegang kewenangan untuk menentukan mana yang salah dan mana yang salah banget.
Kriteria agama resmi tentu aneh, bagaimana bisa kebenaran sebuah agama ditentukan oleh negara?
Saya ingat sebuah analogi menarik tentang ukuran atau standar ‘kebenaran’ dalam agama; ibarat olah raga, benar tidaknya agama tidak dapat ditentukan dengan menggunakan kaca jendela yang sama (kacamata terlalu kecil untuk ini).
Dalam sepak bola misalnya, bola tidak dibenarkan untuk disentuh tangan (kecuali oleh penjaga gawang.) Sementara di olah raga basket, bola justru harus dimainkan dengan tangan; sebuah kesalahan besar jika bola dimainkan dengan kaki. Beda lagi dengan standar benar untuk bola-bola lain yang ada di olah raga tenis, golf, bowling, dst.
Artinya, standar kebenaran pada si bola tidak dapat ditentukan dengan alat ukur yang sama, ia harus disikapi secara berbeda sesuai dengan konteksnya masing-masing. Menyamakan ‘status benar’ untuk si bola justru dapat merusak keindahan dan kesucian olah raga itu sendiri. Demikian pula dengan agama, ia tidak bisa terus-terusan dikerdilkan dengan sempitnya ukuran untuk sebuah status benar. Bukankah yang enak bagiku belum tentu enak bagimu?
Dibandingkan dengan narkoba, penyalahgunaan terhadap agama jelas lebih berbahaya. Penyalahgunaan ini telah menimbulkan jatuhnya banyak korban jiwa serta tumpukan kesengsaraan yang tak terkira pedihnya. Tetapi hal ini tidak lantas berarti bahwa agama berbahaya dan karenanya harus dijauhi; permasalahan tidak terletak pada agamanya, tetapi pada penyalahgunaannya.
Akhirnya, mari beragama dengan perilaku nyata. Simpan saja segala tetek bengek ritual ibadah untuk diri masing-masing karena itu murni urusan manusia dengan tuhannya, tidak perlu dipamer-pamerkan apalagi sampai dipaksakan. Saya tahu, kita tidak senorak itu.