IslamLib – Bersyukur atas kehadiran setan dan iblis, apakah dibolehkan? Apakah rasa syukur itu tak akan menjadi sikap durhaka pada Tuhan? Jika selembar daun saja tak akan bisa jatuh tanpa kehendakNya, apakah bisa setan dan iblis bersikap tanpa restu Tuhan? Bersikap menghasut manusia untuk berbuat jahat? Bersikap mengajak manusia untuk tak memenuhi perintahNya? Mengerjakan laranganNya?
Jika memang sekecil apapun di dunia tak akan terjadi tanpa kehendakNya, maka Tuhan mungkin saja sengaja membiarkan setan dan iblis bersikap seperti itu. Ibarat membiarkan semua ciptaanNya mengambil tempat masing-masing. Menjalani peran sendiri-sendiri.
Lalu mengapa harus kita, manusia, bersyukur atas keberadaan setan dan iblis?
Sebagai pengukur “kesuksesan”. Tak akan bisa kita mengukur seberapa patuh kita pada Tuhan tanpa setan/iblis yang menghasut kita untuk tak patuh. Beda halnya dengan malaikat yang memang diciptakan untuk selalu patuh padaNya, kita selalu memiliki pilihan.
Mungkin inilah pula yang dimaksudkan Tuhan bahwa manusia merupakan pemimpin di dunia. DiberikanNya manusia kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri, menentukan pemikiran sendiri, sikap sendiri berbekal akal, rasa dan agama.
Bagaimana seseorang bisa disebut pemimpin jika apa yang ia lakukan sudah ditentukan? Bukan dari pemikiran dan sikap yang ia pilih sendiri, namun seutuhnya pasti dari Tuhan, seperti malaikat yang sudah pasti patuh?
Tuhan telah menjadikan kita sebenar-benar pemimpin. Dengan kesempatan untuk memilih menjadi pemimpin yang baik atau yang buruk. Dibiarkannya kita untuk menentukan sikap, pemikiran sendiri. Tanpa iblis dan setan, tak akan bisa kita mengukur kesuksesan menjadi pemimpin yang baik.
Ibarat tes “kenaikan kelas”. Tak akan bisa pula kita mengukur seberapa tinggi tingkatan kelas kita dalam bertuhan tanpa kehadiran setan dan iblis. Ibaratnya bagaimana kita bisa merasakan kepuasan diri sampai di puncak setelah berlelah-lelah mendaki gunung. Tak akan kita merasakannya jika hanya jalan datar yang ditempuh.
Setan dan iblis dengan semua godaan dan hasutannya telah memberikan kita kesempatan untuk mencintai diri sendiri. Untuk kita berbangga atas diri sendiri karena telah berhasil menaklukan godaan dan hasutan sehingga bisa secara utuh dan total dalam bertuhan.
Tapi terkadang sering kita melupakan hakikat kehadiran setan dan iblis. Mereka yang sengaja diciptakan untuk membuat kita semakin dekat padaNya, malah sering kita jadikan alat untuk menjauh dariNya. Bukankah seringkali kita menjadikan setan dan iblis sebagai kambing hitam akan semua khilaf dan dosa? Padahal sebenarnya diri sendiri yang sering lupa akan pedoman, akan ajaran.
Seringkali, kita yang sebenarnya adalah pemimpin bumi berlaku seperti anak manja. Ketika berbuat khilaf kita lebih menyesali keberadaan setan dan iblis yang menggoda dan menghasut kita. Sementara terlupa bahwa sebenarnya dirilah yang acap lupa, tak kuat hati, tak kuat usaha untuk menaklukkan godaan.
Berbicara tentang peran, kita, setan dan iblis mungkin memang sama-sama sedang menjalankan peran sebaik mungkin. Setan dan iblis sebagai penjerumus dan penghasut untuk menjauh dariNya. Kita yang diembankan tugas untuk menjadi pemimpin dan selalu berusaha dekat denganNya. Siapa yang akan paling sukses menjalankan peran? Tergantung kita.
Memang tak ada yang patut disalahkan jika sering kita mengutuk setan dan iblis. Tapi apakah benar jika kita selalu menyalahkan rintangan untuk mencapai tujuan? Tujuan bukanlah tujuan jika tanpa rintangan. Bukankah dalam mencapai kedekatan dengan Tuhan, iblis dan setan adalah rintangan yang paling pasti?
Terkadang mungkin pula sering kita secara sembunyi-sembunyi bertanya dalam diri: “Jika Tuhan hanya ingin kita untuk dekat denganNya, mengapa dihadirkanNya pula setan dan iblis untuk menjaukan kita dariNya?”
Lagi-lagi memang benar tak semua keputusan Tuhan bisa kita jawab dengan akal. Tak bisa juga dirasa-rasa dengan perasaan. Manusia hanya bisa meraba-raba. Walaupun sebenarnya sudah ada Al-Quran sebagai jawaban utama atas semua pertanyaan.
Namun, selalu saja kemana kita ingin menyimpulkan, ke sana pulalah akal dan rasa akan membawa kita. Buruk sangka hanya akan menghasilkan dugaan-dugaan sebagai bukti pembenaran. Begitu pula baik sangka yang akan menghadirkan jawaban-jawaban akan kebaikan. Semua tergantung kita.
Tentang keberadaan setan dan iblis, sepandai-pandai kita pula menempatkan. Apakah sebagai alat untuk kita terpacu semakin mendekatkan diri padaNya atau sebaliknya. Lagi-lagi, semua tergantung kita.[]