Home » Gagasan » Bisakah Berharap Pada PKS?
Parlemen adalah lembaga "fikih" modern.

Bisakah Berharap Pada PKS?

3/5 (3)

IslamLib  – Naiknya Sohibul Iman sebagai pemimpin baru PKS memicu respons yang beragam. Banyak harapan disematkan untuk pemimpin baru yang sebelumnya pernah menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina tersebut. Sosoknya yang dikenal progresif, mendorong banyak pihak bertanya-tanya: “Bisakah kini kita berharap kepada PKS?”

Mendaku sebagai partai Islam, PKS tentu saja memiliki sedikit keberuntungan untuk tetap eksis dalam dunia perpolitikan Indonesia. Terbukti lolosnya partai ini dalam parliamentary threshold pasca pemilu 2014 silam, dengan perolehan suara yang tidak begitu mengecewakan untuk sebuah partai papan tengah.

PKS juga memiliki andil cukup besar dalam meramaikan wacana pemikiran Islam di tanah air, terlepas apakah kita suka atau tidak dengan pemikiran mereka. Partai ini juga memiliki kader-kader dengan loyalitas tinggi.

Melalui potensinya tersebut, maka terpilihnya Sohibul Iman sebagai sosok progresif bukan saja menarik untuk diperbincangkan, tetapi juga menabur harapan di tengah masyarakat terkait perubahan arah dan kebijakan partai ini. 

Setidaknya ada dua faktor yang memicu lahirnya harapan-harapan demikian. Pertama, terkait dengan potensi dan peran PKS  dalam hal perebutan kekuasaan; dan kedua, dalam hal perebutan wacana keislaman.

Dalam upaya merebut kuasa, partai ini cukup licin dan menjanjikan. PKS berhasil mendapatkan kursi legislatif pada pemilu 2004 dengan modal suara 7,34%, melesat jauh jika dibandingkan dengan perolehan kursi pada pemilu 1999. Di masa awal berdirinya itu, dengan nama PK (Partai Keadilan), partai ini hanya memperoleh suara 1,3%, atau tidak lolos hingga ambang batas parlemen.

Sampai sekarang PKS memang berhasil mempertahakan dirinya di parlemen. Namun, sebagai catatan saja, keberhasilan mereka lebih banyak ditentukan oleh soliditas para kader. Bukan karena partai ini berhasil membangun citra positif yang bisa mempengaruhi publik secara umum.

Adapun dalam konteks perebutan wacana keislaman, kader-kader PKS cukup berperan. Meskipun mereka kerap menggunakan cara-cara negatif dan kurang berkenan.

Kader-kader PKS dikenal aktif mengampanyekan perlawanan terhadap sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Diduga, mereka melakukan itu dengan mengusung sebuah gerakan bernama Indonesia Tanpa JIL (ITJ).

Beberapa sarjana melihat pengaruh Ikhwanul Muslimin, organisasi garis keras di Mesir, mengental dalam tubuh partai ini. Meski demikian, pengaruh PKS dalam wacana keislaman memiliki dampak yang lebih luas ketimbang gerakan salafi radikal di Indonesia (Bubalo & Fealy, 2005).

Hal tersebut bisa kita lihat melalui banyaknya aktivis dakwah kampus yang berafiliasi kepada PKS. Sebut saja, misalnya, Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK).

Loyalitas kader menjadi nilai tambah tersendiri bagi PKS. Sebab, tidak semua partai memiliki kelebihan ini. Kader-kader PKS cukup solid. Misalnya terlihat saat mereka mendukung fatwa haram terhadap sekulerisme, pluralisme dan liberalisme.

Meskipun, beberapa dari mereka mungkin menyadari bahwa Indonesia tidak bisa survive tanpa ketiga prinsip ini. Islam berhasil menemukan corak khasnya di Indonesia karena merangkul ketiga prinsip penting tersebut.

Antara Optimisme dan Pesimisme. Menurut hemat saya, daripada terus mengecam prinsip yang sesungguhnya positif bagi negeri ini, para petinggi PKS sudah selayaknya mendidik kader-kader mereka dengan nilai-nilai baik sekulerisme, pluralisme dan liberalisme. Bukan malah menghakimi tiga isme tersebut sebagai gagasan haram yang kental dengan budaya Barat. Inilah syarat penting jika PKS ingin berubah haluan menjadi partai yang benar-benar terbuka.

Pada kepengurusan sebelumnya PKS kerap diganggu isu-isu yang tidak produktif. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana partai ini sibuk membela dan memberi penjelasan mengapa Presiden mereka, Luthfi Hasan Ishaq, ditangkap KPK karena korupsi. Bagaimana mungkin sebuah partai yang mengusung nilai-nilai keislaman memiliki pemimpin tercela?

Ini juga menjadi tantangan pertama bagi Presiden PKS yang baru. Dia harus bisa meyakinkan kader-kadernya bahwa integritas antara kata dan perbuatan sangat penting, jika tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalu.

Benar bahwa sikap terbuka PKS sudah diupayakan sejak lama. Setidaknya sejak Mukernas PKS di Bali tahun 2008. Tapi, banyak orang mencurigai keputusan Mukernas tersebut tidak tulus. Hanya demi kepentingan pragmatis saja: untuk mencitrakan dirinya sebagai partai moderat.

PKS harus menyadari bahwa publik sudah cukup cerdas membedakan mana kelompok yang secara tulus benar-benar moderat atau hanya sekadar pencitraan belaka.

Kita bisa menabuh optimisme, jika PKS berhasil mengubah hal-hal yang sebelumnya tidak tulus menjadi tulus, sekaligus memperbaiki hal-hal buruk lainnya yang tidak bisa diampuni oleh publik dalam identitasnya sebagai partai Islam. Jika tidak, pesimisme akan menetap sebagaimana terhadap kepengurusan sebelumnya yang tanpa prestasi.

Pengaruh JIL dan Paramadina. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, dari mana perubahan itu berasal? Atau jika boleh saya ajukan petanyaan yang lebih spesifik, adakah pengaruh JIL dan Paramadina dalam Musyawarah Majelis Syuro PKS yang berlangsung pada 10 Agustus lalu, sebagaimana ramai diperbincangkan masyarakat?

Di sini saya tidak berkesimpulan tentang adanya intervensi JIL atau Paramadina terkait terpilihnya Sohibul Iman. Tetapi jika benar JIL berhasil mempengaruhi hasil Musyawarah Majelis Syuro PKS, maka ini adalah sukses besarnya yang tidak bisa dilupakan dalam sejarah.

Secara pribadi, saya percaya bahwa pengaruh JIL atas naiknya Sohibul Iman hanyalah praduga orang-orang yang terlalu fobia dengan organisasi yang satu ini. Apakah intervensi JIL dalam proses pemilihan Sohibul Iman melalui komunikasi dengan para petinggi PKS itu benar adanya? Saya kira, pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh Ulil Abshar-Abdalla dan rekan-rekannya di JIL.

Tetapi bila yang dipertanyakan di sini terkait dengan pengaruh kultural—kemungkinan terbawanya nilai-nilai yang diperjuangkan JIL dalam tubuh PKS—itu bisa saja terjadi.

Seperti diketahui, selama ini JIL aktif mengampanyekan prinsip keadilan, kesetaraan dan kebebasan yang berorientasi pada ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah. Dan pantas diakui, gagasan tersebut lebih bisa diterima publik ketimbang ide syariat Islam yang problematik, apakah dari segi nilai maupun penerapannya.

Sehingga, disetujui atau tidak, pada dasarnya publik lebih bisa menerima gagasan yang dibawa oleh JIL, meskipun kerapkali mereka mengambil posisi sebagai silence majority atau beberapa di antaranya menolak dikait-kaitkan dengan organisasi ini.

Misalnya perdebatan seputar kompatibilitas Islam dengan demokrasi. Di awal tahun 2000-an, perdebatan tersebut pernah menguat dengan respons yang cukup keras dari beberapa kalangan masyarakat. Tetapi sekarang, persoalan ini seolah menjadi wacana usang yang tidak perlu lagi diperdebatkan.

Kini kita bisa melihat bagaimana publik mengamini nilai-nilai demokrasi yang sejalan dengan ajaran Islam. Dan sebaliknya, kita mulai mencium sinisme di masyarakat terhadap organisasi seperti HTI, yang hingga sekarang masih mengidamkan tegaknya Khilafah Islamiyah.

Fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai indirect influnce dari gerakan JIL yang mengusung cara pandang baru dalam memahami Islam. Sehingga, melalui ijtihadnya itu, JIL mampu membawa masyarakat sampai pada satu kesimpulan: apa yang dibawa demokrasi bukanlah gagasan yang sama sekali asing dalam tradisi agama ini.

Perlu diakui, JIL berhasil mendakwahkan gagasannya tersebut kepada masyarakat luas. Tentu saja tanpa bermaksud mengabaikan peran NU dan Muhammadiyah dalam misi demokratisasi ini.

PKS yang secara embrio terlanjur dekat dan dikaitkan dengan Ikhwanul Muslimin, mau tidak mau harus menghindari kesalahan yang sama sebagaimana HTI. Tuduhan sinis sebagai anti demokrasi harus dihindarinya demi tetap eksis di hadapan publik. Sebab, jika partai ini bersikeras melawan arus publik, tentu pamornya akan cepat tenggelam.

Atas alasan pragmatis tersebut, meskipun Sohibul Iman pernah menjabat sebagai rektor Universitas Paramadina yang didirikan Cak Nur, PKS tidak lantas menjegalnya dalam mencapai kursi kepemimpinan.

Padahal, kita tahu bagaimana sikap kader-kader mereka selama ini terhadap ide dan sosok Cak Nur. Tetapi karena secara kultural gagasan-gagasan Cak Nur tidak problematik di masyarakat, sehingga latar belakang intelektual Sohibul Iman tidak lagi dipersoalkan.

Akhirnya, apakah benar pengaruh JIL dan Paramadina begitu kental dalam pemilihan Sohibul Iman, bukanlah pertanyaan penting yang harus diawasi PKS. Partai ini memang sudah seharusnya berevolusi. Ia sudah semestinya mengubah cara-cara kuno yang nampak bertentangan dengan demokrasi dan pluralitas bangsa kita. Terpilihnya pemimpin dari kalangan progresif bisa menjadi nutrisi baru bagi keberlangsungan PKS di masa yang akan datang.

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.