Dan ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pengajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. (QS An-Nahl: 125)
IslamLib – Islam adalah agama yang dianut banyak manusia di muka bumi. Dengan segala potensi yang ada dalam ajarannya, Islam menjadi salah satu media perdamaian yang diharapkan mampu mendukung terciptanya peradaban masyarakat yang damai. Islam, yang dalam bahasa Arab berasal dari kata salima yang bermakna selamat, tentunya perlu diarahkan menuju makna yang dimaksud dari kata tersebut bagi para pemeluknya.
Sebagai sebuah ajaran, tentu saja diperlukan sebuah transformasi dan penyebaran yang masif lagi rutin agar ia dapat dikenal, dipahami, serta diamalkan. Nabi Muhammad SAW telah memulai dakwah yang begitu santun dan berhasil memberi warna pada peradaban Arab masa itu.
Sejarah menyebutkan, sebagaimana dalam buku Sirah ibnu Hisyam maupun kitab The History of Arabs karya Phillip K. Hitti, bahwa Nabi Muhammad adalah sosok pemimpin di kalangan Arab yang diperhitungkan pengaruhnya, baik dalam politik dan moralitasnya, diakui oleh pemuka kaum Arab sendiri maupun oleh raja-raja di luar daerah Hijaz – Makkah dan Madinah.
Nyatanya, pengaruh kuat Rasulullah SAW itu memberikan sebuah isyarat penting bahwa ajaran Islam yang diwahyukan kepada beliau bukan hanya soal bagaimana mencipta ketaatan pada Tuhan secara vertikal.
Dalam pelbagai ayat Al Quran juga dalam hadis-hadis banyak disebutkan mengenai perihal laku Nabi Muhammad menggerakkan kondisi masyarakat untuk terus berkembang dan berkemajuan dalam berbagai bidang.
Tentu saja Nabi dengan persepsi kemanusiaan beliau, menyadari bahwa bangsa Arab adalah kaum yang banyak memiliki persoalan baik secara kesukuan, adat istiadat, serta kesetaraan masyarakat. Maka sebagian sejarawan menyebut masa itu dengan Jahiliyah, berdasarkan ketimpangan sosial yang terjadi – dengan berbagai pengertian yang bermacam-macam.
Setidaknya dengan latar belakang yang demikian, Nabi menjadi salah satu pelopor kemajuan dengan curahan wahyu Tuhan yang beliau emban. Sekali lagi, dakwah Nabi bukan hanya soal menuju keimanan pada yang Maha Luhur, namun juga mengajak umat untuk mewujudkan keberadaan-Nya dalam laku sehari-hari secara nyata.
Dakwah Menuju Optimisme. Nabi Muhammad pada masa awal dakwahnya, hal yang terpenting untuk beliau sampaikan kepada masyarakat Makkah adalah soal bagaimana mengenal dan mengimani Tuhan, serta bagaimana tetap bersikap optimis dalam keadaan yang tidak menguntungkan para pengikutnya.
Dari sini kita tahu bahwa lewat dakwah awalnya, Rasulullah menanamkan sikap optimis pada umatnya untuk tetap teguh dalam iman. Maka, sikap yang hendaknya dimiliki seorang mukmin adalah optimis.
Dengan berbagai cercaan dan perlakuan kelompok yang tidak menyukai keberadaan ajaran beliau, nyatanya dengan optimis Nabi tetap konsisten menyerukan kebaikan. Penganut Islam semakin banyak, dan setidak-tidaknya Islam sebagai sebuah ajaran agama mulai diperhitungkan di Makkah.
Bahkan, Islam mulai dikenal di daerah yang lebih luas, sebagai ajaran Muhammad yang mengajak kepada tingkatan moral yang lebih luhur, sebagaimana beliau sabdakan: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
Selanjutnya kita lihat dalam perjalanan sejarah, umat Islam mencapai banyak prestasi dengan bekal optimisme baik pada dirinya, kaumnya, serta pada jaminan Tuhan.
Tapi patut kita cermati juga, bahwa optimisme Nabi Muhammad tidak menonjolkan sikap ingin menguasai keadaan Arab saat itu, serta meniadakan yang lain. Beliau agaknya menyadari bahwa proses perubahan sebuah masyarakat memiliki tahapan yang tidak singkat, dan demi meneruskan perjuangan panjang itu, Nabi menularkan sikap optimis.
Tidak ada hasrat kekuasaan maupun sekedar pengaruh di pentas perpolitikan semata. Beliau mengharapkan sebuah peradaban yang mulia.
Meski keadaan tidak menguntungkan, bahkan harus melalui banyak perundingan dan peperangan, umat Islam dibekali sebuah sikap bahwa mereka hendaknya menjadi khaira ummah, yaitu: “umat terbaik yang berasal dari sebuah kaum, menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran.”
Selain itu, dalam pemahaman soal kebaikan dan kemunkaran tersebut, Nabi mengajak umatnya untuk bersikap adil dan bijak– bukan hanya soal apa yang dianggap benar dan dipaksakan adanya. Optimisme Nabi adalah sikap optimis yang dialogis, santun, serta berasaskan kejujuran dan kesetaraan.
Dakwah dan Keadaan Umat Hari Ini. Bagaimana keadaan sekarang ini? Pertanyaan ini agaknya sulit untuk dijawab secara singkat. Pada kenyataannya, kita tidak bisa memberi jawaban bahwa keadaan bangsa serta masyarakat Indonesia saat ini sedang “baik-baik” saja. Membincang hal ini, nampaknya turut membicang tentang umat Islam sebagai agama yang dianut mayoritas warga Indonesia.
Kerap kali kita dengar ada beberapa ceramah yang mengatakan bahwa umat Islam ini seperti buih di lautan: banyak tapi kian tidak berarti. Belum lagi disebutkan pula bahwa keadaan masyarakat amat mengkhawatirkan: maraknya kriminalitas, korupsi di kalangan pejabat, sandiwara para penguasa, masjid-masjid yang kian sepi, intoleransi, serta kiranya masih banyak lagi celah-celah kekurangan umat muslim negeri ini.
Seakan-akan, tak bisa kita mengharapkan kemunculan orang yang benar-benar sepenuhnya bermaksud baik di dunia ini; kita menyimpan curiga pada sesama. Kita pun ingin bertanya: apa yang bisa diharapkan dari dunia seperti ini?
Allah menyebutkan bahwa salah satu hakikat manusia adalah suka berkeluh kesah (QS. Al Insan: 9). Tentu saja, jika melihat sejarah masa Jahiliyah, kita pun dapat merasakan adanya keluh kesah dari orang-orang yang tertindas saat itu.
Jahiliyah menjadi sebuah masa yang dipenuhi ketakutan dan ketidakadilan. Karena itulah, Nabi Muhammad hadir menjadi sosok yang mengangkat derajat kaum tertindas dan menyuarakan optimisme.
Beliau mengajak umat untuk yakin bahwa banyak hal di dunia ini yang masih bisa diperbuat, demi kebaikan untuk masa mendatang dan hari akhir kelak. Umat tidak diajak bersembunyi dari keadaan, melainkan percaya diri menghadapi realita dengan iman yang kuat.
Kebenaran yang diyakini dengan penuh optimisme, barangkali berbenturan dengan kenyataan bahwa kebenaran yang diyakini sering kurang dapat diterima masyarakat yang ada. Maka di sinilah sebuah dialog, sebuah interaksi yang santun dibutuhkan.
Optimisme dalam dakwah yang menggebu-gebu itu tidak serta merta harus meniadakan yang lain. Masyarakat tentunya amat merindukan keteduhan dalam pesan-pesan yang disampaikan.
Da’wah, berasal dari kata da’aa yang memiliki makna memohon, mengajak, juga memanggil. Mungkin secara sederhana dari makna-makna tersebut, kita sedikitnya tahu: bagaimana tata krama seseorang yang mengajak, memohon, dan memanggil – sesuai dengan makna-makna yang tercakup dalam kata da’aa tersebut.
Apakah kiranya seseorang bisa mengajak orang lain dalam damai dengan kata-kata yang menimbulkan rasa takut? Atau, pantaskah seseorang memohon pada yang lain dengan sikap yang tidak menunjukkan kepercayaan diri?
Kita tahu dakwah pun tak lepas dari adab, tata krama yang mungkin tampak sederhana tapi nyatanya memberi banyak makna.
Meski memang keadaan umat manusia, umat muslim khususnya, tidak sebaik yang diharapkan banyak pihak, tapi dimulai dari tiap celah ceramah, dari sekian pengajian, dari banyaknya majelis shalawat, seorang bijak tentu akan tetap mengajak umat pada prasangka baik terhadap Allah.
Rasa optimis itulah yang menjadikan umat tetap bergairah dalam setiap aktivitas, baik belajar maupun bekerja; terus mengharap kebaikan dan menebar kedamaian untuk sesama. Mereka menyadari bahwa sebaik-baik bekal dunia, adalah bekal takwa kepada Allah – dan dunia adalah ladang kebaikan untuk hari yang akan datang.
Kita pun tahu, bahwa setiap kebaikan dan semangat optimis dari siapa pun, ia selalu menular dan menyebar pada orang di sekitarnya.