IslamLib – Dua kakak saya Wahabi tulen, bahkan saya pun dari kecil hingga SMA Wahabi sejati. Anehnya, orang-orang Wahabi ini, tidak ada yang mau disebut bahwa dirinya Wahabi. “Saya bukan Wahabi, tapi Islam murni,” begitu jawabnya ketika berargumen. Saya pun begitu, bahkan tidak tahu apa itu Wahabi sampai membaca berbagai buku tentang Wahabi. Namun tetap, kalau disebut Wahabi juga tidak mau. Pasti mengelak.
Gerak-gerik dan tindak-tanduk Wahabi itu gampang dikenali. Selalu resah melihat orang lain yang berbeda dengan dirinya. Tidak pernah nyaman ketika ada perbedaan.
“Nahi Munkar Amar Makruf” harus ditegakkan (sengaja didahulukan nahi munkar-nya, karena memang bertindak keras atas apa yang menurut dirinya salah lebih didahulukan daripada berbuat baik dengan memberikan contoh mengenai “apa itu kebaikan”. Surga dan Neraka itu ada di tangannya. Yang ini ke surga, yang itu ke neraka.
Itu bukan isapan jempol belaka. Pernah selama masa SMA itu saya adalah seorang pencuri ulung. Karena dicuci otak, dicekoki pemahaman bahwa: masa sekarang adalah masih “Periode Mekkah”. Belum Periode Madinah. Di mana hukum-hukum sudah sempurna, semua syariat diterapkan, sudah ada kekhilafahan Islam.
Jika itu sudah terwujud, barulah bisa disebut Periode Madinah. Ini yang terus ditanamkan dalam otak para jemaah Wahabi. Maka, karena masih periode Mekkah, haramnya mencuri belum berlaku. Jadi, boleh mencuri dari orang lain yang kita anggap kafir. Halal merampas harta orang lain.
Setiap ke toko atau warung tangan saya terampil untuk mengambil barang. Mengambil lho ya, meskipun itu mencuri, tapi keyakinan saya waktu itu adalah mengambil. Ajaibnya, saya tidak pernah ketahuan atau tertangkap ketika mengutil barang.
Inilah bahaya “ketika perbuatan salah dibalut oleh rasa percaya diri dan dilabeli halal karena punya otoritas Tuhan”, akan berganda kekuatannya dibanding dengan yang mencuri karena terdesak kebutuhan.
Ada multi-power yang tersalur dalam energi pelaku kejahatan ketika ia mendasarkan perbuatannya karena pengaruh magis dari otoritas Tuhan.
Periode Wahabi hingga SMA berlalu. Ditandai dengan beralihnya bapak saya ke Syiah. Bapak juga dulu Wahabi sejati. Lebih Wahabi dari anak-anaknya. Selama berbulan-bulan hubungan antara anak dan ayah kurang harmonis.
“Bapak sudah kafir, sudah beralih ke Syiah yang sesat dan menyesatkan, yang menyembah Ali sebagai Tuhan, sukanya mut’ah, Qurannya beda, salatnya hanya tiga waktu.”
Begitulah protes kami sebagai anak. Dikarenakan memang informasi itu yang selalu didengar dari mursyid kami tentang Syiah.
Pokoknya periode mendestruksi pemikiran dari Wahabi ke Syiah bukan perkara gampang. Asyiknya orang Syiah itu lebih rasional. Argumen selalu berdasarkan alasan logis. Berbeda dengan orang Wahabi di mana agama tidak boleh didekati oleh akal.
“Kalau agama didekati oleh akal maka Nabi Musa tidak pernah mau menyeberangi lautan ketika Allah memerintahkan memukul tongkat ke lautan saat Fir’aun mengejarnya.”
Itu tidak masuk akal, mengapa ketika dikejar musuh malah diperintah memukulkan tongkat ke lautan, bukan disuruh mukul tongkat langsung saja ke Fir’aunnya?
“Tetapi Musa tidak menggunakan akal, melainkan iman,” begitu argumen para Wahabi di dalam menolak peran akal. Meskipun sesungguhnya ketika berargumen seperti itu mereka sedang menggunakan peran akal juga, sehingga agak logis terdengarnya.
Kakak saya lebih Wahabi dari saya, dan hingga saat ini masih tetap Wahabi, sedangkan saya waktu itu terbawa ke jalur Syiah hanya karena satu pertanyaan saja dari bapak saya. Begini dialognya:
“Kamu tahu dari mana Allah itu ada, Allah itu Esa?”
“Dari Quran sebagai kitab yang sempurna yang dibawa oleh Nabi Muhammad,” jawab saya dengan yakin.
“Quran itu dari mana?”
“Dari Allah lah.”
“Nah, kan sekarang kita lagi mempertanyakan Allahnya, sementara kamu jawab dengan menggunakan Quran sebagai produk dari yang sedang dipertanyakan. Tidak bisa. Itu lingkaran setan namanya.”
Benar juga. Mulai agak mikir. Mentah semua yang diajarkan oleh sang mursyid saya selama bertahun-tahun hanya dengan satu pertanyaan.
“Dari alam ini, saya tahu bahwa Allah ada. Ada alam pasti ada penciptanya. Tidak mungkin ada secara sendiri,” jawab saya lagi.
“Tidak bisa juga begitu. Kalau kamu tahu Tuhan dari alam ini, berarti yang harus dulu ada adalah alamnya bukan Tuhan. Karena kamu tahu Tuhan melalui alam. Tuhan jadi terikat oleh alam. Bukan Tuhan lagi itu namanya.” Benar juga.
Pertanyaan itulah yang kemudian mengubah saya menjadi pengagum Syiah. Sebatas pengagum, karena menjadi Syiah sejati itu tidak gampang, tidak ada yang pernah bisa menjadi Syiah sejati kecuali para ulama.
Sejak saat itu, terlebih lagi selama 6 tahun kuliah di perguruan tinggi khusus Syiah, digembleng dengan sistem hauzah, diperkenalkan dengan berbagai pemikiran dari ahlul bait, paradigma berpikir dan seluruh tindak-tanduk saya berubah total. Dari Wahabi menjadi ala Syiah. Mencuri? Tidak lagi.
Dalam Syiah, logika rasional sangat ditekankan, bahkan wajib. Aqidah yang menyangkut keesaan Allah, keadilan, kenabian, imamah, dan hari akhir harus menggunakan pendekatan rasional, tidak bisa melalui taqlid.
Pelajaran dasar logika dan filsafat yang menggunakan metode rasional dengan sendirinya menjadi prasyarat mutlak. Tak heran jika orang-orang Syiah itu terlatih untuk berargumentasi karena memang logika, filsafat, dan mistisisme adalah makanan sehari-hari.
Mistisisme saya tambahkan di situ karena menjadi poin plus tersendiri dalam Syiah. Meskipun aliran rasionalnya sangat kental, tapi ritual-ritual keagamaan, doa-doa dan pendekatan mistisisme (tasawuf) juga sangat kental. Setiap malam Jumat dilakukan doa Kumayl, setiap malam Rabu dilakukan doa Tawassul, serta doa dan ritual-ritual lain yang seabreg jenisnya.
Siapa saja yang membaca doa Kumayl tentu akan merenungkan maknanya. Doa Kumayl ini mengaduk-aduk perasaan, sebentar-sebentar kita diajak berpikir merenungi makna terdalamnya tetapi kemudian akan menangis karena muatan-muatan di dalamnya sangat luar biasa. Dari Doa itu saja kita bisa yakin bahwa Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sosok luar biasa.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang telah mengoyak tirai kesadaran.
Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang telah menurunkan amarah-Mu.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku yang telah mengubah nikmat-nikmat.
Ampunilah dosa-dosaku yang telah menghalangi naiknya doa (kepada-Mu).
Ya Allah ampunilah dosa-dosaku yang telah menurunkan bencana.
Engkau tahu jelas betapa lemahnya aku yang tidak mampu bertahan atas bala di dunia dan hukuman yang sedikit ini, atas segala yang menimpa penduduknya dari kesusahan-kesusahan.
Padahal bala dan kesusahan itu hanya sedikit, sebentar, dan pendek masanya.
Lalu bagaimana mungkin aku bertahan dalam bala dan siksa akhirat dan segala hukuman yang ada di sana?
Demikian beberapa bait Doa Kumayl. Doa Kumayl ini doa panjang yang isinya semua tentang keluh kesah hamba di hadapan penciptanya. Kalau dilihat secara seksama semacam bilik pengakuan dosa.
Di sinilah Syiah memiliki keunggulan, yaitu mistisisme di satu sisi dan rasionalisme di sisi lain. Sementara di belahan dunia Sunni, filsafat malah diharamkan. Maka, bagi yang haus dengan rasionalisme mau tidak mau akan melakukan crossing over ke pemikiran-pemikiran Barat.
Tibalah masa-masa setelah kuliah di mana saya bergelut dengan realitas. Ternyata dunia tidak selebar daun talas. “Harus banyak piknik,” kata orang.
Menjadi kaum minoritas di tengah-tengah kaum mayoritas yang berbeda pemahaman sangat tidak mudah. Cara ampuh yang harus dilakukan adalah dengan menyesuaikan diri menjadi kaum mayoritas. Ini tidak mudah bagi Syiah yang memiliki pemahaman konservatif.
“Kalau merasa minoritas, akan selamanya menjadi minoritas. Bergabung dong dengan mayoritas, maka akan menjadi mayoritas.” Ungkapan ini saya dapat dari salah seorang mantan dosen saya. Ungkapan singkat tapi untuk dilakukan perlu sejumlah pengorbanan besar.
Harus ada upaya perubahan paradigma pemikiran kembali, dari Syiah yang secara ajaran itu tidak diragukan lagi. Namun, hidup ternyata bukan hanya tentang kebenaran.
Ada hal penting dalam hidup ini selain membela kebenaran. Yaitu menjaga persatuan dan kerukunan. Dua hal itu lebih utama daripada mempertahankan kebenaran versi individu. Kebenaran hanya milik Allah Swt. Manusia tidak berhak untuk mencap memiliki kebenaran.
Atas dasar itu, maka transformasi diri kini menjadi ISIS: Ikut Syiah, Ikut Sunni dan Ikut Semua.
Ikut ke semua kebenaran, karena kebenaran bukan hanya milik Syiah, bukan hanya milik Sunni, bukan hanya milik Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha. Kebenaran adalah milik dan untuk semua manusia.
“Ambillah hikmah darimana pun ia berasal, meskipun keluar dari mulut seorang Yahudi.”[]