IslamLib – Ketika anda berhadapan dengan sebuah kota besar seperti Frankfurt, Jakarta, New York, atau London, apa yang bisa anda katakan? Di sana anda berhadapan dengan sesuatu yang tanpa susunan: gedung-gedung yang berserakan di mana-mana, mall, restoran, pedagang jalanan, taman kota, pohon-pohon, jalanan, tiang listrik, dan benda-benda lain yang tak terbilang jumlahnya.
Anda berhadapan dengan sebuah ruang yang mirip seperti debu yang bertaburan, tanpa bentuk, tanpa susunan. Tentu saja ada arsitektur di sana. Ada gedung yang indah, dengan arsitektur yang megah. Tetapi jika anda melihat seluruh lanskap kota dari suatu ketinggian, dengan mata elang yang melayangkan pandang, anda akan berhadapan dengan ruang yang tanpa bentuk. Anda akan melihat sebuah ruang yang lentuk dan meleleh seperti bentuk-bentuk geometri dalam lukisan Salvador Dali.
Di sana, anda juga berhadapan dengan ribuan orang yang bergerak tak beraturan. Pemandangan yang selalu menarik perhatian saya adalah orang-orang yang berjalan dengan bergegas di kota-kota besar. Tentu saja mereka sedang mengejar sesuatu. Mungkin kereta yang segera berangkat. Mungkin pertemuan dengan partner bisnis yang menentukan nasib mereka di masa depan. Mungkin kencan pertama dengan gadis atau laki-laki yang sedang meunggu tak sabar.
Mungkin juga mereka tak mengejar apapun, kecuali hanya dorongan spontan untuk berjalan dengan tergesa, mengikuti gerak orang-orang lain. Sebab semua orang melakukan hal yang sama: berjalan dengan tergesa. Kecepatan tampaknya kebajikan utama dalam ruang modern.
Tetapi apa yang bisa anda katakan tentang ribuan orang yang bergerak tergesa itu? Saya melihat mereka seperti semburat jutaan titik warna-warni dalam lukisan abstrak yang tak berbentuk. Semua orang tergesa untuk mengejar tujuan dan “telos” mereka sendiri-sendiri. Tetapi jika anda lihat dari suatu ketinggian, ribuan orang yang berhambur di kota itu bergerak tanpa pola. Mereka adalah sebuah hamparan yang tanpa struktur.
Sebuah kota, jika ditelaah dari sudut tertentu, agak mirip dengan sebuah teks yang terbuka pada banyak tafsir. Saya akan ambil contoh kota Frankfurt yang baru-baru ini saya kunjungi. Di kota ini, siapapun akan berhadapan dengan ruang dan waktu yang tak berbentuk, seperti debu yang bertaburan. Semua orang bisa membentuk “struktur” tertentu dari ribuan debu itu.
Sayyid Qutb, misalnya, adalah contoh menarik bagaimana seseorang yang berhadapan dengan ruang tak berbentuk itu mencoba memberikan struktur atas ketidak-strukturan. Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin dari Mesir itu, pernah melewatkan beberapa tahun untuk belajar di sebuah kolej di Greely, Colorado, Amerika Serikat. Saya membayangkan Qutb berhadapan dengan sebuah ruang sosial yang “asing”, yang berbeda dengan Kairo dari mana ia berasal. Dia berhadapan dengan ruang yang dianggapnya sebagai tempat persemaian apa yang ia sebut peradaban “jahiliyyah” yang kotor dan bangkrut.
Tetapi Rifaa Tahtawi (1801-1973), sosok penerjemah liberal, juga dari Mesir, memililih struktur yang lain. Tahtawi pernah hidup di Paris selama lima tahun, menjadi semacam pengawas bagi mahasiswa Mesir yang belajar di Perancis. Tahtawi berada di Paris pada akhir abad ke-19. Sama dengan Qutb, Tahtawi berhadapan dengan ruang sosial yang sama: ruang yang kabur, tak berbentuk. Ia harus memberinya struktur sendiri.
Hanya, beda dengan Qutb, Tahtawi memilih untuk memberikan kepada kota Paris sebuah bentuk yang berbeda, sebuah struktur yang lebih positif. Ia melihat Paris sebagai kota di mana banyak hal baik dipelajari. Paris dan Kairo, di mata Tahtawi, tak harus dilihat sebagai dua ruang yang saling tabrakan. Kairo bisa belajar hal-hal positif dari Paris. Sikap Tahtawi terhadap kultur Pencerahan sangat terbuka. Ia tidak mengutuknya sebagai sumber kejahiliyyahan seperti Qutb.
Jika anda berada di “Kota Manusia” (ini adalah istilah dari St. Augustine), anda akan berhadapan dengan ruang tak berbentuk yang membuka segala kemungkinan bentuk. Anda bisa melihat Frankfurt sebagai “kota kafir” karena di sana hukum Tuhan tidak secara harafiah dijadikan sebagai “marja’iyyah” atau rujukan moral-etis yang utama. Sama dengan Qutb, anda bisa saja membaca Frankfurt sebagai “the city of unbelief”.
Tetapi anda bisa juga memberikan struktur yang lain pada kota ini. Mengikuti Tahtawi, anda bisa memberikan bentuk yang positif: kota di mana ruang publik disusun begitu rupa sehingga terasa “humanistis”, manusiawi, bagi warga yang tinggal di sana. Rumah Tuhan –gereja, sinagog, masjid, kuil—mungkin bukan merupakan “civic building” yang utama. Tetapi ia tetap diberikan ruang, dan dirawat, seperti Katedral Bartolomeus yang sedang direnovasi itu.
Sebuah kota adalah seperti waktu yang mengalir tanpa bentuk. Sebuah kota adalah seperti “stream of consciousness”, arus kesadaran yang mengalir tanpa henti, tanpa susunan. Tugas pengkisahlah menjadikan arus yang tak berbentuk itu menjadi sebuah kisah yang bermakna. Mengisahkan sesuatu, seperti kata Riceour, adalah seperti memberikan struktur kepada hamparan peristiwa yang tergeletak tanpa susunan yang jelas dalam ruang dan waktu.
Setiap saya melihat kota, saya selalu menghadapi pengalaman yang sama: saya harus mencari bentuk, struktur, agar kota yang saya hadapi itu bisa bermakna bagi saya. Makna itulah yang memungkinkan saya untuk mengisahkan dan menulis tentang kota itu dari sudut tertentu.
Dalam sebuah kota, mungkin tak akan pernah kita temukan apa yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai “das Ding an sich”, kenyataan pada dirinya sendiri. “Das Ding” itu harus kita temukan sendiri. Dan itu hanya mungkin jika kita memiliki “struktur” dalam diri kita sendiri. Saat Qutb pergi belajar di Colorado, dia tampaknya telah membawa “Kairo” di dalam dirinya. Dia suda memiliki struktur tertentu dengan mana ia merumuskan Amerika.
Sementara Tahtawi, memiliki cara yang lain. Ia mungkin saja telah membawa struktur tertentu dari kota asalnya: Kairo. Tetapi, ia tak menganggap struktur kekairoan itu sebagai “das Ding”, sebagai esensi yang statik. Dia membuka dirinya kepada kemungkinan untuk berubah dan belajar dari ruang sosial baru yang tak berbentuk di Paris itu.
Qutb dan Tahtawi adalah dua paradigma tentang bagaimana seorang beriman berhadapan dengan sebuah ruang dan waktu yang “unholy”, dan bagaimana memberikan bentuk dan struktur kepadanya. Qutb adalah seorang esensialis yang membawa struktur yang dia imani sebagai suatu esensi yang statik, sebagai standar tunggal dengan apa segala hal mesti diukur.
Sementara Tahtawi adalah paradigma lain: dia memandang struktur sebagai “strukturasi”, sebagai kegiatan memberi bentuk. Sebagai kegiatan ia harus bisa bergumul secara resiprokal dengan kenyataan empirik yang tanpa benuk. Strukturasi adalah kegiatan yang bersifat dua belah pihak: si subyek membenuk sesuatu yang tanpa bentuk; dan kenyataan empririk juga ikut membentuk pandangan si subyek.[]