Sebagai fokus pasar penjualan dan bisnis, fashion wanita berhijab atau berjilbab kian marak dan kompetitif. Karenanya, penyedia barang dan jasa pun harus lebih kreatif mengembangkan label mereka. Salah satu produk yang kian berkembang adalah label syar’i, yang sebelumnya jarang terdengar.
Label syar’i memperkenanlkan jubah dan jilbab panjang dengan harga yang lebih tinggi tentunya, karena menggunakan lebih banyak bahan. Konon model dan desainnya berdasarkan Alquran dan Hadis. Namun, dalam realitanya banyak bahan yang tipis, transparan, membentuk tubuh dan pastinya lebih menggairahkan para pria penikmat keindahan Tuhan.
Jilbab dalam kamus al-Mu’jam al-Wasith 1/128 disebutkan memiliki beberapa makna, yaitu qamish (sejenis jubah), kain yang menutupi seluruh badan, khimar (kerudung), pakaian atasan seperti milhafah (selimut), semisal selimut (baca: kerudung) yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya. Namun dalam definisi masyarakat Indonesia, makna jilbab direduksi menjadi penutup kepala dan sering dikelirukan dengan khimar.
Penggunaan jilbab dan batasan aurat yang harus ditutupi dibahas dalam surah al-Nur: 31 sebagai referensi yang paling banyak digunakan, karena lebih detail dan bermakna literal disamping surah al-Ahzab: 59. Sedangkan, pembahasan mengenai aurat dalam surah al-A’raf: 26 menekankan pemahaman tawakal sebagai benteng diri.
Syrah al-Nur: 31 membahas golongan nonmuhrim dan muhrim yang diperbolehkan melihat aurat wanita. Namun, batasan aurat pun masih diperdebatkan oleh para ulama. Perhiasan (aurat) dapat dimaknai kemaluan dan bagian privat lainnya. Namun, ada pula yang memaknai aurat sebagai seluruh tubuh termasuk kaki kecuali wajah dan telapak tangan.
Ada juga yang memaknainya sebagai batasan kesopanan yang berbeda dan fleksibel, tergantung lingkungan sekitarnya. Ratu Rania dari Jordan dan Putri Lella dari Maroko, merupakan contoh golongan ketiga yang menempatkan batas kesopanan berdasarkan kepantasan.
Pahlawan wanita seperti Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia, R.A Kartini, Dewi Sartika dan banyak lagi, merupakan contoh syuhada di zamannya. Tjut Nyak Dien yang merupakan hafidzah dikenal dengan nama Nyi Ratu dan mengajarkan pembacaan Alquran setelah menjadi buta dan dibuang di Sumedang.
Mereka tidak menggunakan Jilbab sebagaimana kita memahami jilbab syar’i pada saat ini. Rupanya, pemahaman agama tauhid yang lebih holistik dan fleksibel telah dicontohkan oleh para syuhada kita itu.
Jilbab memiliki makna yang mendalam sebagai identitas Muslim, bukan hanya Muslimah. Karena wanita adalah penentu dan tombak keseimbangan suatu kaum/masyarakat. Dalam bukunya yang berjudul Sarinah, Bung Karno bahkan dianggap sebagai feminis karena membahas peranan penting wanita dalam merebut kemerdekaan.
Meski demikian, apakah jilbab adalah identitas Muslim sebagai pembeda dari ajaran sebelumnya? Ternyata masyarakat Yahudi, khususnya kaum ortodoks Yahudi seperti kalangan Hasidic, juga menganjurkan kaum wanitanya, terutama yang sudah menikah, untuk mengenakan kerudung yang lazim disebut “tichel”.
Cara berpakaian sangat diatur di kalangan Yahudi, yaitu “tzniut” yang antara lain laki-laki maupun wanita dianjurkan atau bahkan wajib menutup kepalanya. Mantilla, kain berenda berbahan sutra juga digunakan sebagai penutup kepala hingga bahu yang digunakan oleh wanita Katolik Roma.
Dari segi budaya penggunaan, dupatta—syal longgar digunakan untuk kesopanan—yang pada umumnya menutupi kepala dan menggantung di atas bahu, banyak digunakan oleh wanita Asia Selatan seperti India dan Banglades, dan ini tidak hanya umum di kalangan Muslimah. Bermacam jenis dan nama penutup aurat telah dipublikasikan oleh Woman-and-Their-Veils. Dapat kita simpulkan bahwa menutup aurat bukan hanya bagi Muslimah, tapi juga bagi agama-agama semitik khususnya dan “kepantasan” sosial.
Di Indonesia, kebangkitan penggunaan kerudung dan Jilbab dimulai sejak kejatuhan Soeharto di masa Reformasi. Jilbab menjadi simbol identitas, bukan hanya melambangkan agama namun juga sebagai simbol “ kebangkitan” setelah zaman otoriter berakhir. Masih segar dalam ingatan bagi Muslimah kelahiran tahun 60-90-an, bagaimana identitas agama ditekan oleh rezim Orde Baru.
Penggunaan jilbab dan atribut keagamaan dilarang, beasiswa bagi mahasiswa berjilbab dipersulit, bahkan foto kelulusan dan Kartu Tanda Penduduk harus terlihat telinga sehingga jilbab harus ditinggalkan demi urusan kenegaraan. Namun, dengan adanya kebebasan dan demokrasi, perlahan diskriminasi terhadap pengguna jilbab berkurang. Jilbab sebagai reaksi sosial merebak sangat cepat seiring menjamurnya partai politik bernuansakan Islam.
Sekarang situasinya terbalik. Mereka yang tidak atau belum menggunakan jilbab, menghadapi tekanan sosial untuk menunjukkan “kemuslimahannya”. Dengan berkembangnya Muslimah lifestyle dan berbagai kecenderungannya, rasanya ketinggalan zaman kalau tidak mengikuti tradisi tersebut, apalagi bagi yang sudah menikah.
Wanita yang telah menikah dan memiliki anak, cenderung memilih menjadi wanita Muslimah. Alasannya bisa beragam: tuntutan suami, desakan lingkungan, mengikuti mode dan tentu saja karena hidayah Allah.
Selama jilbab menjadi ranah pribadi, kita dapat bertoleransi akan perbedaan. Masalah muncul ketika pelabelan dari satu pihak yang menyatakan bahwa pihak lain yang tidak sependapat atau berbeda cara model dalam menafsirkan jilbab, dianggap sebagai domba tersesat yang belum menemukan jalannya.
Gerakan “Islamisasi” Jilbab. Gerakan “Islamisasi” ini cukup gencar yang di antaranya terjadi di kalangan mahasiswa atau ranah kampus. Salah satu metode yang digunakan adalah kaderisasi sebagaimana dilakukan Ikhwanul Muslimin, yang kemudian mengakar sampai para pengikutnya. Salah satu cara mereka adalah mengotakkan antara kita dan mereka, antara “us” dan “they”. Metode ini cukup efektif untuk memetakan dan menjadikan “ they” sebagai kafir dan musuh bersama meskipun Muslim.
Sistem tersebut dengan sendirinya memecah belah umat karena tidak memberikan ruang terhadap perbedaan pendapat. Bagi mereka, menyeragamkan dogma akan lebih efektif dengan banyaknya pengikut yang dalam jangka panjang akan mendidik generasi masa depan mengikuti pola pikir “yang benar”.
Para wanita Indonesia, yang hanya ingin menjadi wanita di Indonesia dan kebetulan beragama Islam, mendapat efek langsung dari pemahaman Muslimah “syar’i” sebagaimana disinggung di atas. Mereka yang tidak/belum berjilbab sering terintimidasi rekan dan lingkungannya yang merasa lebih beragama. Untungnya, mulai banyak yang memaknai keberagamaan sebagai urusan pribadi dan karenanya bisa menerima perbedaan.
Pada hari ini, kita banyak mendengar mengenai pengguna jilbab yang berkelakuan kurang baik ataupun wanita yang tidak menggunakan jilbab berlaku tidak senonoh.
Saat berjilbab, anggapan wanita baik lebih melekat dan karenanya segelintir pengguna jilbab yang kurang baik lebih mendapat sorotan. Sebaliknya, “nonjilbaber” yang berkelakuan kurang baik atau menjadi korban tindakan asusila kurang mendapat dukungan karena dianggap “pantas” atas tindakan tersebut.
Masyarakat patriakal kita memperburuk keadaan dengan pembelaan terhadap pelaku dengan melekatkan label “wanita penggoda” terhadap korban. Beberapa wanita karier yang saya temui menghadapi penindasan dan diskriminasi karena tidak berjilbab ataupun mendapatkan promosi karena berjilbab dianggap lebih menjual. Sebagian dari mereka akhirnya memilih untuk berjilbab agar dapat bekerja dengan aman.
Jilbab bukan hanya sebagai penutup aurat bagi Muslimah. Hari ini jilbab menggenggam trisula politik, sosial dan budaya yang amat berpengaruh. Sudah banyak buku diterbitkan serta diskusi mengenai jilbab. Namun jilbab dalam pembahasan sosial masih dianggap tidak menghargai Islam dan pelabelan kafir pun tidak terelakkan.
Sebagaimana sebagian masyarakat Muslim eropa dan Amerika yang menjadi minoritas dan gigih memperjuangkan kebolehan berjilbab di saat bekerja, Muslimah Indonesia pun berjuang untuk menjadi Islam dengan cara yang mereka pahami. Debat antara feminis dan jilbaber berkutat di sekitar opression atau tekanan. Dengan banyaknya wanita profesional berjilbab adalah bukti bahwa jilbab tidak mengekang dan tetap memberikan kebebasan bagi pemilihnya.
Bukankah seharusnya tanpa jilbab pun wanita tetap dapat menjadi Muslimah? Pada saat toleransi mulai diabaikan dan kekuatan mayoritas tidak terkontrol, selalu ada ketidakseimbangan. Bukankah agama adalah kedamaian? Marilah kita jadikan pilihan kita tidak menakutkan bagi orang lain.
Sebarkanlah din dengan akhlak mulia seperti yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Jadikanlah tahun depan menjadi ajang berbuat kebaikan dan menerima perbedaan. Sayang nian menjadikan Bhineka Tunggal Ika hanya sebagai slogan semata.