Home » Gagasan » Homoseksualitas dalam Cengkeraman Agama dan Budaya

Homoseksualitas dalam Cengkeraman Agama dan Budaya Reportase Program Agama dan Masyarakat

4.5/5 (2)

IslamLib – Meskipun pada 17 mei 1990 organisasi kesehatan dunia (WHO) telah memutuskan bahwa homoseksualitas tidak tergolong suatu penyakit atau gangguan jiwa, namun diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini masih kerap terjadi di negeri ini. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, diskriminasi terhadap minoritas homoseksual diwujudkan dalam aksi-aksi kekerasan terhadap mereka.

Diskriminasi itu misalnya, terlihat dari perda-perda yang mencantumkan homoseksual dalam kategori perbuatan cabul dan pelacuran. Tidak kurang, dalam UU Pornografi yang belum lama disahkan itu, dikatakan bahwa homoseksual sebagai penyimpangan seks.

Padahal “fatwa” dari WHO tersebut sudah tercantum pula dalam kitab PPDGJ milik Depkes RI (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis dan Gangguan Jiwa) edisi III tahun 1993. Ini berarti materi UU tersebut tidak merujuk kepada kitab pedoman kesehatan tersebut.

Menelusuri seluk beluk diskriminasi terhadap kaum homoseksual yang terjadi di Indonesia, Radio KBR 68 H bersama Jaringan Islam Liberal, melalui Program Agama dan Masyarakat pada tanggal 18 Mei 2011 mengangkat sebuah diskusi bertema “Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap Warga Negara Karena Orientasi Seksualnya”. Diskusi berlangsung selama satu jam dengan menghadirkan dua narasumber sekaligus, Hartoyo dari Our Voice dan Andi Yentriyani dari Komnas HAM.

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas homoseksual terjadi, dalam analisa Hartoyo, dikarenakan stigma yang mendominasi pola pikir masyarakat terhadap mereka.

Ketiadaan pendidikan seks dan pendidikan tentang identitas gender dari pemerintah untuk warganegaranya, dan tidak tersedianya informasi yang benar, membentuk pemahaman yang keliru dalam masyarakat dalam melihat dan memperlakukan kaum homoseksual.

Dari persoalan ini, mereka kerap dinilai negatif oleh masyarakat. Mereka dilihat sebagai pendosa, penyebar penyakit atau bahkan pembunuh.

Sementara Andi mencoba menyoroti persoalan diskriminasi ini dari sudut konstitusi. Dalam pandangan Andi, meskipun secara ideal konstitusi mengakui adanya persamaan setiap warga negara, namun dalam tataran praktis pelaksanaannya kerap kali bertolakbelakang.

Ini terjadi, begitu Andi, karena adanya prasangka-prasangka yang berkembang dalam polapikir masyarakat dan membuat orang merasa boleh memperlakukan orang lain secara berbeda. Pembedaan-pembedaan itulah yang belakangan menimbulkan diskriminasi kelompok homoseksual, sekalipun hak bebas dari diskriminasi telah diakui oleh negara.

Masyarakat kita memang mudah sekali menstigma orang yang berbeda sebagai orang yang “menyimpang”. Padahal menjadi berbeda secara orientasi seksual itu sungguh tidak mudah bagi mereka kelompok LGBT sendiri (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender).

Seperti diakui oleh banyak di antara mereka, usaha untuk menjadi seperti apa yang dimaui lingkungan bukan tidak pernah mereka jalani. Dalam “keberbedaan” nya itu, mereka masih harus berhadapan dengan represi dari lingkungan dan bahkan keluarga terdekat.

Hidup mereka dibuat tidak tenang dengan adanya curative right, dipaksa untuk “sembuh” dan “bertaubat”. Masih belum cukup, mereka juga kerapkali dihadapkan dengan kekerasan fisik dan psikologis selama bertahun-tahun untuk kembali “ke jalan yang benar”. Jadi, penderitaan yang mereka alami menjadi berlapis-lapis.

Pandangan Andi ini diamini oleh Hartoyo sendiri sebagai sosok yang pernah menjalani pengalaman diskriminasi. Seperti diceritakan Hartoyo, dalam hal ini pihak negara sama sekali tidak turun tangan untuk memberi perlindungan.

Dan ironisnya, justru aparat negara sendiri yang menjadi pelaku diskriminasi tersebut. Sepertinya, semua jalan untuk mencari keadilan dari diskriminasi bagi kelompok LGBT sudah tertutup. Kalaupun ada, dukungan itu datang dari pihak luar, dan beberapa lembaga seperti Komnas Perempuan.

Dengan sepinya dukungan menentang diskriminasi kelompok LGBT, menandakan bahwa masyarakat memilih diam, untuk mengatakan tidak peduli terhadap kasus-kasus diskriminasi.

Dalam sebuah komentarnya, seorang pendengar diskusi beropini bahwa kelompok LGBT seharusnya sadar diri terhadap lingkungan di mana mereka hidup. Meskipun benar hak bebas dari diskriminasi diakui undang-undang, namun mereka hidup dalam sebuah kultur masyarakat yang sulit sekali menerima perubahan, ditambah lagi dengan pemerintahan negara yang lemah.

Pendengar lain, menanggapi bahwa Homoseksualitas sebetulnya budaya Barat yang bertentangan dengan budaya Indonesia sendiri.

Menanggapi ini, Andi berargumen bahwa sebenarnya ada banyak budaya yang justru tidak dikenali oleh masyarakat kita sendiri. Secara historis-kultural, demikian Andi, Homoseksualitas bukanlah suatu yang asing dari masyarakat kita. Kalau ingin disebut, kita akan menjumpai banyak tradisi asli Indonesia yang bernuansa Homoseksualitas.

Pemetak-metakan suatu budaya berdasarkan kategori Timur-Barat, dalam pandangan Andi, membuat sebuah norma menjadi esensialis. Faktanya kekerasan terhadap kaum Homoseksual bukan hanya ada di Timur, tapi juga Barat. Ini sekaligus menolak anggapan bahwa Homoseksualitas merupakan budaya asing yang berasal dari Barat.

Ke “berbedaan” secara orientasi seksual, bukanlah dasar yang bisa menghalalkan kita untuk melakuan diskriminasi. Perlu ditegaskan ulang, diskriminasi terhadap kaum Homoseksual, bukan hanya terjadi di Indonesia secara khusus, atau dunia Islam secara umum, tapi juga terjadi di dunia Barat sendiri yang sekarang ini mulai belajar membuka diri terhadap minoritas yang memiliki orientasi seksual berbeda.

Atas dasar fakta ini, Andi mengajak masyarakat Indonesia untuk melihat secara terbuka sejarah peradaban dunia, di mana kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka yang berbeda bukanlah soal “Timur-Barat” saja, tapi lebih jauh soal kelapangan jiwa dan pola pikir komunitas tersebut untuk menerima mereka yang berbeda.

Pandangan sinis terhadap kaum Homoseksual, membuat banyak orang mempertanyakan sisi positif kaum Homoseksual, juga memandang miris kepada setiap usaha advokasi yang ditujukan kepada mereka.

Menjawab ini, Hartoyo menegaskan, bahwa sekalipun berbeda, tapi kaum Homoseksual atau LGBT sejatinya juga manusia yang memiliki perasaan yang sama dengan mereka yang normal. Mereka bukannya tidak mau berusaha menjadi sama dengan orang lain.

Bagi Hartoyo, menurut pengalamannya homoseksualitas bukanlah sebuah pilihan, tapi lebih merupakan ketetapan yang ditakdirkan kepada mereka. Karena itu, advokasi kepada kaum Homoseksual sejatinya adalah advokasi kepada kemanusiaan itu sendiri.

Hartoyo juga menyinggung, bahwa takdir homoseksual bisa saja diterima oleh siapa saja, termasuk mereka yang ada dalam anggota keluarga kita. Membela Homoseksualitas, dengan begitu berarti membela keluarga kita sendiri, membela sesama manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dihadapan Tuhan.

Andi menambahkan, jika merujuk kepada tujuan pernikahan, anggapan bahwa homoseksualitas adalah sebuah anomali sejatinya lahir dari pemikiran tentang keharusan adanya pro-creation purpose dalam sebuah hubungan seksual (hubungan seksual untuk mendapat keturunan).

Dalam hal ini, Islam dalam pandangan Andi memiliki pandangan yang lebih maju tentang adanya tujuan lain hubungan seksual selain untuk mendapat keturunan, yakni untuk mendapat kesenangan (rekreasi). Seandainya pandangan ini diterima, tentulah dukungan terhadap pernikahan Homoseksual tidak akan lagi menjadi suatu kesulitan.

Tindakan diskriminatif terhadap kelompok Homoseksual selain ada dalam pelbagai budaya-budaya dunia, juga ditemukan dalam semua tradisi agama-agama, bukan hanya Islam. Ini terjadi, dalam pandangan Andi, ketika tindakan diskriminatif dilakukan atas nama kekelan tradisi atau agama, ia akan menarik banyak orang untuk ikut serta di dalamnya.

Demikian, karena agama atau tradisi kerap kali dijadikan ukuran menilai benar-salah, dan ini sangat berbahaya jika telah masuk ke dalam ranah tindakan diskriminasi.

Andi juga menilai, persoalan diskriminasi terhadap kelompok Homoseksual atau secara umum LGBT merupakan tantangan baru bagi para teolog. Kalau dulu para teolog dihadapkan pada persoalan diskriminasi perbudakan misalnya, di mana seseorang dianggap boleh mendiskriminasi orang lain karena identitasnya, maka diskriminasi terhadap kaum Homoseksual adalah ujian baru bagi para teolog.

Ujian ini sengaja diberikan Tuhan untuk mengetahui apakah agama yang mereka agung-agungkan itu masih berkomitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, atau justru mereka jadikan alat justifikasi untuk mendiskriminasi manusia lainnya, dan ini berarti sudah keluar dari tujuan awal diturunkannya agama-agama itu sendiri.

Untuk keluar dari diskriminasi ini, kelompok Homoseksual berharap agar pemerintah lebih ikhlas dalam membela warga negaranya. Mereka juga berharap agar fatwa WHO terkait dengan persoalan Homoseksualitas disosialisasikan kepada masyarakat melalui Depkes.

Ini perlu dilakukan demi mengikis stigma-stigma yang masih kuat bercokol dalam pola pikir masyarakat terhadap kaum Homoseksual. Mereka juga berharap agar para ahli dan kelompok professional tidak mencampuradukan antara penafsiran agama mereka yang subjektif dengan bidang studi yang mereka dalami.

Mereka harus jujur untuk mengakui dan menerangkan kepada masyarakat bahwa Homoseksual bukanlah suatu penyakit yang bisa menular atau perlu disembuhkan.

Andi menutup diskusinya dengan mengajukan solusi-solusi berikut untuk menyudahi tindakan diskriminasi terhadap kaum Homoseksual. Pertama, memperbaiki sistem pendidikan dan sosialisasi informasi di masyarakat. Ini dilakukan agar masyarakat terbiasa mengukur sesuatu bukan berdasar dogma yang subjektif, tapi atas standar ilmiah yang objektif.

Sosialisasi informasi juga perlu dilakukan untuk memberikan pandangan yang benar tentang Homoseksualitas. Kedua, membuka wawasan terhadap budaya-budaya yang lebih terbuka. Ini dilakukan demi menciptakan perbaikan dan pembenahan dalam komunitas kultur kita.

Ketiga, pendewasaan beragama melalui pencerahan dan diskusi-diskusi agar agama tidak lagi dipolitisir untuk kepentingan politik sesaat. Keempat, demokratisasi keluarga. Ini perlu dilakukan agar tidak lagi terjadi pemaksaan terhadap kaum homoseksual yang berakibat pada depresi yang mereka alami dan membunuh jatidiri mereka sendiri.

“Jihad” untuk membebaskan kaum Homoseksual dari diskriminasi mayoritas bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan agamawan saja, tapi juga menjadi tanggung jawab keluarga dan warga negara secara serentak.

Perlu diingat, Homoseksualitas bukanlah penyakit yang bisa disembuhkan apalagi menular. Sebagaimana ia tidak bisa dipaksakan menjadi Heteroseksual, kaum Heteroseksual juga tidak mungkin bisa direkayasa menjadi Homoseksual. (Prio Pratama)

 

Silahkan nilai tulisan ini

Leave a Reply

Your email address will not be published.